PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Bertamu
aku masuki rumahmu:
dinding-dinding sejarah memajang lukisan airmatamu yang keruh.
lantai keramik yang lelah memendam abu waktu pun retak,
bergemeretak seperti tergagap melantunkan syair perkabungan.
aku masuki rumahmu:
lorong-lorong gulita memantulkan lolong-lolong sunyi yang mengaduh,
bersumber dari kolong-kolong mimpi. jendela kaca berlumut terkatup,
sebab ruangan terlalu bosan memandang mendung yang bergelayut
di langit murung.
di sini tak kutemukan siluet matahari,
karena itu kunyalakan sebatang lilin
sambil menata langkah di lantai licin.
“Assalamu’alaikum!”
Banjarmasin, 21 Agustus 2016
Insomnia
00:00 menyergap sunyi jarum jam
derik jangkrik menyinggahi malam resahmu
agaknya malam ini insomnia datang bertamu:
kau rasakan juga hawa dingin
yang tiba-tiba menyerbu, bersamaan
dengan tap-tap tapak kaki di luar kamar.
lalu kau tatap pintu terkunci itu:
“siapa yang menggetarkan grendel beku?”
agaknya ia berhenti melangkah dan
berdiam di muka pintu. kau dengar jua
desah nafasnya bagai menyebut namamu.
“kalau begitu siapa yang daritadi
begitu iseng mengetuk kaca jendela
sehingga cicak-cicak itu berlarian
ke balik meja!?”
tubuhmu pun gemetar,
tak kau tatap lagi pintu itu
sambil bersembunyi ke balik selimut.
tapi adakah kau rasakan jemari gaibnya
kini tengah menerobos selimut:
ia coba membelai tubuhmu
dengan sentuhan paling lembut.
Banjarmasin, 22 Agustus 2016
Tembang Perjalanan
kuda-kuda berlari menerbangkan debu
berderap seperti denyut lagumu menafasi rumput layu
ke arah utara mereka berlari
menuju kandang musim semi
kuda-kuda berlari meniti jalan berduri,
cadas-cadas rindu, lumut-lumut waktu
berderap, seperti simfoni yang kau tabuh pada sunyi batu
“nanti nadamu tak lagi kerontang, sayang
di utara: sendang terbentang!”
ah, kuda-kuda masih terus berlari
memanggul letih kita
di depan mata: rute takdir, tikungan mimpi
di atas kepala: dahaga kemarau, segumpal matahari
Banjarmasin, 10:46 8 Agustus 2016
Katarsis
bayi yang terkubur dalam lumpur itu
tadi pagi tiba-tiba bangun
lalu menangis
memanggil ruh kupu-kupu
yang tak lagi berdiang
di mimpinya yang gigil
lalu seorang nenek tua
mendendangkan nina bobo kepadanya
sembari memberinya minuman embun
yang menitik dari pucuk mendung
dan ketika bayi itu kembali lelap
tubuhnya dibenamkan kembali
ke dalam lumpur pekat
“kini biarlah ia yang mendiami kuburku,
aku masih betah menjadi bocah ingusan,”
gumam nenek tua
sambil tangannya terulur meraba udara
mencoba menangkap ruh kupu-kupu
yang beterbangan ke garis bianglala
Banjarmasin, 29 Maret 2016
