Kekata Konsonan Teruntuk Tuan, Aku Suka di Sini, dan 3 Puisi Lainnya

Sabtu, 17 September 2016 | 03:52:10 WIB
Ilustrasi. (Jan Brychta/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Kekata Konsonan, Teruntuk Tuan
 
Bagaimana bisa beta bersandar bahu
Pada para perusak pribadi-pribadi pembaharu
Dirinya datang dengan dusta dan durja
Tapi, Tuan tetap terpakupana terhadap tampangnya
 
Tuan, tetaplah tolak tipuannya
Karena, ketahuilah ketika 
Mulai merasuk metamorfosanya
Ia imanen, inginkan imanmu
Inginkan imunitasmu
 
Bukankah banyak badan berbuah bobrok 
Sebab seringnya sang sukma sengaja
Memakan ‘madu’ mematikan miliknya
 
Tuan, teruslah tepis tutur tengiknya
Camkan!
Namanya Narkoba!
 
Bintaro, 30 Agustus 2016
 
 
 
Aku Suka di Sini
 
Di sini paginya terbisingkan dengan kicau
Kicau elok para penerbang
Di sini sorenya ramai dengan dzikir
Meski pendendangnya hanya segelintir
 
Di sini tengah malamnya biasa terngiang
Nyanyian gong, gending dan sinden
Entah dari mana
Tapi sering kuduga 
Itu semua suara mesin sahaja
 
Dari sini Aku berpindah
Aku berhijrah ke sana
Saat menapaki ‘sana’ 
Artinya Kini, Aku sedang menapak di sini
 
Bagaimanapun harus kusukai
Meski tanpa kicau di pagi hari
Dzikir di sore pelupuk sang mentari
Dan tengah malam yang sunyi 
tanpa suara-suara misteri
 
Pemalang-Bintaro, 31 Agustus 2016
 
 
 
Kopral Tidur Lebih Awal
 
Si Kopral pulang tanpa dikawal
Katanya Ia hendak tidur lebih awal
Membuka pintu dengan napas agak tersengal 
Ingin segera rasanya melempar raga keatas terpal
Esok, entah jiwanya t'lah tiada atau masih tinggal
Yang terang, kopral ingin tidur lebih awal
 
Pemalang, 18 Agustus 2016
 
 
 
Buat Pak Rambutan
 
Pak, dulu Bapak pernah melempari kami
Dengan rambutan barang sepuluh ikat
Kami tak tahu Bapak penjual atau 
Cuma seorang petani
Yang ikhlas memberi 
Buah nan nikmat memikat
 
Yang Kami tahu
Bapak mungkin adalah malaikat
Dikirim oleh Sang Maha Tahu
Tatkala Kami sedang menegangkan urat
Berorasi kepada para pejabat
 
Pak, Sebagian dari kami 
Tak seperti dulu kala
Sementara Kami memilih diam sejuta basa
Ketika penindasan mengungkung jagad raya kita
Mungkin akar-akar itu tlah tercerabut dari dalam dada
Diganti dengan benih kotor nan fana
 
Tapi percayalah Pak Rambutan
Kami masih sama 
Masih mempunyai sedikit rasa 
Seperti kebanyakan kalian
Membenci laku para setan
Meski artinya harus membenci badan
Beserta s’luruh kekawan
 
Pemalang-Bintaro, 31 Agustus 16
 
 
 
Asa Bersua Ujung
 
Empat dentam suara jam berukuran besar
Mengguncang jidatnya yang lebar
Sejak dua jam lalu 
Tersungkur dalam munajat yang kelabu
 
Dipandangnya tulisan lama digurat 
Menggunakan pena penuh hasrat
Angannya melayang setinggi awang
Meninggalkan bayang penuh kenang
 
Seorang pemuda dengan berjuta asa
Kuasanya hanya pada air mata
Karena keringat telah lama mengering
Diperas sejak mentari menyinari
Hingga saat rembulan yang mengganti 
 
Disekanya mata merah itu
Segera dituju rumah Penguasanya
Ia memang t’lah datang malam ini
Ke dalam istana dan kalbu sang pemuda
Namun, apa salahnya saling kunjung?
Semoga asanya bersua dengan ujung
 
Bintaro, 31 Agustus 2016
 
 
 
Muhammad Wildan Basri adalah seorang mahasiswa jurusan D3 Akuntansi di Politeknik Keuangan Negara STAN. Beberapa puisinya yang telah turut bergabung dalam buku antologi puisi antara lain: Obsolet (Bebuku, 2016), Kesyukuran (Santri Kelana, 2016); dan Ajari Aku (SSAN, 2016). Penulis dapat dihubungi melalui WA (089647125697) , surel: muhwilbas@gmail.com, dan Fb: Muhammad Wildan Basri.
 

Terkini