Tentang Seekor Anjing yang Tinggal di Dalam Kepalaku, dan 2 Puisi Lainnya

Ahad, 18 September 2016 | 01:43:34 WIB
Ilustrasi. (Januz Miralles/pinterest.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Tentang Seekor Anjing yang Tinggal di Dalam Kepalaku
 
Salju berjatuhan di luar jendela, anjing itu mati tanpa sempat aku mengucapkan kata selamat tinggal yang pantas untuknya. Aku bahkan tidak bisa memberikan air mataku untuknya. Anjing yang malang. 
 
Anjing itu telah mati, tapi aku masih hidup. Aku salah bila menyebutnya sebagai anak malang, karena sesungguhnya, akulah yang malang. Anjing itu telah mati, tapi kenangan akan dirinya masih hidup di dalam diriku. Dan sekarang, setelah dia mati, aku harus menanggung kenangan itu sendirian. Ah, manusia yang malang.
 
Salju berjatuhan di luar jendela, menumbuhkan hal-hal yang sama sekali tak aku inginkan. Pohon-pohon yang tak aku inginkan itu tumbuh bersama segerombolan semak berduri yang sengaja aku semai. Lihatlah, betapa dua hal yang saling bertentangan itu bisa hidup berdampingan. Hidup dengan cara saling membelit yang lain. Kepalaku adalah saksinya, tentang obrolan di antara mereka, mengenai siapa yang lebih bisa membikin luka.
 
Anjing itu telah mati, tanpa membawa serta ingatan tentang dirinya ke dalam kematian. Aku tak tahu, ingatan tentangnya akan tumbuh menjadi apa di dalam diriku. Yang aku tahu adalah dia telah membawa sebagian dari diriku ke dalam kematiannya, tanpa meninggalkan sedikitpun dari dirinya untukku. Manusia yang... anjing yang... ah entahlah, aku tak tahu. Siapakah di antara kami yang lebih malang.
 
 
 
Tentang Perahu yang Berlayar di Dalam Kepalaku
 
Aku berjalan menujumu, tapi tak ketemu. Aku pulang dan kulihat kau telah menggenangi lantai kamar. Bahagia mataku, bergembira pendengaranku. Tapi tidak hati dan lautan di dada dan kepalaku. Kepalaku semakin laut saja. Dadaku pun semakin garam rasanya.
 
Matahari semakin tinggi, menguapkanmu. Aduh, Shine...Shine... Kapan sih kamu berhenti jadi perahu? Aku lelah menjadi laut melulu, tempatmu berlayar, membuang sauh, dan bersandar.
 
Siang. Dadaku berdering menerima panggilanmu. 
Kau dimana? kataku. 
Aku tersangkut di pagar, katamu. 
Ah, dari sanalah semua bermula, Shine. Pagar itulah yang melahirkanmu. 
Pagar sialan, aku juga tersangkut dan tak bisa melepaskan diri. Padahal niatku adalah membebaskanmu--tapi belakangan aku jadi curiga dengan diriku sendiri, jangan-jangan aku sengaja membuat diriku tersangkut. Supaya bisa bersamamu.
 
Sore. Angin menderu-deru. Kita berkibar dihembus-tiupkan angin. Aku meniupmu dengan nafasku. Kau tetap menggenang. Bergelung dalam cangkir, berharap dapat kureguk tanpa di angin-anginkan(1). Aku menarik nafas, lalu sadar bahwa udara ini telah penuh oleh dirimu juga, yang tengah mengepul dari genangan dalam cangkir. Aku menahan nafas. Selamanya. Tidak, maksudku selama-lamanya. Bukan-bukan, yang sebenarnya ingin aku katakan adalah selama-lama-lamanya. Semampunya. 
 
Dan bila kelak malam bertanya tentang hari ini, akan aku menjawab, aku telah melawan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya(2). Meski tentu saja aku menikmatinya. 
Munafik.  
Hey, siapa sih yang tidak munafik di dunia ini?
 
 
*note
1. Guri Ridola
2. Pramoedya Ananta Toer
 
 
 
Aku Sebatang Pohon
-Teruntuk Miftah F Lubis
 
Aku bisikkan pesan untukmu kepada pohon-pohon yang berlari menjauhiku:
"Aku sayang kamu."
Daun mereka bergetar di depan mataku, tapi nafasku lebih berdebar lagi
Kamu tahu karena apa? Rindu
 
"Iya," jawabmu di ujung sana
Adakah yang lebih indah dibanding mencintai dan dicintai?
Bahkan aku lupa pada takdirku, bahwa aku adalah sebatang pohon
Yang hanya bisa meratap dan memohon
Ketika harus bertemu, kehilangan demi kehilangan
Ketika harus bertamu, dari kesedihan ke kesedihan
 
"Aku sayang kamu."
"Sayang sekali ya, aku tidak merasakan hal yang sama."
Kamu menjawab ungkapan sayangku dengan kata sayang juga, namun kata sayang yang aku ucapkan rupanya berselisih jalan dengan kata sayangmu
Sebab mereka, tak pernah bisa bertemu
Ah, sepasang kata sayang yang malang
 
Tujuh belas tigapuluh tiga aku sampai di pantai utara
Pantai yang sederhana--luar biasa sederhana
Pantainya tenang, ombaknya pun tidak bergelombang. "Sedang apa kamu sekarang?" Aku menunggu jawabanmu, sementara pantai itu berlari menjauhiku
Dan aku kembali pada kesendirian, pasrah menancapkan nasib diri pada duri-duri kerinduan
 
Wajahmu berlarian di luar jendela, demikian ganjil sekaligus demikian nyata
Tahi lalat di atas bibir sebelah kirimu itu, sungguh aku ingin mengecupnya
Sehangat apa kira-kira rasanya?
 
"sayang aku lagi apa?"
Kamu menangkupkan kedua telapak tangan pada wajah sebagai jawabannya
Mungkin kamu tak mau aku melihat pipimu yang bersemu
Mungkin kamu takut membuatku semakin mencintaimu
 
"Dan itu lama. Apa yang akan kamu lakukan selama kamu menunggu? Aku tidak mau kamu melewati waktu dengan sia-sia begitu."
"Aku akan sabar dan menanti. Percayalah, tak ada yang sia-sia dalam mencintai."
"Aku tidak mau."
"Pliiissss..."
"Gak. Mau."
"Hari ini terlalu sempurna untuk tak aku lewatkan bersamamu."
"Lebay."
Dan kamu melanjutkan makan pecelmu
Aku memandangimu dari seberang meja, sambil menyeruput segelas jus mangga
Sayang, aku di pintu selatan. Tidak usah dibalas, ini aku pinjam gawai teman."
Dan aku menunggu, hanya untuk memastikan bahwa kamu memang tak pernah datang -
Apakah pesanku sudah kamu terima?
Tulisan ini, sudah bolehkah aku mengakhirinya?
Ayolah, aku tak mau mati dengan masih menanggung rindu begini.
 
Jaya Baya, K3-5-7b 
 
 
 
Majenis Panggar Besi adalah sebuah nama pena. Selain membaca dan sesekali menulis, Majenis Panggar Besi juga suka berjalan melawan arus eskalator dan menyebrang jalan sembarangan. Mempunyai cita-cita terpendam untuk menjadi seorang vegetarian, tapi belum bisa melupakan kelezatan bakso daging sapi dan pempek kapal selam. Beberapa naskah puisi dan cerpennya telah terbit di sejumlah media massa dan dalam bentuk antologi bersama. Antologi cerpen termutakhirnya adalah Rentak Kuda Manggani (Diva Press 2015). Bisa dihubungi melalui akun Instagram @majenispanggarbesi
 

Terkini