Gadis Abu, Pengayuh Waktu, Matahari Membeku, Perapal Do(s)a

Ahad, 18 September 2016 | 08:13:33 WIB
Ilustrasi. (Jill/silvervista.blogspot.co)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Gadis Abu
 
Seorang gadis mencoba menjelma 
Jadi abu
Dalam tarinya yang menelanjangi waktu
Debar-debar tersebar disekelilingnya pada membiru
Lekuk pinggul yang bergetar, nafas sekitar jadi menggelapar
“Demi fajar, Demi Fajar”, Ia berujar
Selongsong peluh jatuh bergemuruh
Menyusuri ngarai-ngarai luka 
-Tak akan sembuh-
Tuan, Gadis itu masih mencoba menjelma jadi 
Abu
Tetangisnya adalah ilalang yang menghitam
Bergoyang jalang
Menumbuk bayang-bayang
“Apa aku adalah deburan abu?”
Ia bersenandung diam.
Ah, gadis itu adalah Abu,
Ia ialah Abu
Terhempas angin yang tak henti merayu
 
Gendeng, 2016
 
 
 
Pengayuh Waktu
 
I
Ada lelaki yang sedang mengayuh waktu
Dalam gigil ketakutannya akan hidup
Ia mengunyah rindu
Dengan gemeretak gigi yang hampir redup
 
II
Namanya Zabania,
Ia memulung nyawa 
Menaruhnya dalam karung-karung usang
Ia berlari tiap zaman
Dengan gancu ia pungut, 
Dengan lembut, -dengan terenggut-
Dengan gancu ia pulung nyawa-nyawa
Berserak di jalan Tuhan, bertebaran di jalan
Setan
Nyawa itu ia timbang, ia tukar dengan doa
Pengaharapan pada Tuhan
Ia tahu, Ia amat tahu
Ia akan memulung dirinya sendiri suatu waktu 
 
Gendeng, 2016
 
 
 
Matahari Membeku
 
Ada matahari yang membeku siang itu
Dengan teriknya 
Ia bawa luka dan kata 
Sembilu dalam hati
-mendidihkan isyarat akan janji-
Menguap, menguap
Jadi jelaga di langit 
Jadi wahyu yang semangit
: Pada lelaki yang berkelakar tentang kenabian
Aku titipkan rindu 
Lewat lamanya perjanjian 
Yang baru
 
Matahari masih membeku siang itu
Melilitkan panas ketuhanan
Pada rahib-rahib yang sedari tadi 
Berlarian
Di antara gelaran sajadah yang berlumur
Darah
Aku merapal do’a dan amarah
 
Gendeng, 2016
 
 
 
Perapal Do(s)a
 
:Pemapah Resah
(Perempuan-perempuan yang meresapi api)
Aku masih mencari mayatku sendiri
Di antara gelimpangan kenangan perempuan peresap api
Perempuan yang mimpinya berkelindan, (kecamuk sepi)
Aku masih tak menemu kuburku sendiri
Di antara rerindang Tanya, curiga, dan dusta
(Perempuan-perempuan yang teresapi api)
Ku berikan nama pada sebatang kara
Ingatannya adalah residu kelu
Tentang gempita akan masa lalu
Kara masih ingin mencumbu,
Merajuk menggegap waktu
(Perempuan-perempuan yang diresapi Api)
-Do’a adalah jelaga dosa-
 
Baciro, 2016
 
 
 
Zuhdi Ubaidilah, lahir pada 24 Maret 1994 di Kota Tegal. Saat ini masih menyelesaikan studinya di jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semasa di Pesantren, puisi-puisinya sempat memenangkan Lomba Cipta Puisi Al-Qur’an pada gelaran POSPEDA DIY dan POSPENAS ke-5 yang diadakan di Surabaya tahun 2010. Ia bisa ditemui di Jl. Rukun Pertiwi Gendeng Baciro Yogyakarta. 
 

Terkini