PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Kematian Tuhan
Langit mengulam
Tanah mulai menjerit meminta menjadi manusia.
Seungguk darah dijilat untuk pelepas dahaga.
Daun berjatuhan, ranting yang berharap umur panjang berabu termakan urat yang menjadi batang.
Setetes air yang bergantung hidup di ujung padang jatuh mengering tak membekas.
Apa ini kematian panjang?
Satu persatu Tuhan mulai bermunculan bertahta raja bermahkota duta.
Hati berisikan darah, pecah mengeluarkan kisah.
Kisah kematian para Tuhan
Ya,,kau mati dalam jiwa dan daging yang masih hidup.
Kau Tuhanku yang berdiri tegap memandang daging-daging segarku
Apa aku harus mengulitinya dan memotong-motongnya untukmu?
Sepertinya kau terlalu kelaparan.
Darah di hatiku berisi kisah dan kejayaan
Kau akan tentram
Jilatlah jangan kau ragu
Besok aku carikan daging-daging baru
Dari bangsa yang berkulit putih ataupun hitam.
Mungkin akan ada hati dan cairan-cairan darah yang bisa mengenyangkan perut besarmu.
Terima kasih Tuhanku
Sampai sekarang kau masih hidup
Dalam jiwa yang telah mati dan sangat busuk.
Bagi kami yang sering kau kuliti
Terimakasih kau rela menjadi Tuhanku
Sepuluh Tahun Kisah di Baju Hitamku
Sebelum aku menjadi abu,
Dua tahun lalu kau masih erat memelukku kuat seperti akar mempertahankan bumi tak lepas meski ada yang ingkar janji.
Sebelum aku menjadi abu,
Empat tahun lalu kau pernah bercerita bahwa ayahmu ingin bertemu denganku membahas kisah kau dan aku kadang tertawa.
Sebelum aku menjadi abu,
Tujuh tahun lalu aku pernah membawamu ke rumahku
Kau tertawa dan menangis ucapmu“ Andai kaulah iman semasa hidup dan matiku,
mungkin aku sudah mempersiapkan satu kubur untukku dan untukmu.”
Sebelum aku menjadi abu
Sembilan tahun lalu aku pernah ingin meminangmu, semua surat sudah tertulis atas namamu dan aku
semua kawanmu sudah berdatangan untuk melipat kain hendak berjuntai di depan pintu.
sudah kupakai pakaian adatku sudah beremas peci hitamku, sudah kududukkan di depan ayahmu, hampir kupegang tangannya terima ijab dan kabulku.
Sendiriku menikah dengan bayangmu
Kemana kau masa itu
Sudah hampir kau menjadi ibu untuk sekian banyak anakku
Kau malah pergi membawa mahar dan baju kebaya pemberianku
Kemana kau kasih?
Siapa yang melarikanmu?
Semua mendiam tinggallah bekas dibaju hitamku.
Sebelum aku menjadi abu,
Dua belas tahun lalu kau datang kembali dengan dua orang anakmu dan kau lewat di depanku tanpa bertanya terlukakah aku atau sehatkah aku.
Lalu kau bersama anakmu tanpa sepotong kata dari kisah sepuluh tahun lalu
Sebelum aku menjadi abu,
Empat belas tahun lalu aku mendengar kabar kau bercerai dengan suamimu namun aku tak tahu semacam apa rupa kasihmu.
Sebelum aku menjadi abu,
Delapan belas tahun lalu kau datang kepadaku ucapmu, “rajaku maukah kau membesarkan anak-anakku?
Aku hendak menjenguk kisah dimasa dulu seperti apa kiranya kebodohanku diwaktu itu.”
Sebelum aku menjadi abu,
Sepuluh tahun lalu aku sudah beristeri dengan gadis yang sangat mencintaiku yang bukan kamu
Tapi aku berucap kabul di beranda rumahmu dan dengan tangan ayahmu
maaf aku tak sanggup membesarkan anak-anakmu karna itu bukan anak isteriku
Sebelum aku menjadi abu,
Dua puluh satu tahun lalu aku pernah mati dan ditangisi tak kutahu apa kau datang masa itu.
Sebelum aku menjadi abu,
Dua puluh satu tahun lalu kau tak datang untuk menimbunku bukannya kau adalah tanah yang hendak menimbun kuburku.
Sesudah aku menjadi abu,
Aku menangis tapi setidaknya pakayan adat telah kupakai untuk menikahimu
Tuhan dan Rahim yang Haram
Ya,, aku akan tetap pergi,
Jadi?
Aku akan tetap pergi.
Masih basah tanah perkuburan
Masih jelas tapak kakimu
Kau pergi?
Ya,
Apa guna menangisi kuburan yang tak bernisan.
Aku tak merasa berhutang
Coba kau pikir, apa rasanya lahir dari rahim yang sangat haram.
Kau memang tidak,
Kau lahir setelah mereka dinikahkan
Sementara aku lahir dalam keadaan terbuang.
Lagian aku tak pernah berharap ada dari rahim yang sangat jalang.
Jaga ucapmu?
Apa yang harus kujaga?
Ucap?
Kubur?
Atau rahimnya.
Genap sudah tigapuluh tahun umurku
Namun karna jalangnya lahirku
Seorang kasih dan anak yang harus kupanggil sayang tak pernah keluar dari mulutku.
Sedangkan kau jauh bertahun di bawahku hampir bercucu.
Itu yang harus kujaga?
Masa bodoh.
Aku adalah aku
Tuhanku adalah aku
Dan siapapun adalah aku
Aku takkan mati
Aku adalah semuanya.
Jika Tuhan memang ada kenapa harus aku yang terbuang?
Kenapa tidak yang lain saja
Apa ini takdirnya?
Keputusan yang sangat hina, lebih hina dari perempuan di tepi jalan.
Jaga ucapmu, kau tahu Tuhan tak pernah diam dari pantawannya.
Khahh...
Tuhan,
Pantawan.
Sejak kapan dia memperhatikanku?
Sejak Tuhan tahu kau adalah adikku?
Atau sejak Tuhan tahu kuburan haram itu adalah ibuku?
Begitu?
Sungguh kau,
Tak adakah caramu pergi selain menghina kubur ibu?
Coba kau berdialog dengan tepian mandimu
Tanyakan berapa genggam ibu memakan kotoranmu.
Salahnya,
Aku tak pernah meminta untuk hidup
Jika aku tahu
Aku lebih memilih mati
Dari pada lahir dari rahimnya
Tuhan akan sangat marah padamu.
Tuhan adalah aku,
Aku yang mengatur hidupku.
Semoga kau sadar sebelum mati
Kutunggu Kau di Antara Isya dan Subuhku
Aku hanya menunggumu di antara isa dan subuhku
Kau teranggun
Kopi yang pernah kau buatkan dulu kini telah mendingin
Berangsur habis dimakan malam
Dulu kau berucap kau akan tetap mendekapku dan takkan lepas selagi kau masih mencintaiku.
Kau mencintaiku melebihi segala warna yang menjadikannya biru
Termasuk langit dan laut yang sering kita ceritakan dulu
Kini surat kau serakkan di hadapanku
Tenda kau dirikan dan bermohon aku membantu.
Ucapmu, malam pertama nanti tolong jangan pikirkan aku
Aku akan tetap menjaganya.
Ini hanya pernikahan ibu yang diwakilkan padaku
Tetaplah setia.
Tapi kini kau telah bercucu
Sementara aku
Sendiri bersama kopi dingin yang pernah kau buatkan dulu
Kini genap enam puluh tahun umurku
Dua puluh tahun sudah aku tak tahu kabarmu
Apa kau masih hidup?
Atau telah sendiri?
Teranggunku
Tuhan kenapa kau kenalkan aku pada rupa nan sangat molek
Kenapa tidak kau kenalkan saja pada hati yang mengerti.
Agar hidup dan matiku
Tak menunggu janji.
Gerbang yang Telah Hilang
Kukuak kembali gelanggang yang pernah hilang
Mencari sisa manusia yang pernah bahagia.
Ya,,,dulu sewaktu ayah dan ibumu masih dalam perencanaan
Ranting, bunga, padang masih tersenyum dalam pertahanan
Jalan setapak berlari mengejar tepian
Setetes embun masih tertawa mempertahankan diri
Bergantung di ujung padang hingga terjatuh ketumpukan semak dan menjadi bunga.
Burung-burung yang tak bernama masih bahagia bertengger di sepanjang jalan menuju pulang,
Tertawa menyambut badan yang pernah terantaukan.
Petang adalah gerbang yang ternama dengan kebahagiaan
Kedai kopi masih penuh dengan kaum secangkir kopi,
Kanak-kanak masih pandai untuk berlari
Mengejar kawan yang berlari untuk bersarang.
Malam adalah mitos yang sering didendangkan
Bannyak cerita yang kini telah menghilang
Kaum tua sangat kaya dengan pendapatnya
Cerita mistis penyejuk jiwa.
Gerbang malam penuh dengan kegelapan
Penuh dengan kebahagian.
Tapi tak jelas siapa saksi dalam kebahagiaan
Semua tertimbun dalam tanah yang berbisik ketenangan.
Kubur tak bertanda hilang tinggal cerita.
Tapi kalian adalah manusia-manusia yang bahagia
Kini aku mencari saksi kebahagiaan kalian
Dan mencari seungguk tanah jejak tapak kaki kalian
Akan aku bandingkan dengan kisah dimasa sekarang
Adakah jejak kini dikuak seratus tahun kemudian.
Aku ingin seperti kalian,
Mengenali tanah, ranting dan tumpukan kayu
Yang menjadi landasan.
Tuhan beri aku mimpi di gerbang yang telah hilang
Padang, 2016
Ilwa Iradaian, lahir di Jambak tanggal 28 mei 1993. Sekarang sedang menyelesaikan pendidikan di STKIP PGRI Sumatra Barat. Bagi saya menulis adalah suatu bentuk kebahagiaan yang tidak dapat kulihat namun dalam hati sangat ternikmati. FB. Ilwa Iradian