PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Firasat yang Bertikai
Apa yang kukulum dalam senyum yang menguntum adalah buah rinduku yang hampir meranum
jejak-jejak dari telapak beku telah tertinggal namun luka tak jua tertanggal
dimana kan kucari dermaga kasih sesuci bulan putih
sementara kemudi telah patah dan lampu pesisir terang-redup sinarnya
takkan mudik rakit ke hulu jika rindu masih membiru dihujam pilu
ini bukan endapan air laut yang mencipta butiran garam tapi hangatan air jernih dari bawah dahi yang tengah kuperam
menyulam ketabahan lebih menggigilkan dibanding menyusuri malam dalam hujan
Ayah, kutahu cintamu pada laut tak pernah luput
tak hanya lumbung rezeki, laut bagimu serupa sahabat sejati;
“Tepian laut seperti pangkuan kaki bumi tempat peraduan merebahkan kepenatan sedang julur ombaknya adalah belaian tangan selembut beludru membelai dagu”.
Langit beraut pekat dibalut cuaca sekarat menjelma firasat buruk yang menjerat erat
kakiku terlipat di bangku pantai menanti bayangmu tak juga sampai
pada tunggu tak berpintu kukemas cemas yang bertabuh
duhai laut yang airnya tak setinggi lutut, cemasku benar-benar berlubang kalut bersebab malam telah larut; jangan biarkan ayah melaut dengan badan tanpa sampan atau tidur di bilikmu yang tak berdipan.
WSC, 28 Agustus 2016
Menjemput Mabrur
Azzam yang diperam sedari Muharram
semacam hasrat berkelebat hendak menyandang kain ihram sebening air zam-zam
sungguh mengusik kulit rindu yang terlalu lama menggebu
lalu sisiknya mengayak asa untuk segera menjamah Baitullah
Sesumir mari kita lesapkan segala pemicu dosa hingga ke celah-celah raga agar takabur tak melebur mabrur
segenap tirakat yang tersirat tatkala ibadah haji dimaklumat : niat yang murni karena Ilahi bukan pula mengharap puji, bekal yang halal dipintal serta merta memecah kerikil riya saat gelar telah bertambah.
Pun seusai predikat haji digapai, hati benar-benar sudah dicuci bukan dengan berbagai pewangi melainkan menghimpun ibadah yang tersusun di rukun dan tali silaturahmi mesti lurus tak boleh terputus. Senantiasa menjalankan syariat agar selalu mendekat dan sememangnya kita harus semakin taat.
WSC, 29 Agustus 2016
Pintaku di Lima Waktu
Tiap lima waktu selalu pinta itu kembali kusuguh, himpunan raka’at menjerat do’a yang mengalir bersama dzikir. Meniti biji-biji tasbih pada subuh yang cahayanya masih secercah hingga berganti pagi dengan fajar yang berpijar bahkan sinaran rembulan yang menginjak pangkal malam tak jenuh kupujuk tuhan. Serimbun do’a berbuah pengharapan berlabuh di khusyuknya tahajud yang mendalam. Janin tangis yang terkandung di rahim mata berpayung alis melahirkan jabang pelik, tatkala jemari ini menengadah pada Sang Khalik.
Membungkam sepi di kebisuan alam, namun jeritan reranting lapuk yang dihantam badai yang mengamuk serupa ragaku yang dibesuk lara. Bagaimana kelopak hati tak mengembang resah jika lengan-lengan waktu begitu cepat menarik usia. Terlebih lagi, desakan ibu untuk segera menimang cucu membuatkan diri semacam payung bumi dipuruk kelam.
Hempasan ombak acapkali mendamparkanku ke pantai ragu. Jemu yang menghadang mengitari penantian yang panjang. Sungguh, kuingin hubungan terjalin atas restu Ilahi yang dipilin. Biarlah lelah beradu bersama hasutan rindu, bersebab lelaki yang kunanti adalah imam sejati yang menjadikanku istri dalam agungnya ikrar, bukan sebagai pacar yang hanya sebentar. Tak perlu mendayung khawatir yang berarung di ujung jantung, jika rezeki telah tertakar maka jodoh pun takkan tertukar.
WSC, 22 Agustus 2016
Sahabat Setia
Bersendiri menguliti resah yang menyisik
atau menebas ilalang luka yang menjulang
belum jua rampung diselesaikan
semisal aku larut menghitung camar yang lalu lalang
atau menanti pelangi membagi warna nan berseri
begitu pula sahabat setia tak kunjung kujumpa
bersedia saling membahu berwaktu-waktu
bukan merapat tatkala bahagia merekat
namun ketika tawa berubah perih tiada sesiapa tempat berkongsi
mengamati perangai jiwa yang singgah
lelah sudah kumencari sahabat setia
lalu pada badan yang masih disimbah air sembahyang
kubesuk hati dengan hantaran khusyuk
azimat keramat pun mencuat sejuk;
: Bahwasanya sahabat setia adalah ibunda
tak kira siang malam serta di gelap dan terang dia kan selalu datang.
WSC, 29 Agustus 2016
Sesayat Isyarat
Mungkinkah dayung kan bersambut jika perasaan saling bersembunyi pada hati yang tak bertaut. Melarang perasaan agar tak bersarang sesukar memaksa langkah gemulai angin yang hendak menyapu putihnya pantai berpasir. Hanya menerbitkan kesia-sian di ufuk lelah jika membunuh tunas rasa di musim penghujan tiba.
Wajah semesta menyergit dengan gelap yang diapit, hujan pun terburai dari perut langit melihat kemahiranmu meredam rindu yang sesungguhnya temu ingin kau kayuh hingga ke pulau paling jauh. Padahal disini kujengah membeningkan tunggu di bahu jalan, tapi masih kau keruhkan warnanya dengan diam yang dijadikan pilihan, satu-satunya bahasa yang sulit kutafsirkan.
Tahukah kau betapa siksa menerjah membangunkan lena yang panjang bersebab mimpi tentangmu terlalu lama bertandang walau tak kuundang, haruskah kusabit belukar perasaan yang kerap menyeretku ke rimba lamunan. Semisal memadu asmara berapi lagi berkobar, hanya kusendiri yang terbakar. Tak lebih, kuingin kau punya rasa berwujud cinta meski itu hanya ada di sebelah hatimu saja. Biar sesayat isyarat yang tersemat di sematan tatap nyata maknanya.
Andai cinta hanya sepihak, akan kubuka jendela sebelum sang mentari benar-benar hinggap di dahan pagi agar embun segera menyudahi sulaman perih; karena yang jatuh berkali-kali tak hanya ia sendiri.
WSC, 23 Agustus 2016
