Negeriku Kacau Balau, Memoar Sate Madura, Putihku Memudar

Senin, 19 September 2016 | 21:20:23 WIB
ilustrasi. (Lisa D. Levy/lisadlevy.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
NEGERI KACAU BALAU
 
Ragaku mengeluh
Akan negara yang makin rapuh
Semua terjual, bahkan
Sengaja dijual
Tanahku, tanahmu, tanah-tanah negara
Juga air-air di gunung gunung hijau
Semua berlalu tanpa mampir ke rumahku
 
Mataku menatap
Pada rumah tak beratap
Pasir, batu-batu, tambang, tanah liat
Semua beli dari barat
Negriku hanya punya pacul, ember pecah
Dan kuli yang dibayar murah
 
Hatiku merenung
Pada manusia suci atau menyucikan
Ratusan dalih agama ia umpan
Tapi hanya satu dia lakukan
Miris memang
Bahkan saling mengkafirkan Tembok bocor, jalan tergenang
Adakah nurani jauh terbuang?
Barang palsu, janji palsu
Sudahkah puas kau turuti nafsu?
Jalan banjir, lorong tersumpat
Milyaran keluar, triliun kau dapat
Cih! Hina dina
 
Guru-guru mulia
Dipukul dan dihina
Murid-murid kuasa
Orang tua tak berdosa
Kacang lupa kulitnya
Mereka pintar dari harta
 
Selamat datang wahai engkau
Di negeri kacau balau
Orang pintar jadi kerbau
Orang bodoh jadi bangau
Banyak orang berkicau
Tapi sebatas mengigau
 
Salatiga, diantara manusia robot
2016
 
 
 
MEMOAR SATE MADURA
 
Satu kipasan. Menyebar asap tebal
Harum. Bukan sapi atau ayam
Rambutmu. Menampar mukaku
Halus. Membuatku rindu
Dua kipasan. Menyebar asap tebal
Sedap. Bukan sapi atau ayam
Senyummu. Mendidihkan darahku
Indah. Kuharap kau tak cepat berlalu
Tiga kipasan. Menyebar asap tebal
Renyah. Bukan sapi atau ayam
Tawamu. Menaikkan adrenalin
Lucu. Inginku peluk tubuh cantikmu
Empat kipasan. Menyebar asap tebal
Panas. Bukan sapi atau ayam
Ragamu. Menyeruak kecewa
Sedih. Kau berlalu tanpa menyapa
Salatiga, Warung sate dan dara jelita
2016
 
 
 
PUTIHKU MEMUDAR
 
Dulu ku putih, membiru lalu menghitam
Berubah perlahan, diam, dan tenang
Jasadku tak sadar, senyum masih merekah
Putihku memudar dan muncul rasa menyesal
 
Tuhan, Tuhan, Tuhan, Tuhan
Apakah tak ada peringatan?
Kau biarkan ia melumuri putihku dengan tinta hitam
Kemana kubasuh ini?
Sedang sungaimu tak mengizinkan aku masuk
 
Putihku memudar
Adakah jalan membuatnya terang?
Tuhan, Tuhan, Tuhan, Tuhan
Beri aku syarat agar putihku baru
 
Salatiga, di surau ku mengigau
2016
 
 
Wahyu Fajar Setiyawan. Lahir di Salatiga, 23 tahun silam. Pemuda yang sehari-hari mengajar bahasa Inggris di SMP Islam Ar-Rahmah, Suruh ini menyukai dunia sastra sejak duduk di bangku SMP. Misi utamanya adalah dapat merubah persepsi dunia melalui tulisan-tulisan yang ia telurkan. Bagi anda yang ingin tahu lebih tentang Wahyu Fajar Setiyawan, dapat bertanya langsung melalui facebook di: Wahyu Fajar Setiyawan.

Terkini