PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Akulah Klausa
Diantara rinai sayup hujan
Beribu bait mengalir lembut
Mengalunkan lantunan derai tangis yang diiringi dengan senyum
Aku tertusuk oleh debar panahmu
Yang membidikku dengan ribuan untai kata
Bukankah baik itu memang buruk?
Dan dengan itu pulalah aku terbentuk
Aku hanyalah sepotong klausa dan tak lebih
Hanya subjek dan predikat
Itu saja, cukup
Bukan, aku bukanlah seekor merpati
Aku tidak dapat mengudara
Berjalanpun aku masih tertatih
Aku tidak pula putih jernih
Bahkan hitam, cenderung pekat
Aku hanya sebutir pasir diantara batu-batu terjalmu
Hanya sepotong puzzle yang tertumpuk diantara para legomu
Aku hanya lautan dangkal
Sedang kau, samudra yang tak berbatas
Kau begitu terjal diantara kedikdayaanmu, begitu dalam
Hingga jaring-jaringku tak dapat menangkapmu
Biarlah kau tak tergapai, biar
Bukan karna tak mampu, sama sekali bukan
Aku adalah sang klausa
Yang meski tetap berusaha menunggu objek
Yang entah kapan akan melengkapi
Jember, 14 Mei 2016
Jurang Terjalmu, Tuan
Terjerembab,
Jauh mengakar diantara jurang-jurang terjal
Mencengkeram erat entah sebatang ranting ataupun dahan
Dalam dan begitu sunyi
Entahlah,
Aku kini telah siap menyusurimu
Melewati kelak dan kelok lekukan tubuh terjalmu
Meski kau begitu dalam
Hingga aku tak dapat menggapaimu
Aku terjebak Tuan,
Entah dimanakah sekarang
Begitu gelap, hingga menandingi pekatnya malam
Jatuh dalam tingginya angan untuk menyusurimu
Ribuan bait menghantam dadaku
Memasuki relung jantungku dalam setiap gerakan tariannya
Aku begitu takut, Tuan
Bagaimanakah bila bayangmu retak tertusuk olehnya?
Akankah hancur bersamaan dengan ribuan dari mereka yang menuju ke arahmu?
Biarkanlah saja semua itu
Benar begitu kan,Tuan?
Aku menanyaimu, Tuan
Hanya seulas senyuman yang kudapatkan
Otakku bertanya kepadaku,
Dan apa kabar hatiku yang selalu berantakan?
Jember, 28 Mei 2016
Sajakku Padamu
Kembali aku merindumu, Tuan
Berpulang kearahmu memanglah sangat membahagiakan
Menghirup aroma kopi yang kau seduh
Mendengar nyanyian camar di pelataranmu
Dan mendengar lantunan puisi yang menjadi ritualmu kala matahari mulai memerah
Aku merindumu, Tuan
Selayaknya nelayan yang merindukan daratan
Menerka isyarat yang begitu sukar
Meramalkan alam dalam segala keterbatasan
Aku terpenjara dalam setiap langkah kakiku
Dalam setiap jejak yang aku tapakkan, aku merapalmu
Menggenggam erat alunan nada yang kau dendangkan untukku
Berpangku dalam setiap hembus nafas aromamu
Benar TUAN,
Sungguh.!! Aku merindumu
Merindukan segala rasa yang kau tuangkan dalam cangkir kopiku
Menegukkan aroma hujan yang kau abadikan dalam setiap sajak-sajakmu
Ketahuilah TUAN,
Aku bukanlah manusia perindu
Bukan pula manusia melankolis yang menjajakan kata rindu pada siapa saja
Aku hanya merindu akan dirimu, Tuan
Merindu pada sebait senja yang selalu kau selipkan untukku
Merindukan keseluruhanmu
Tanpa kecuali,
Aku merindumu, cukup itu saja
Yogyakarta, 31 Agustus 2016
Sajak Si Jendela
Siapakah aku?
Kenapa aku ini aku?
Lalu bagaimana denganmu?
Aku diam
Dan kau membelakangiku
Benarkah ini aku?
Bagaimana pula dengan dirimu?
Kau berpaling kearahku
Tersenyum, menyejukkan
Apakah aku ini?
Dan siapakah kamu?
Tanganmu melambai
Mendekatiku
Menyiratkan sinar bahagia
Mungkinkah aku ini aku?
Dan siapakah kamu?
Jelas ini memang aku
Yang siap menerimamu
Dan kamu adalah kamu
Sinar hangat yang selalu menembusku
Genteng, 27 Februari 2016
Sejenak, Mengingatmu, Hai Kasihku
Dalam diam
Kuukir rangkaian kata
Kurajut benang berwarna
Mentari malam temani kesendirianku, tersenyum
Bintang yang berpijar pun tertawa
Mereka menghinaku
Menertawakan kebodohanku
Biarlah,
Sudut mataku tak lepas darimu
Memandang kepergianmu
Sayang,
Semua hanya ilusi
Sedang aku tetap disini
Terpaku dalam bayangmu
