Kaum Modernis, Anugerah yang Belum Bermakna, Misteri Kehidupan, Nikmatilah Keindahan Indonesia

Senin, 05 September 2016 | 08:54:07 WIB
Ilustrasi. (Ellen Millbourn/pinterest.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Kaum Modernis
 
Sematan Mas & Mbak habis,
datanglah Bro & Sis
 
Petak umpet menyehatkan dan gratis,
tapi lebih seru chatting dan main Tetris
 
Simpatif ketika Selena Gomez menangis,
tak tahu tetangga sebelah sedang kritis
 
Pemakaman seorang artis,
sempat-sempatnya selfie dan narsis
 
Rumah padi terkikis,
terinvasi bangunan simetris
 
Tak apa pakaiannya tipis nan minimalis,
asalkan mirip penari striptis
 
Tak penting seberapa banyak dzikir gratis,
yang penting seberapa banyak mainkan gadis
 
Wahai kaum modernis,
apa akalmu sudah tidak eksis?
 
Inikah kemuliaan seorang modernis?
 
 
 
Anugerah yang Belum Bermakna
 
Perih,
sakit,
menahan napas,
meringis dan mengaduh dalam batin,
di tengah gelapnya malam
 
Kugoreskan kukuku sembari menggertakkan gigi,
panas tiada ampun
membuat hati bekerja dua kali keras
 
Darah,
nanah,
kulit kering,
membuatku sesak nafas
 
Ingin kuteriakkan,
aku sadar itu tiada guna
 
Ingin kubicarakan,
aku tahu itu tak ada manfaat
 
Salep,
sabun, 
minyak tanah,
air panas,
bahkan mandi air laut,
berkali-kali kuupayakan,
namun gesa menghimpit hati
 
Puskesmas,
toko obat,
dokter,
telah kudatangi
tapi buru semakin menyiksaku
menorehkan luka meluas dan memarah
 
Hanya tahajud dan do’a tengah malam,
opsi terakhir
 
Segarnya air wudhu,
sunyinya dini,
dan detak detik jam,
membuatku lupa akan perih dan derita
 
Bait-bait Allah,
untaian do’a,
kalimat ampun penuh dosa,
menjadi pengalih rasa pedih, kalap, khilaf
 
Ya Allah,
terima kasih atas petunjuk-Mu
 
Kembali mengingat kepada-Mu,
solusi terakhir yang harusnya kutahu dari awal
 
Atas cobaan,
atau anugerah yang belum aku ketahui maknanya
di kulit kakiku ini
 
 
 
Misteri Kehidupan
 
Mustahil selalu benar layaknya kuis,
tak logis jika kau gunakan mazhab matematis
 
Andai segalanya bisa diduga,
lalu untuk apa Tuhan ada?
 
Cipta seni dan budaya, surplus manusia
Saksi akan hal tak kasat mata, defisit kita
 
Sempurna, tapi tak benar-benar sempurna
 
 
 
Nikmatilah Keindahan Indonesia
 
Krik… krik….
Orkestra grup jangkrik,
mengalun merdu bak simfoni Bethoven
 
Cicicit… cicicit….
Emprit-emprit lepas landas,
terbang tinggi,
bebas tanpa batas
 
Kuningnya padi,
merunduk tersipu malu,
terkena sentuhan lembut nan sejuk angin semilir
 
Blarrr… blarrr….
Deburan ombak terdengar megah,
mendekati bibir pantai perlahan nan anggun
menyeka ladang pasir cokelat terang
 
Lalu bergerak mundur,
sembari meninggalkan sekeping kerang,
berisi sebutir mutiara bulat cantik jelita, putih nan berseri
 
Hening,
sunyi,
penuh kedamaian
 
Hijaunya cemara,
berbaris rapi nan tegak laksana tentara,
diatapi langit biru cerah berplafon awan putih tipis
 
Seekor luwak,
asyik menikmati sebiji kopi hitam kemerahan
Kraus… nyam… nyam….
Dia mengolahnya begitu lihai,
menghasilkan biji kopi termahal dan berkelas tinggi
 
Sejenak,
kita tinggalkan korupsi, kriminal dan resesi ekonomi
Demi mencicipi secuil hidangan alami di negeri ini
 
 
 
Deni I. Dahlan. Tinggal di Banyuwangi. Penulis sering mengikuti lomba puisi, cerpen, dan sayembara lain. Cerpennya pernah mendapat Juara 3 dalam Lomba Mengarang Cerpen Berbahasa Using tahun 2015. Karyanya dibukukan dalam buku antologi cerpen berbahasa Using “Kembang Ronce 2014” & “Kembang Ronce 2015”, buku antologi bersama Ahmad Rifa’i Rifan “Ketika Mencintai Tak Bisa Memiliki”, serta buku antologi puisi “Cahaya Keluarga” dan “Dua Menit Satu Detik”.
 

Terkini