Berziarah Pada Rahasia, Membangkitkan Doa, Menebak Perjalanan, dan 2 Puisi Lainnya

Kamis, 08 September 2016 | 23:17:36 WIB
Ilustrasi. (Stephane Villafane/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Berziarah Pada Rahasia
 
Dinding-dinding merayakan kekalahan mulut-mulut senapan yang menulis nama di badan udara. Sebuah lagu kebangsaan kembali dilahirkan sebagai pesawat terbang. Angin rubuh dalam hitungan sepetak tanah sengketa. Setelah itu monumen-monumen pahlawan memulihkan sendiri raganya dari ingatan sejarah.
 
Seorang pembunuh menemukan kutipan tubuhnya dalam buku filsafat setumpuk mayat. Tentang menuju diam dan dendam 
Dan diam menuju dendam.
 
Sekali dalam setahun ia memotong kepalanya menuju sebuah pekuburan teks-teks rahasia 
Sebuah kerajinan mantra kuna 
Aliterasi tubuh. Transliterasi sepi 
Ia telah memenangkan sebuah negara dan rapi menyimpannya dalam saku celana.
 
 
 
Membangkitkan Doa
 
Tahun jatuh sepanjang hari. 
musim bergelayut
−seperti tak pernah rontok dekat sebelum ini
Ditimangnya malam-malam agar tak menangis dan mengais -terserah 
juga segala 
derai pinta yang renta
 
Ia lari kemana saja; mencari yang dapat ia curi
Sebab kematian siap melacuri lungkup tubuhnya
maka bergegas lekas membangun sendiri matinya
 
Barangkali surga berletak di pelupuk mata 
terhalang kutuk kantuk yang tak hendak menyingkap singkat 
kata-kata yang perlu dihapal untuk membawanya pulang
sebab pulang tak berarti apa jika tanpa tualang
 
Barangkali Tuhan terserak 
        bersarak dimana-mana seperti dosa
 
Ia mengabur dan kabur 
kabar-kabar yang selama ini ia dengar, 
Menilik yang berhak ia bela, juga cela;
tuhan warna-warni dengan setelan jas dan peci
tuhan dalam syair-syair elektrik dan plastik
atau Tuhan dalam satu ingatan
yang telah lama mati tercuri sunyi
 
Ia tiba bangkitkan baka
membaca apapun yang bisa ia cecap dan sesap
dan membawanya pulang: mengecup ayat-ayat 
menyayat di nadinya. melayat di mayatnya
Ia mati, membangkitkan lagi 
do’a-doa lama yang tak terjamah
 
 
 
Menebak Perjalanan
 
Akhir pagi telah pulang. Palang siang telah lekas membekas
di lekat mata seorang perempuan yang memotong lehernya sepanjang kenangan
Seorang lelaki memilih lupa membawa bibirnya
Seorang yang lain di tubuhnya kehilangan masa kecil yang dipinjam teman sekamar
Perempuan itu masih menjadi ibunya
 
Taman-taman waktu telah membelakangi bahasa. Sebuah foto sepasang api membentuk keluarga. Tumbukan buku dengan halaman-halaman rumah. Lapisan hutan yang mencair. Mencari arsiran kertas lipat pada langit yang lapat-lapat berhenti mengalir. Ingatan melepas banyak genangan. Puisi merasa kehilangan. Bilangan surat yang ditandai musim. Memilih selera di toko musik. Museum senyum. Koleksi sunyi. Kepala memilih berhenti pada tanda. Tanya berhenti menghentikan henti. Belajar membaca hujan. Nilai gugur pada angka-angka. Menyanyikan masa depan. Di mana saja. Di matanya.
 
Seorang lelaki membawa kembali utuh bibirnya. Meminjam nyali pada sebuah puisi
Seorang perempuan membenamkan diri pada malam. Ibu telah bergegas menuju diam
 
 
 
Berkunjung ke Restoran
 
Mengunjungi restoran adalah mengunjungi teka-teki 
pertanyaan-pertanyaan tak berhenti 
melontar-lontar lantur
Kenyataan dan pernyataan kusam
Kita perlu mencuci dan menjemur ingatan
untuk suatu waktu dikenakan 
kembali pada suatu kembali
 
Di kamar mandi, di wajah air
Kutemui seorang anak kecil
hutan di bibir matanya
banyan di mata bibirnya 
membicarakan
Keluarga-keluarga dan para pecinta
Pengunjung dan para pemurung: di tuar luar
; keluar dari waktu, 
menuju jalan-jalan rumit
gang-gang sempit di kepalaku
 
Seorang pria berkopor hitam membuang neraca perdagangan, 
dan hitungan siklus pergerakan 
di toilet
dari ingatan
 
Berpasang pahit bercalit dengan diam yang belit 
berkelahi dengan sengit pikirnya masing-masing
; tak ada bicara, sebab bahasa telah beku pada para peristiwa
Kepala-kepala merunduk meloloskan diri
−cekam-cekam yang terekam di kejauhan silam
Tak ada yang dapat dijatuhkan
selain berpisah dengan diri mereka sendiri
 
Tubuh-tubuh tertunduk-tunduk bungkuk
bertaruh pada jam di tangan-tangan dan meletakkan diri pada hal-hal retak dan rentan
Menyerahkan sepenuh tubuh
Di hadap rangkap harap yang hangus merangkas meledak 
pada rangkam wajah-wajah rangka dan rangkai langkah-langkah
 
Seorang pria bernyanyi dalam putaran kopi
 
Lalu kutemu diriku, remuk dikeruk waktu
 
 
 
Kau Telah Hilang
 
Derap bibirmu meluruh waktu, 
luluh diabaikan hal-hal yang mengatup 
menghilang
Lalu kusadari di matamu aku mengambang
 
*
 
Di jalan itu cahaya telah bersembunyi di balik etalase digital
Basah
Kaki memental-mental
Lasah
Lalu gelap yang tercipta menyelapkan kata-kata direguk musim yang dingin
Kata-kata adalah rahim segala takwil
 
*
 
Repih
Segala yang tercipta dari potret telah tersimpan dalam kartu memori
Berkali-kali kau membiarkan diri lenyap dalam...
 
 
*
 
Kau telah tiba-tiba hilang
 
*
Sebuah lagu terputar dari balik kaca restoran
Secangkir kopi menghanyutkan diri pada berita televisi
Putaran amsal pada puisi
Memekakkan huruf-huruf yang pudar 
pada denting runcing adukan gelas setelah habis terlelar
duka
Huruf-huruf yang memilih buta
 
*
 
Hujan di luar membangkitkanmu, 
kembali
ingatan tak dapat bebas terpilih
tak lepas tubuhku dari pukau
Lesap matamu
pisau
 
 
 
Chendra Mitra Affandi. Lahir di Surabaya, 30 September 1995. Saat ini masih aktif tercatat sebagai Mahasiswa S1 Sastra Indonesia Universitas Airlangga. Selain menyibukkan diri dengan kegiatan perkuliahan dan organisasi di dalamnya, aktif juga berkarya dan sedang berproses menyusun buku puisi pertama berjudul Musik dan Musim Tak Terbaca. Berdomisili di Surabaya dan Sidoarjo, serta dapat ditemui melalui twitter di @chendraaa dan thechendra@gmail.com 
 

Terkini