PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Menu Asing
kita adalah sepasang kekasih
tetapi tak pernah saling menggenggam
bertemu hanya untuk duduk, melihat menu
memesan makan malam
tetapi tak juga saling bertatapan
yang kutahu kau hanya tertunduk, dan kudengar sebuah isakan
aku menanyakan siapa yang telah berani
membuatmu menangis
lewat sebaris kalimat di dalam pesan singkat
kau menjawab pengetahuan
juga tuhan yang ternyata mahatahu
termasuk sejak kali pertama bertemu
menjalin hubungan hingga menu apa
yang akan kita pesan, apa yang akan terjadi kemudian
dari kuncup bunga hingga gugur kelopak terakhir milik mata
segala telah ditentukan
untuk apa lagi percakapan, perdebatan, kecupan, dekapan
kalau itu tak dapat mengubah sesuatu
aku juga ingin menangis
tetapi pria tak seperti perempuan
ada banyak hal yang lebih berkecamuk
bangsa, negara, itu nanti saja
apalagi tuhan dan pengetahuan
aku lihat daftar menu, sebelah kanan terlebih dahulu
lalu teringat bulan yang hampir mati
hanya ada air putih di kepala
dengan es yang cukup untuk mengguyurnya
seperti tantangan dari orang ternama
apa besok kita dapat hidup atau mati sepele
tersedak, ada bom, atau meteor jatuh
pulang dari sini kecelakaan lalu lintas, terlindas
waktu
bicara atau diam, waktu tidak peduli
kita adalah sepasang kekasih, waktu juga
tidak peduli kita tidak pernah saling menggenggam waktu
apakah peduli
tuhan,
apakah maha peduli?
Aku Berutang Padamu Satu Jalan Pulang
aku bertamu padamu di desember itu
membawa bunga tulip
lambang depresi besar yang kini kembali
mengenalkan dirinya sebagai khidir
di perjalanan aku terjebak kemacetan
bukan hanya dadaku yang lalu lintas
perasaan mengenaimu yang selalu bebas
ketika kubuka jendela sedikit, udara
berbau sakit, apa yang marah di mata
mereka membakar ban, menelan korban
seolah menang sebelum mengapikan tuhan
desember yang kukenang tidak mengenal
darah hitam kental
desember yang kukenang adalah
royal opera dibuka di taman covent dan
pietro mascagni tak bermain di sana
tapi pemuda itu, yang percaya ibrahim
mempertontonkan alusi namrud di istana
aku tidak pernah sampai ke rumahmu
pada desember itu, bunga-bunga tulip
membumbung tinggi ke langit
menjadi balon-balon sabun
siapa percaya, balon-balon sabun itu
bisa meletus kapan saja
siapa menyangka, berkat itu
aku berutang padamu sebuah jalan pulang
Tuan Reynold dan Soal Lidah Orang Indonesia
agaknya ini hanya masalah lidah, orang indonesia
lebih suka memakan ikan yang terlalu matang
bila perlu digoreng hingga kering kerontang, hingga
tulang terasa renyah dan hancur
tentu saja, bukan demi alasan kalsium
seperti yang dimiliki ikan teri, bilis, lais dan seluang
segala yang muda tampak tidak lebih terpercaya
segala yang ranum hanya untuk ibu hamil yang mengidam
maka kepantasan untuk menikah pun ditentukan usianya
seperempat abad adalah usia yang pas
padahal chairil mati di usia dua puluh enam,
soe hok gie juga meninggal di usia yang sama
apa yang bisa dirasakan dalam satu tahun perkawinan
kalau tuhan menakdirkan panjang usia tak berbeda
cara memasak ikan pada satu sisi tidak akan cukup
untuk lidah orang indonesia
sebab tidak cuma ikan, semua hal dapat dibolak-balik
dalam berita dan perkataan
misalnya, pemerintah indonesia berhasil membuat perjanjian
dengan freeport, tentu ini akan lain maknanya
jika dikatakan freeportlah yang berhasil menekan perikatan
sebagai rakyat dan penonton, tentu kita kecewa
tuan reynold yang mahir dan mempesona harus tereliminasi
rasanya seperti calon presiden yang kita pilih kalah
jodoh yang kita idam-idamkan dibawa kabur orang
atau yang sepele, sulit buang air karena kena tipus
negara yang memiliki wilayah laut yang luas ini
seharusnya tidak kesulitan menemukan pemasak ikan
mau dibakar, digoreng, diasap atau digangan sekalian
segala rasa, aroma rempah, tidak ada masalah
hanya agaknya ini memang masalah lidah
orang indonesia lebih suka ikan yang terlalu matang
orang indonesia lebih suka lagi makan roti
Membelikan Es Krim
aku akan membelikannya es krim setiap aku pulang ke rumah
aku tak ingin ia menyadari ada leleh yang lain
setiap kulihat dirinya, kerinduan mengamuk bagai banteng
ingin menyeruduk setiap benda yang berwarna merah
ia suka rasa vanila, dengan begitu, hatiku seperti bendera
kuperhatikan dengan seksama, detik demi detik yang ada
aku telah menjadi seorang ayah, dan suatu hari ia akan dewasa
menjadi seorang gadis yang memakai rok, memegang buku
dan menatapku dengan kenangan pertemuan di akhir pekan
aku selamanya menjadi pacarnya, cinta pertamanya
dengan segala kelemahan dan luputnya perhatian
sampai kubayangkan lelaki lain akan merampasnya dari pelukanku
ia akan duduk di pelaminan, memakai gaun, bunga-bunga
aku tidak tahu harus menghadiahi apa
aku akan memberikannya es krim, seperti setiap minggu
aku pulang ke rumah dan ia akan memelukku
kemudian ia akan memburu, tak membiarkan es krim itu meleleh
kemudian ia juga tak akan tahu, hatiku juga tengah meleleh
Sebelum 1998
Yang diingatnya dari bangku sekolah hanyalah
papan tulis yang bisu. Setiap pertanyaan dari gurunya,
ia takut mengangkat tangan seperti ada beban masa
lalu—ketakutan-ketakutan dikuntit dalam perjalanan
pulang ke rumah. Ia tidak pernah bertanya apalagi
menjawab. Ia bukan takut jawabannya salah. Bukan pula
takut jika pertanyaannya tidak bermutu. Hanya
papan tulis yang diingatnya itu bisu,
apa aku
punya hak berbicara? Di laci meja, ia menyembunyikan
tas dan kedua telapak tangannya. Ia tahu
di laci meja yang lain, bibir-bibir siswa yang sudah
lulus sekolah bersembunyi dan meringkuk,
sesekali berbisik—mengutuk-ngutuk Tuhannya sendiri.
