Sebuah Kehidupan Kecil, Bukan Netral, dan 3 Puisi Lainnya

Ahad, 18 September 2016 | 10:05:09 WIB
Ilustrasi. (Stanka Vukelic/fineartamerica.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sebuah Kehidupan Kecil
 
Ada kehidupan kecil yang terabaikan di luar sana
Menanggung nestapa di tengah gempita para durjana
Menjadi tumbal yang dikorbankan
Dipandang sebelah mata seolah tak akan berguna
 
Kehidupan kecil yang terluka
Jeritan histeris mereka tak didengar
Semua orang menutup telinga
Pura-pura tak mendengar tangis pilunya
Menyibukkan diri dengan kegembiraan semu
 
Ego manusia yang berdiri tegak tak tergoyahkan
Sementara nurani menghilang di ujung cakrawala
Akar-akar keadilan seolah terpangkas habis 
Tak ada yang mencoba membela
Dunia seolah membungkam kebenaran
Mereka memilih membenarkan kenyataan
Lupa akan kebenaran yang seharusnya dinyatakan
 
Kehidupan kecil itu menderita
Tapi tak seorangpun berbuat apa apa
Ia terluka, tapi tak satupun menoleh padanya
 
 
 
Bukan Netral
 
Ini bukan netral
Bukan posisi diantara dua ujung yang berseteru
Bukan pula abu-abu di antara hitam dan putih
 
Ini soal benar dan salah
Ini soal petunjuk dan kesesatan
Tak bisa seenaknya bersikap tak peduli
Tak bisa berpura-pura tak mengerti
 
Bukan seharusnya untuk bersikap tak acuh
Menolak ingat kewajiban yang seharusnya dilakukan
Kebanyakan orang pura-pura lupa
Justru menyibukkan diri dengan kehidupan yang semu
 
 
 
Di Sudut Lain Ruang Itu
 
Di sudut ruang itu mereka tertawa
Menikmati kebersamaan yang menyenangkan
Mereka seolah melupakan satu kehidupan kecil
Yang menyala redup di sudut lain ruang itu
 
Dua kehidupan yang bertolak belakang
Kebersamaan dan kesendirian
Kepedihan dan kegembiraan
Rasa sakit dan tawa riang
 
Yang satu seolah tak peduli
Yang lainnya hanya bisa menatap iri
 
Kesenjangan sosial yang tak bisa dipungkiri
Tapi semuanya memiilih untuk bungkam
Pura-pura tak mengerti apa yang terjadi
 
 
 
Luka Lama
 
Saat euforia kegembiraan itu dimulai
Aku justru bungkam tanpa suara
Kenangan lama yang seolah menguak
Rasa sakit yang tiba-tiba menjalar
 
Luka tetaplah luka
Melupakan takkan pernah berarti menghilangkannya
Hanya mengabaikan sesuatu yang tampak
Kenangan itu masih tetap hidup
Walau hanya terdiam di sudut labirin pikiranku
 
Itu menyakitkan
Ketika yang bisa kulakukan hanyalah menutup mata
Membiarkan luka itu terus menganga
Menahan perih ketika orang-orang menabur garam di atasnya
 
Gejolak emosi tak terbendung
Seolah menguji benteng pertahananku sendiri
Air mataku telah terkuras habis
Hanya menyisakan jeritan tak terdengar
Juga kepedihan yang kasat mata
 
 
 
 
Rindu Tak Tersampaikan
 
Kehidupan yang semu tanpanya
Berkali kali kupejamkan mata
Mencoba menenangkan diri yang terlanjur meracau
Tapi hanya kutemukan sosoknya di sana
Di cakrawala pikiranku yang tak berujung
 
Egoku menginginkan hadirnya
Menyiksaku dalam kerinduan tak tersampaikan
Hatiku mengharapkan kedatangannya
Terus memintak takdir mempertemukan
Walau hanya untuk sekedar melihat tawa riangnya
 
Sebuah tanya
Tentang rasa yang tak seharusnya ada
Nurani mempertanyakan kebenaran sebuah ego
Merutuki sesal dalam diam
 
Mungkin harusnya aku tak datang malam itu
Mengulurkan tangan padanya
Mengizinkannya masuk ke kehidupanku
 
Mungkin harusnya aku tak perlu peduli malam itu
Membiarkannya berjuang sendirian
Tak mengajukan diri menjadi alasannya berjuang
 
 
 
Zulfa Nur Azizah, anak ke dua dari lima bersaudara. Lahir di kebumen pada tanggal 22 oktober 1996, hobi membaca, menulis dan menyukai matematika. Merupakan mahasiswi di sebuah universitas pesantren di jawa timur.
 

Terkini