Kita Indonesia, Puisi Patah Hati, Lintah Dunia, Stasiun Kota 121, 30 Malam

Senin, 05 September 2016 | 07:48:43 WIB
Ilustrasi. (Leonid Afremov/ericdebarros.tumblr.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Kita Indonesia
 
Koloni memangku nona di ujung senandung malam
Berbondong-bondong mengibar bendera perang
Prajurit tabu saat itu
Hingga memanggul pilu ribuan tahun
               Peluru jatuh di mana-mana
               Tombak mengadu diam-diam
               Prajurit tersiksa, menangis menjerit derita
               Mereka merangkak, berdarah untuk sang merah putih
Kita pernah lemah tak berdaya
Kita bangkit dan marah-marah
Mengubah api menjadi rumput
Meski jurang kematian telah menunggu
 
 
 
Puisi Patah Hati
 
Ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernahku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
Tidak ada jingga atau merah hati yang ku sertakan
Warna yang redup malu kini berjaya
Engganmu menyentuh setitik luka yang kau gambar sendiri
Engganku menghapus satu nama yang kau benci
Kini kita menggunung rindu satu sama lain
Rindu dua arah di jalan yang tak pernah kita lalui
Kemudian,
Ingatkan aku ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
 
 
 
Lintah Dunia
 
Aku adalah si Pendosa yang memanggil-Mu di sepertiga malam
Mengemis iba dan ridho-Mu
Padahal aku si Pendusta berlapis kain yang Kau suci kan,
Si lintah di balik topeng
Malukah aku di hadapan-Mu?
Tak terlintas sedikitpun di khayalku
Takutkah aku pada dunia?
Lebih dari aku takut pada-Mu
 
 
 
Stasiun Kota 121
 
Debu meminta angin datang di stasiun kota
Mengucapkan selamat tinggal
Tanpa pelukan atau senyuman
Dan kereta api melengking lama
Ia marah-marah
Dan tak ada hujan atau pelangi
Kemudian ia pergi 
Angin berlalu
Tangis datang
Pelangi porak-poranda
Hanya payung yang menjadi teman
Pada gerimis diakhir malam
 
 
 
30, Malam
 
Hujan turun di bawah gemerlap malam
Lampu kota berkedip remang mencari bintang
Aku berlindung di bawah payung tanpa tuan
Mencoba berdiskusi dengan asa yang hujan rasakan
Tentang bintang yang tak datang hari ini
Padahal ia tahu langit sedang sendu
Tanganku menadah meminta kata
Ia enggan untuk bicara.
Kali ini, bulan tak ikut bersuara
Ada hati yang tengah singgah
Hanya saja tak ada lilin
Untuk menerangi labirin
Menuju ke arahmu
 
 
 
Astria Tiara. Penyenandung yang tidak bisa bernyanyi yang lahir pada bulan Ramdhan di Bekasi pada 13 Januari, kurang lebih delapan belas tahun silam. Dilahirkan dengan arti nama bintang sebagai bentuk harapan kelak akan menjadi seorang bintang. Sebagian memanggil Astria, sebagian merasa dekat dengan panggilan Tiara. Merupakan mahasiswi tingkat pertama dan terakhir di salah satu perguruan tinggi kedinasan di kawasan Tangerang Selatan. Mengaku sebagai orang Sunda meskipun darah yang mengalir dominan Palembang. Memiliki hobi menulis sejak kecil, namun sempat terhenti beberapa tahun di karenakan trauma mendalam ketika duduk di bangku sekolah dasar. Hingga saat ini menjadi silent reader yang juga silent writer di dunia maya.
 

Terkini