PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Diantara
Diantara bongkahan batu besar aku bersembunyi
Diantara deburan ombak aku menenggelamkan diri
Diantara gundukan tanah aku mengubur
Diantara puing reruntuhan aku meyusun rumah
Persembunyian abadi, membenamkan dosa
Dosa sebesar gunung, bahkan lebih, bahkan berlipat
Aku tak ingin keluar lagi
Hidup diantara gemerlap lampu
Pijar terangnya menyilaukan ulu hati
Lalu redup dan menggelapkan mata nurani
Yogyakarta, 31 Agustus 2016
Duka Fajar
Malam yang berlalu, begitu panjang
Kabar itu datang
Disaat gema subuh berkumandang
Dering telepon tak ingin kalah mengundang, aku
yang telah terjaga diujung malam panjang
tergoncang
Dia telah memanggilnya, pulang
Kala fajar mengganti hari petang
kala itu pula, Dia mengganti status kehidupan seseorang
aku terisak, kehilangan
Yogyakarta, 31 Agustus 2016
Itulah Pekerjaanku
Aku selalu menyalakan mesin
Terburu dikejar waktu
Tepat saat jarum pendek dan panjang
Berdetak di dalam kedalaman jam tangan mungilku
Berkata “sekarang pukul setengah tujuh”
Aku harus bergegas
Jalan menikung berulang
Lampu merah tak ada kata jarang
Lalu persimpangan tak kalah muncul tanpa selang
Aku menuju ke sana
Ke suatu rumah, di ujung gang sempit
Rumah seorang tentara
Bersama kedua putra yang menantikanku saat petang tiba
Menyambutku di depan rumah
Lalu menggandengku masuk ke dalam
Lalu mengulur tangan, bersalaman
Penuh ta’zim padaku
Seorang gadis muda yang belajar menjadi ibu kedua
Bagi mereka, keluarga yang tak ku kenal
Itulah pekerjaanku
Yogyakarta, 30 Agustus 2016
Untuk Dedy
Mereka menertawakan suratku
Yang kutulis dua belas tahun yang lalu
Saat aku masih belum berumur genap
Tujuh tahun
“Bahasa Inggrismu terlalu buruk”, kata mereka
“Bahkan untuk menyebut nama orang paling hebat dalam hidupmu, kamu keliru”, tambah mereka
Dalam surat, aku berkisah
“Dedy, kau tetap juara satu dihatiku”
Aku bangga dengan suratku
Tapi, tetap saja
Mereka menertawakanku
“Kelak, kalian akan tahu”, kataku sambil lalu
Yogyakarta, 24 Juni 2016
Kelebat Hantu Kenangan
Siluet kenangan berkelebat
Hitam, tak pekat, putih pun tak terang
Suram, buram, ataukah memang remang penerang
yang memang hanya temaram
Entahlah……
Di sana, di antara deretan siluet
Kelebat anak kecil berponi
menyusup diantara kursi-kursi
yang bergoyang, santai diterpa angin
sore hari
berjinjit memasuki kamar tua
memanjat dipan yang sama, tua
lalu, merayapkan jari-jemari
memegangi puting-puting
susu si kakek yang pulas terbaring
di antara bantal dan guling
Masih sama, tua seperti yang empunya
“Berandal!! Anak nakal…binal!”, umpat kakek tua
terperanjat, jantung hendak meloncat
Bocah berponi itu cengingisan
meloncat girang, pontang-panting tak kepalang
“Hihihi…”, nyaring suaranya berdering
“Hahaha…”, renyah suaranya tumpah ruah
Kaki kakek tua gemetar, tangannya ingin meraih pintu, lalu
mengunci rapat, bersandar, membungkam gejolak api kemarahan
Aku berdiri mengakar
terkenang, mengenang tepatnya
Saat dua jam yang lalu
kakek terbujur ke utara dengan segenap napas-napasnya
yang berat
Sedang, detik ini, napasnya bahkan telah tiada
Kakek terbujur kaku, tepat di antara orang-orang berbaju
hitam
pekat
Di antara orang-orang yang melayat
kunang-kunang menari riang
mengejekku, tertawa puas
Seperti, kala aku lima belas tahun yang tlah lepas
Aku tumbang, mengenang kenangan
yang terseok-seok memburu
lalu menjelma hantu, yang berkelebat
begitu cepat, layaknya maut yang
merenggut sisa marahmu yang bahkan masih kau bungkam
kau bawa pulang, terkubur di pusara
diam, bersemayam dalam keheningan
Masih sama, lima belas tahun silam
“Cucumu, tak sempat meminta maaf…”
Yogyakarta, 7 April 2016
