Clurit Terakhir, Kembara, Di Rosalina Delapan Citra Husada, dan 2 Puisi Lainnya

Ahad, 18 September 2016 | 08:35:16 WIB
Ilustrasi. (Alicia Dunn/ugallery.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Clurit Terakhir
               :d. zawawi imron
 
Pada sebilah clurit mereka asah dendam
runcingnya meradang ke segala penjuru pandang
entah sesiapa yang memulakan
dendam berotasi dalam lingkar kebencian
tak ada sesekat pun sisa ruang
bagimu—juru runding yang sengaja datang
menghembuskan semilir angin perdamaian
 
tetapi tetap saja mereka menolak kedatanganmu
padahal benang sutra yang hendak kausulamkan
pada perca yang dengan pongah mereka serakkan
masih menjuntai di genggaman tangan kananmu
 
mereka membiarkan nyala nyalinya terus berkobar
menjelmakan diri sebagai komunitas manusia bar-bar
bangga menyaksikan para pecundang terkapar menggelepar
hingga di suatu kegetiran paling nyeri mereka terdampar
 
pada runcing sebilah clurit darah sesal mengalir 
deras membanjiri akar-akar pohon peradaban
mereka yang tadinya meliarkan dendam dan kebencian
berbondong-bondong menampung luruhan embun doa
yang diam-diam kaupercikkan di pucuk daun-daun asa
bersama rinai cinta para sufi sehabis meruah dzikir
 
setelah secawan embun tertampung
dan luka-luka pun rampung terbasuh  
mereka ramai-ramai ke tengah kampung 
mengubur clurit terakhir yang berlumur darah
 
Jember, April 2016
 
 
 
Kembara  
 
bagaimana kembara ini akan rampung
bila setiap langkah selalu terserimpung
pada jerat sanjung di setiap kemenangan
padahal kemenangan sebatas torehan kenangan
 
kenangan hanya mengarak kita ke alam bayangan
serupa kelebat asing bergentayangan di cekam malam
menggores garis batas pada nyali para pemberani
 
nyatanya nyaliku selalu nyala
mengacungkan sebilah cahaya
sebelum memecah celah rahasia:
jalan menuju Sang Pengendali Segala
 
tapi aku manusia biasa
kadang terkekang ragam kendala
kadang gagal menahan kendali
bahkan terjebak dalam pusaran birahi
menjelma kumbang pada kelopak kembang
yang senang mendulang riang
 
setiap kembara mesti ada ujungnya
meski tak pernah tahu di musim mana
menemukan cahaya cerlang
tempat meditasi paling tenang
sebelum abadi mencumbui bidadari
 
Jember, 2016
 
 
 
Di Rosalina Delapan Citra Husada
               :ahmad abyan aunil haq
 
Menemanimu seakan aku terseret ke pusaran halimun
asing dan penuh ilusi
ada derap kereta dengan kusir berwajah sangar
ada kelebat malaikat memegang gada api dan cemeti petir
ada juga sejumlah bidadari berwajah pualam 
menjinjing sekeranjang kembang beraroma rindu
tapi entah ke mana semua menghilang
sebelum engkau kupapah pulang
 
Membawamu pulang serasa diri bebas dari dera duri
damai dan penuh asa
bisa menyemai doa sebelum menuai cinta
bisa menyimpan nyeri demi menguak rida ilahi 
bisa juga menahan perih duka sebelum hikmah bertahta
memandumu ke singgasana paling sahaja 
menjadi manusia tegar tanpa air mata
meski seribu sembilu masih terus menyayat luka
 
Jember, Agustus 2016
 
 
 
Gelombang Rindu
 
kemana rindu ini hendak kualamatkan
sedangkan jiwaku kering dan terasing
dan jejak-Mu tiba-tiba lenyap 
tersaput busa tuak yang melindap
 
bagaimana gelombang rindu ini hendak kuredakan
sedangkan hasratku terus meronta
dan kasih-Mu kian menguap lenyap
terkikis hembusan desah renjana liar
 
ke rumah mana rindu ini hendak kupulangkan
sedangkan kepalaku disesaki selebrasi kepayang
dan nama-Mu perlahan menghilang
terinjak-injak para pedansa di ruang pesta
 
rindu ini akan sirna
bila tak kutemukan alamat yang kutuju
Tuhan, tolong catatkan alamat-Mu 
di seluruh syarafku
agar aku bisa mencumbu-Mu
setiap waktu     
 
Jember, 2016
 
 
 
Nyala Rindu
 
gemetar jemari ini ketika kutulis sepucuk rindu untukmu yang jauh di tepian kota
:museum tua yang sempurna memahat nama kita di puncak tertinggi menara cinta
 
aku akan menetap di sini, menyendiri untuk beberapa purnama, katamu waktu itu
jangan takut, aku akan setia mengirimimu seteguk anggur pelepas rindu ! janjimu
 
sekian purnama telah berlalu, tetapi wajahmu hanya menjelma bayang tanpa rona
yang selalu menyiksaku dalam api rindu yang tak pernah padam nyala geloranya   
 
selamat malam duhai sayang, tunggu aku di kesunyian puncak tertinggi menara itu
meski sesaat, aku ingin mengeja sekali lagi relief abadi di ranum kelopak bibirmu
 
 
Jember, 2014-2016
 
 
 
Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Lulus Strata I pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (Unej).  Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Buat Gaza (Gempita Biostory, Medan, 2013), Menuju Jalan Cahaya (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013),  Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim (Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Disbudparpora Kota Banjarbaru, 2015) Memo Anti Terorisme (Forum Sastra Surakarta, 2016), Arus Puisi Sungai (Tuas Media, 2016), dan lain-lain. Aktivitas sekarang selain sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember, bergiat juga di Forum Sastra Pendalungan. Saat ini tinggal di Jl. Imam Bonjol Gg. KUA 38, Lingk. Villa Tegal Besar, Jember, 68132. Email : samianadib@ymail.com.
 

Terkini