PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Aku di Pulau Berselendang Biru
1/
Bila kau tengah kandas atau barangkali lelah dalam otak
Berliburlah ke pulau yang kusebut penari tayub berselendang biru
Terik matahari menyengat batu
Menjelma hitam
Lalu, menalar ke daksa manusia
Aku pun juga
Putih kulitku menjadi kuning kecoklatan
Bahkan, ada saudaraku yang berkulit coklat dan hitam legam
Tapi, warna menurutku tak ada tali yang membalut watak
2/
Aku pejantan yang memang dilahirkan dari udara kuat
Tumbuhlah aku sekuat Joko Tole
Namun, aku tak bisa terbang
Beda dengan tetanggaku yang diam-diam mengepak sayap mencari tangga
Hingga menjadi lambang kota di ujung timur pulau ini
Ia diciptakan untuk darat dan udara
Sementara aku hanya khusus menghibur di darat
Tapi, aku tak menyesal
Sesuatunya terdapat lebih dan kurang
Aku tetap mensyukuri takdir
3/
Tubuhku semakin kuat membesar seiring munculnya punuk di punggung
Aku dijamu tiap hari dengan ramuan buatan tuan yang diaduksertakan biji-biji telur
Kerapkali asap kemenyan membubung dari bawahku
Sering juga aku dipijit dalam keremangan waktu hingga tertidur
Dan tiap dua hari sekali aku dierahkan ke hilir sungai demi menjaga kebugaran dan kemulusan
4/
Aku harus berbuat sesuatu
Aku tekad dalam janji
Aku pasrah dalam harap
Aku ingin terbaik bagi tuan
Senyum matahari menyembulkan ide di benak tuan
Wajahku dipermak
Hiasan besi kuning memadati kepala
Kain hitam dengan benang merah disarungkan ke leher
Aku membisu
Lalu, dikenalkanlah aku dengan sosok yang besar, warna dan dandanannya hampir menyamaiku
Aku mengangguk akrab menyambut ramah perkenalannya
5/
Setelah sempurna air kembang menguyupi tubuhku dan teman baruku
Bendera diangkat dan peluit disuarakan
Kami berlari dalam pacuan semangat
Kencang melaju menggapai mimpi dan balas budi
Lalu, balik lagi dengan semangat yang makin meluap
Berusaha kuat, gesit dan terdepan
Hingga di titik terakhir, jelas kulihat senyum kemenangan terkembang di bibir tuan
Sorak-sorai pujian bising di telinga
Sang juara karapan sapi tahun ini sepulau berselendang biru atas nama Sape Kesset
Aku puas
Sempit di dada lenyap
Sejak itu, Sape Kesset yang terpampang di antara kepala kami terus berkumandang dan menuai sanjungan di tengah paduan suara rakyat
Jember, April 2016
Pengakuan
Rinduku, kekasih
Tumbuh bersemi dalam kehampaan
Pupus dan gersang
Hanyut dan hilang
Di sungai tanpa sekumpulan mata air
Terbang dan melayang
Di bumi terhampar tanpa denyut kehidupan
Cintaku, kekasih
Tak sebening tetes embun pagi di ujung dedaunan
Hanya bagai kabut putih di pegunungan
Yang datang dan kembali pergi
Hilang diterpa pancaran sinar matahari
Ketulusanku, kekasih
Yang kusampaikan di dalam setumpuk bingkisan
Disinggahi seribu pamrih
Yang berakar dan terus berbunga.
Permata
Di mana tetesan air mata
Yang mengalir membasahi pipi
Ketika mengenang segala dosa
Yang singgah menodai hati
Ke mana getaran rasa pergi
Tinggalkan seorang hamba
Ketika memandang kuasa Ilahi
Hingga tak berbekas di jiwa
Permata yang hilang
Terpuruk di relung jiwa nan kelam
Rasa kesombongan
Sembunyikan kehambaan
Berjalan tanpa salah dan dosa
Seakan tak pernah ada rasa penyesalan
Hilang dalam kegersangan
Bersama tandusnya taman iman
Yang menyerap embun kesejukan
Permata yang hilang
Terbenam dalam lumpur noda
Permata yang berharga
Terkikis masa
Bersama nafsu menggoda
Dan kekuasaannya berjaya
Merah Putih 2016
Biduk masa yang kini kusam
Rapuh akibat keangkuhan
Merah putih makin terang saja
Tetap warna tapi beda makna
Merah yang pejuang rebut dengan darah
Bermakna berani memanggul kembali tanah
Dan kini, merah itu adalah merah darah anyir rahim perawan korban petinggi-petinggi yang menikmati kemerdekaan dengan pemerkosaan
Merah kini adalah darah tangisan para jelata korban dari pemerkosaan
Merah yang berarti tetesan berani itu
Kini adalah pemerkosaan yang juga dilakukan dengan gagah berani
Memerkosa gadis sebagai perayaan kemenangan
Memerkosa hak rakyat kecil sebagai hutang pengangkatan
Dan, putih sendiri yang berarti suci
Kini menjelma kain kafan yang patut disembahyangi
Sehingga kemerdekaan yang ada kini hanya untuk mereka
Tidak untuk kami yang telah memilih mereka sebagai wakil
Suci itu hidup di mereka
Namun kafan bagi kami
Merah putih kini, di tahun ini ternyata bukanlah berarti berani dan suci lagi.
Garahan, 21 Agustus 2016
Carok Batu-batu
Batu hitam teronggok kaku sekeras cadas
Terhempas, lalu membubung malas
Menggelayut di atap gubuk-gubuk
Carok batu-batu buta bulu
Rebut mahkota berbalut kafan
Batu-batu bergetah anyir
Tumpah tertadah liang tanah
Terkapar di lekukan tajam
Sekarat di ketiak angkara
Batu-batu mengayun tinggi tanda tanya
Menuntut singgasana dan permata
Tak hirau meski langit merah runtuh
Meski matahari barat membakar peluh
Meski banjir darah melumat tubuh
Carok batu-batu
Satu batu adalah puing Habil dan Qabil
Satu batu yang lain adalah nisan Sakerah
Menggempur luhur dalam tempur di padang lumpur
Roh batu-batu mengawang
Kemudian singgah di bibir pintu-pintu
Entahlah.....
Terjungkal ke genangan cairan api
Ataukah mandi susu bersanding bidadari?
Semoga.
Jember, 11 Juli 2016
Fathorrozi, tinggal di Ledokombo Jember Jatim. Aktifitas kesehariannya mengamalkan ilmu di dunia pendidikan; di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono, Pondok Pesantren Nurul Qur’an Kalisat, serta YPI Al-Ikrom Sukowono. Tulisannya bertebaran di majalah, koran dan buletin lokal dan nasional. Menjadi juara di beberapa lomba kepenulisan. 1 buku tunggal dan 22 buku antologi bersama. Penulis bisa dikontak via e-mail: fatnarozi@gmail.com. Facebook: Fathorrozi Ledokombo el-Jambary. Twitter: @FathorRozi17.