Malaikat di Tahun Baru, Bertanya Pada Malam, Puisiku, dan 2 Puisi Lainnya

Ahad, 18 September 2016 | 04:47:56 WIB
Ilustrasi. (Helga Dieckmann/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Malaikat Di Tahun Baru
 
Masih segar di ingatan kala telingaku dijejali bunyi terompet
Semua mulut meniupnya dari pelajar hingga pencopet
Orang tinggi besar mendatangiku dan menawariku satu terompet
Ia menyuruhku membeli terompetnya, 
dibonus doa namun sedikit memaksa, Kampret!
 
Dari tahun ke tahun, selalu sama
Terompet, doa, harapan dan berpesta
Dari tahun ke tahun, tak ada bedanya
Masih nganggur, masih bingung, masih berdosa
Dari tahun ke tahun, 
yang berubah Cuma angkanya saja
 
Kali ini Segerombol muda mudi naik ke atas bukit
Terompet dikalungkannya sambil lari terbirit-birit
Sekantong kembang api melekat di punggung kecil melillit
Melirik arloji seraya memohon jangan hujan pada langit
 
Dengung .. detik berdengung, memberitahu
Mbokya santai menghadapi tahun baru
Sesantai dapurmu melewati tahun lalu
Mbokya ndak usah hura-hura atau persta pora
Kalau ujung-ujungnya tindak tandukmu makin bahaya
 
Aku bersembunyi
Merasa takut .. tak siap .. 
bagaimana .. kalau ..
Terompet-terompet yang ditiup pada malam ini ...
Ditutup fajar nanti dengan terompetnya Isrofil ?
 
Djogjakarta, 1 Januari 2016 
 
 
 
Bertanya Pada Malam
 
Hai, malam
Benarkah engkau adalah kesunyian ?
Sebab suara-suara yang kudengar saat kau tiba
Tak lain adalah tumbuhan hewan dan para manusia
 
Hai, malam
Benarkah untuk pertemuanmu dengan pagi
Kau sengaja berubah menjadi fajar?
Sedang perpisahanmu dengan siang
Sengaja pula kau berubah nama menjadi senja?
 
Hai, malam
Hanya sebagai manusiakah aku dalam pandanganmu?
Kau seperti tak peduli pada diriku
Sebab kurasa kau hanya dating kemudian pergi
Bersama waktu yang sungguh sombong itu
 
Rindu dan tanyaku
Sakit dan kecewaku
Tak membuatmu tinggal lebih lama
 
Hai, malam
Aku bertanya padamu!
Sebab sunyimu lebih baik dari berisik dusta manusia
 
Sewon Bantul, 1 Agustus 2016
 
 
 
Puisiku
 
Perjumpaan kita,
Ialah jumpa tanpa tatap muka
Membuatku tak tahu bagaimana rupamu
Kukira begitu pula dengan dirimu
 
Perjumpaan kita
Ialah temu penuh misteri
Juga bersua laksana emosi
Akibat resah dan dosa dalam hati
 
Puisiku
Persahabatan kita,
Serupa persahabatan hujan dengan air, ya!
Atau mirip kelindan panas dengan api
Bahkan persis huruf dengan garis, kan?
 
Tak usah peduli apa kata orang
Tentang kepuisianmu dan kepenyairanku
Kita adalah sepasang nasib
Sebab kau akan disebut puisi
Saat aku disebut penyair
 
Magelang, 20 Agustus 2016
 
 
 
Merindu Tanpa Suara
 
Aku ingin mengadu rinduku
Sejak rindu palsu menipu siang malamku
 
Selimut waktuku kini
Terus saja mengajakku bicara tentang rindu
pagi merindu,
siang merindu,
senja merindu,
Malam merindu, tanpa suara
 
Aku ingin merindu tanpa suara,
agar tak didengar…
namun percuma!
Lirik puisi membuatku bersuara
Bisik di hati berteriak membuat tak berdaya
 
Sejak pesonamu yang membiusku
Lantaran siapamu merenggut dan menyita waktuku
Puisiku ber-gerilya tanpa jeda
Sementara kau diam saja, tak menggoda
Ini salah siapa?
 
Maka aku merindukanmu
Bukan ingin dirindukan olehmu
Biarlah aku tetap merindumu
Tanpa nada
Tanpa meminta
Tanpa suara!
 
Kau tahu dimana bagian ternikmatnya!
 
Djogjakarta, 14 Februari 2016
 
 
 
Matinya Tuan Manusia
 
Tuan sungguh beruntung kini telah diakui banyak khalayak. 
Namun keberuntungan itu tak bertahan lama, tuan. 
Halnya kefanaan bumi, tanpa kekal sepersekian masa.
 
Tuan sungguh bahagia kini telah dilimpahi banyak rejeki.. 
Namun apakah tuan ingat mereka yang berperan sangat hati-hati. 
Menjaga, menempa, memberitahu .. nama tuan.
 
Dalam nafas tuan, 
hendaknya tersimpan setitik syukur memiliki masa muda yang bernama. 
Hendaknya terdorong tangan ajaib tuan 
untuk menyambut tangan parau pekerja buta. 
Bukan dengan sibuk memikirkan strata tingkat duduk yang mengutuk. 
Melupakan manusia bumi dimana tuan berpijak.
 
Ah, setidaknya .. tuan tahu. 
Bahwa ketika tuan masih tak mau menghidupi kehidupan, 
sebenarnya tuan tidak ada.
 
Djogjakarta, 01 Februari 2016
 
 
 
Alfin Rizal. Nama lengkapnya Muhammad Rois Alfin Rizal (Mgl, 1993) adalah mahasiswa seni rupa yang juga bergelut di bidang sastra. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif di Fakultas Seni Rupa (Murni: Seni Lukis) Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Mulai serius menulis sejak duduk di SMA, menjadikannya peka terhadap lingkungan sebagai inspirasi untuk berkreasi dalam seni -khususnya seni rupa- dan sastra. Hobinya berkembang dengan aktif menulis di sosial media seperti blog pribadinya, kolom Kompasiana dan fanspage facebook, kemudian juga menulis untuk memberi pengantar pameran seni rupa beberapa sahabatnya. Di bidang seni rupa Rizal aktif mengikuti berbagai pameran di dalam dan di luar kota. Pernah menggelar Pameran Tunggal bertajuk “Ruang Angan” di Omah Alas Art House (2015) dan “Tokoh Media” di Gedung FSR ISI Yogyakarta (2016). Kecintaannya akan dunia seni rupa dan sastra, Rizal bersama sahabat-sahabatnya membentuk Komunitas Sastra Roepa. Ia juga membuat sebuah majalah sederhana yang diberi nama literISI zine sebagai wadah menulis, membaca dan berkarya bagi siapapun. Saat ini, Rizal sudah menerbitkan beberapa buku baik sendiri maupun bersama teman-temannya; Antologi Cerpen Valentine Berdarah (Kaifa Publishing, 2013), Lisan Tulisan; Antologi Puisi Tunggal (RAR Edition, 2016), Kumpulan Puisi Islami “Subuhku dalam Tahajud-Mu” (Arenabuku, 2016). Ig: @Alfinrizall, Fb: Alfin AR Rizal, Blog: www.alfinrizalstory.wordpress.com, www.alfinrizal.wordpresss.com. E-mail: alfinrizalrizal@gmail.com
 

Terkini