Emakku dalam Luapan Kasih, Sialang Senja, Untaian Kecil Atas Toga, dan 2 Puisi Lainnya

Ahad, 18 September 2016 | 01:51:13 WIB
Ilustrasi. (Elise Palmigiani/fineartamerica.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Emakku dalam Luapan Kasih
 
I
Untuk emakku tercinta Hj.Sulasmini binti Supangi
Rintikan hujan berdenting mesra atap rumah papan penyangga. Terdengar riuh angin terjang menerpa huma. Menanti ayah menjelajahi ruah mencari sebongkah kelubi hitam berduri. Asam menyentak bibir mendayu sayu dalam kasih tertanam dan terbenam. Arif dwi septian kau tegap pasti mengucap lirih nama buah hati. Bijaksana kau impi mengarungi dunia fana hina kan mampu adili. Bijaksana pembeda langkah kanan dan kehancuran. Bijaksana tak kan melupakanmu walau sedetik nafas hidupku. Menyelip namamu senantiasa dalam selipan luapan do’a terucap asa cinta padamu surga. 
 
II
Hentakan besi beradu menggema bangunan sederhana depan rumah. Engkau tegak berjalan menuju wadah mimpiku “bangun bangun” katamu. Dulu aku masih tertidur berpeluk diri akan kasih sayangmu. Terpangku gagu pada rasa noda tak mandiri. Di depan posko berpagar hijau kau lambaikan tangan sucimu berharap bijaksana mengantarkanku dalam cita. Kau tinggalkan aku dalam balutan kasihmu. Aku tau engkau bersedih aku tau air matamu mengucur deras menangis sendu. Tapi depanku kau ucap teguh padahal kau rapuh. Aku ingin tetap dalam pelukanmu mak tak sanggup berpisah beradaptasi dalam pengasingan yang akupun tak mengerti. Kau lawan egomu kau kubur sedihmu demi aku dan masa depanku. Tiga tahun dalam balutan rindu yang tiada usai. Keputusan bulat kau buat bertolak pada hati. Kau campakkan aku dalam balutan kasih pada puing-puing surga luar kota. Tapi tetap kau berpura teguh tegap padaku padahal hatimu layu sendu.
 
III
Emakku dalam luapan kasih. Dalam masjid suci bersaksi sajadah biru tak sanggup ku bending air mata mengucur deras di relung pipiku aku menangis bersedih sendu. Aku tau ada mimpi dibalik pengorbananmu ada harapan dalam butir-butir air matamu. Aku sayang padamu emak.
Emakku dalam luapan kasih. Terima kasih atas bijaksana yang kau tanam dalam diriku. Secuilpun tak mampu kubalaskan hanya sebuah coretan lusuh pencurah isi hati bukti bakti cintaku padamu. Bimbinglah dan ajarlah aku tetap dalam muara kasihmu.
Emakku dalam luapan kasih. Peta kesuksesan telah kupahat indah dalam diri tertanam pada relung hati. Harapan kupatri padamu sepucuk do’a kupinta selalu. Ya Allah tempatkanlah pahlawan hidupku Sulasmini binti Supangi dalam singgasana surgaMu.
 
Kampung Rantau panjang
 
 
 
Sialang Senja
 
I
Pada pagi menyisakan gulita. Pelukan beku lagi menusuk rusuk auman ngantuk terasa menggoda kembali terjun tuk mengarunginya. Onggokan getah tertumpah kan curah rupiah. Melejit menjerit mengapit hidup kian susah terperosok sosok sok politik petuah titah bersimbah darah dari bawah berserah pada merah. Kau berjalan menapak curam bertukai jepit bermodal obat nyamuk melingkar atas kepala. Gontai berjalan, gagah berserah, derita terlupa. Mengikis tipis tinta putih dari sayatan mencabik luka. Kau lukiskan harapan cinta keluarga di batang beraroma menusuk rongga kembang kempis berucap do’a menyaring langit menumpahkan air mata. Sialang senja bergoyang menumpah lara.
 
II
Pada siang terik merompak dahaga. Gemericik hujan berdenting dua bumbungan hama menghujam sukma berlentera cahaya meraung gulita bersayap muda menyayat sang angkasa. Lusuh menghempas wanita paruh baya compang camping pincang raga derita linyang dalam rasa membesit luka tua usia mengais kau kerja. Berjalan berlari mengitari jalan sepi mencari rejeki walau sesuap nasi tegap teguh terjun jauh dalam hati berharap pada siput kencang berlari. Ku teteskan tinta bermodalkan percaya. Daun pintu tak menyatu kan pada jendela pusaran angin tak berjalurkan beda dentingan gitar tak sumbang kan di telinga. Air mata dunia menggores luka merendam gandum sangka celaka membusung dada berbangga ria. Berteriak pada terik tertarik janji suci palsu. Tersungkur pada sukur terpangku engkau gagu timbang tak lagi seimbang dalam rentang yang terbuang. Sialang senja berderit “palung cinta ibu” katamu.
 
III
Pada malam berontak engkau senja. Neon putih menyala terang bawah jendela, Pintu langitpun berteriak gulita pada lentera. Lorong tepian cangkir memutar kata menggulung asa cita memaling muka mencari hasrat tepat menyapih lupa mengoles luka merelakan air mata. Kau terbaring tenang atas ranjang kulit keriput melekat badan tua. Aku bangga tuhan kirim sosok teguh asa cinta engkau bunda. Mengiring rupa memancar ruah celaka mengoyak lara terapit tersayat dalam dada. Perjuangan mulia dilaknat dunia terserak terseret jauh deras sungai menguak lumpur berteriak atas pantai kiambang menjauh hanyut entah kemana. Tersentuh rasa dahaga menatap usia tak subur terkubur dahaga celaka semoga gegas bebas bersua dalam surga. Sialang senjapun tersenyum dalam ruang sempit terapit duka.
 
Kampung Rantau panjang
 
 
 
Untaian Kecil Atas Toga
 
I
Akulah penyelam jarum malam berjoged salsa atas panggung mewah berkelipan cahaya. Asap yang mengumpal dari balik lorong pertanda hujaman suci menarik nafas menanti kepakan sayap merpati pada tuah diri. Menanti toga merah bersimbah tepat atas kepala. Berpakaian serba hitam bergaris hijau tegak tegap depan tontonan. mematri dalam diri jiwa nan sunyi memberikan harapan tak ternanti menghubungkan jiwa tak berperi menyongsong sang mentari dalam mimpi.
 
II
Akulah lentera waktu bergerak menepi mencuat dalam butiran pasir menghempas lebur bongkahan aspal. Berputar tanpa tujuan bagai roda pompong yang dihempas ombak mulia kencana. Menggantung luntang lantung pada tepian dek shubuh rintikan air jatuh tergerus hujan. Songsongan pagi mengutarakan hampa mengulur malam berontak pada senja neon putih menyala terang bawah jendela pintu langitpun berteriak gulita pada lentera. Tepat pada kanopi langit lorong tepian cangkir memutar kata menggulung asa cita memaling muka mencari hasrat tepat menyapih lupa mengoles luka merelakan air mata mengiring rupa memancar ruah celaka mengoyak lara terapit tersayat dalam dada.
 
III
Akulah pejuang padu berpunggung abu kesana kemari tak menentu sekedar berpijak pada huruf-huruf berjarak bersajak berpola satu berirama merdu “palung hidup”, katamu. Menggantung sujud tergulung atas sajadah mengolok masa tertumpah jiwa pada goyah. tertimbun janji terbukti atas sumpah berteriak pada terik tertarik janji suci palsu tersungkur pada sukur terpangku engkau gagu timbang tak lagi seimbang dalam rentang terbuang demi untaian kecil palung toga.
 
Pekanbaru
 
 
 
Polemik Negeri
 
I
Ketika sinar perak mengintip dalam jubah hitam sang malam
Serdadu-serdadu membentuk barisan antara lintang dan harapan seperti yang terekam lalu tertikam oleh perjalanan alur dari pengendali waktu
Tergaris sekelebat kisah pejuang bersimbah darah semakin getarkan lupa
 
II
Aku hisap sejumput deruan nyata menyendak nafas mengingat ceruk kenang
Manakala Jogja digoncang gempa, banjir menghantui ibukota, gunung merapi yang kerap waspada, deru tsunami meratakan negeri Aceh, kemiskinan tak sulit disua
Dan Riau, Masihkah boleh kami bernafas?
 
III
Kepada janjimu manusia singgasana
Timbangmu sumbang, tak lagi seimbang dalam rentang lima tahun yang terbuang hanyalah terukir bualan palsu yang tersungkur
Biarlah sakit rasa perih, biar lelah begitu sengsara aku takkan menyalahkan takdir karena takdir memiliki andil
Seperti yang penyair elok-elokan betapapun duka nestapa membebani punggung
 
Pekanbaru, mei 2016
 
 
 
Sepenggal Kisah Sultan Syarif Kasim
 
I
Dipertuankan besar sultan hulu mempura yang memukul
mundur belanda hingga ujung tombak
perang sikojang pun menyentak serdadu angin utara lalu bersembah juang 
datuk empat suku tiadakan lagi bertahtakan semenja
sebab pungutan pancung alas sudah ditelan istana
kerapatan tinggi nobat tuan tonggak pusara kerajaan hulu mempura
 
II
Langit biru kian kikuk mengharu pada awan dan hujan 
mencampakkan diri bak menyendu pilu
;menopang dagu
Awan hitampun terpekik, terjerat diantara bongkahan batu
Sepoi melambai meliuk-liuk kikuk menyapa rindangnya ranting
Menjatuhkan bulir air hingga ke akar
Sultan tiada menerpa angin, 
menghirup harap dan menahan ratap
Pada palung juang 
yang terkesiap lalu tersingkap
 
III
Ditengah dentam palu godam bumbung bertungkai tapak
berbaring sultan tenang dalam pejaman
diiringi asap mesiu melontar kehormatan
beristirahatlah sultan yang kami banggakan
 
pekanbaru, juni 2016
 
 
 
Arif Dwi Septian, buah hati dari pasangan H.Abdul manaf dan Hj.Sulasmini lahir pada tanggal 30 september 1994 di sebuah kampung yang bernama Rantau panjang kabupaten siak provinsi riau, negri yang kaya akan sejarahnya maka dari itu ia bertekad untuk memajukan sejarah kampungnya melalui sastra. Sekolah dasar di kampung melanjutkan di pondok pesantren Ittihadul muslimin selama 3 tahun dan nyantri lagi di pondok pesantren Dar el Hikmah selama 3 tahun pula. Sekarang penulis sedang menjalankan studinya di UIN SUSKA RIAU tepatnya di jurusan Ahwal Al-syakhsiyyah. Berkecimpung di dunia menulis sejak di bangku sekolah dasar dan beberapa karyanya telah dimuat di Koran. Ia juga seorang aktivis kampus BEM, aktivis kemanusiaan PKPU dan aktif di organisasi FLP (forum lingkar pena). Bagi yang ingin mengenal lebih jauh lagi silahkan kontak fb: Arievilla dwie septyan Email: arifestu2075@gmail.com.
 

Terkini