Penghujung i-City, Seusai Ritual, Menyulut Kenang, dan 2 Puisi Lainnya

Sabtu, 17 September 2016 | 06:27:51 WIB
Ilustrasi. (Van Gogh/en.wikipedia.org)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Penghujung i-City
               ___ reolla vendena
 
1
Bayangan ganjil, tanpa
Gemericik airmata sisa
Pecahan kaca
Mengristal kaku
Tanpa cahaya
Tanpa jiwa
Tanpa asa
 
2
Ujung menara
Memacak langkah
Menimpa yang patah
Tubuh
Senantiasa tubuh.
Rubuh.
 
3
Its amazing!
Dan bergurau, tawa
Mengecuh aroma
Temaram: cahaya
Warna-warna
Cita
 
4
Yang tak pernah hilang
Ialah kenangan
Ialah kenangan
Kenangan
 
i-City, 2016
 
 
 
Seusai Ritual
 
Aku ingin bernyanyi
               Pada pagi, pada hening
 
Mengalirkan maram
               Rindu beraduk haru
 
Dibawah embun
               Aku ingin bernyanyi
 
Dengan kecupan
               Dingin pelukan
 
Hening yang sepi
               Sepi yang sekap
 
Menjadi irama
               Dalam tandus
 
Ritual pagi
               Nyanyi mati.
 
Medan, 2016
 
 
 
Menyulut Kenang
 
Tubuh yang patah
Luka yang rekah
Lihatlah. Cahaya kami
               Cahaya kami
 
Tak lagi cerlang
Tak lagi rindang
               Melatahkan cinta
 
Kami percaya
Sampai tubuh lindap
Sampai luka endap
Sampai aku menyatu
               Lengkap
 
TPN | Meulaboh, 2016
 
 
 
Mengajal Darah dan Tubuh
 
Darahku debur angin
Tubuhku rintih tangis
Aku ini darah dan tubuh
               ____sajakah?
Tanpa jiwa yang berbinar
Menadah letih ditiap p a t a h
 
(walau maut telah menebaskan
sabda bagi segala semesta)
 
Jelaga hinggap menubuh
Jelaga hinggap mendarah
 
Mengental, menghitam, mengeras
Mengristal, menggeram, mengaum: aku!
 
Darahku busur waktu
Tubuhku binatang rimba
 
Lempar! Aku kepada maut yang menjagal
Ruh dari darah dan tubuh
 
Mathrozka, 2016
 
 
 
Hari ke-111 Masa Pengasingan
               : Nabiella Rouseaff
 
Gulita masih mengunci
Area para pengungsi
Liur gadis kecil
Baru saja mengalir
Membasahi batu
Bantalnya
*
Angin malam
Memeluknya
Embun malam
Pecah helai ikalnya
Purnama memandang
Teduh matanya
*
Gadis kecil itu, Nabiella
9 tahun tanpa ayah dan bunda
Telah luka raganya
Telah trauma jiwanya
Setelah 111 hari
Masa pengasingan
*
Kota dimana
Sebelumnya ia
Hidup ceria bersama
Sabiqa, Anilla, dan Zahra
Adik-adik sayang
Yang kini hilang
Ditelan ledakan
111 hari yang lalu
*
Hujan lahir
Butir-butir air
Membasahinya, dan
Para pengungsi
Berebut tenda
Rimbun pohon 
Berhimpit dalam kantuk
*
Gadis kecil itu, Nabiella
Tak merasa hujan
Mengganggunya
Ia tak akan meleleh
Sebab ia telah jadi batu
Dan tak seorang pun
Peduli itu
 
Padangbulan, 2016
 
 
 
Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997. Menempuh studi Ekonomi Pembangunan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara. Mulai terjun berkarya-tulis sejak Sekolah Menengah Atas. Berbagai karyanya dalam bentuk esai, sajak, cerpen, resensi dan opini tampil di Majalah Sastra Horison, The Jakarta Post, Analisa, Waspada, Mimbar Umum, Minggu Pagi, Riau Pos, Haluan, Sumut Pos, Suara Karya, Rakyat Sultra, Koran Madura, Koran Pantura, Tanjungpinang Post, Pontianak Post, Medan Bisnis, Tribun Bali, Malang Pos, Sulteng Post, Jurnal Sastra Aksara, Buletin Sastra Jejak, berbagai media online: sagangonline.com, floressastra.com, riaurealita.com, negerikertas.com, nusantaranews.co, serta termuat pula dalam buku Merindu Tunjuk Ajar Melayu (2015), Merenda Hari Esok (2016), Perayaan Cinta (2016), Ketika Tubuhmu Menjadi Mawar (2016), Menenggak Rindu (2016), Pulang (2016), dan Pasie Karam (Temu Penyair Nusantara, 2016). Ia juga menjuarai beberapa ajang perlombaan, seperti Juara I Lomba Debat Bahasa Indonesia, (Balai Bahasa) Sumatera Utara, 2016. Juara III Lomba Karya Tulis Hari Konsumen Nasional se-Indonesia, 2016. Juara I Lomba Cipta Puisi Festival Iktikof Ramadhan (Taman Budaya) Sumatera Utara, 2016. Diundang menjadi peserta, pembicara maupun dewan juri di berbagai acara terkait bidang bahasa dan sastra.
 

Terkini