PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Kita Indonesia
Koloni memangku nona di ujung senandung malam
Berbondong-bondong mengibar bendera perang
Prajurit tabu saat itu
Hingga memanggul pilu ribuan tahun
Peluru jatuh di mana-mana
Tombak mengadu diam-diam
Prajurit tersiksa, menangis menjerit derita
Mereka merangkak, berdarah untuk sang merah putih
Kita pernah lemah tak berdaya
Kita bangkit dan marah-marah
Mengubah api menjadi rumput
Meski jurang kematian telah menunggu
Puisi Patah Hati
Ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernahku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
Tidak ada jingga atau merah hati yang ku sertakan
Warna yang redup malu kini berjaya
Engganmu menyentuh setitik luka yang kau gambar sendiri
Engganku menghapus satu nama yang kau benci
Kini kita menggunung rindu satu sama lain
Rindu dua arah di jalan yang tak pernah kita lalui
Kemudian,
Ingatkan aku ini bukanlah puisi patah hati
Yang tak pernah ku harapkan
Yang mungkin kau dambakan
Lintah Dunia
Aku adalah si Pendosa yang memanggil-Mu di sepertiga malam
Mengemis iba dan ridho-Mu
Padahal aku si Pendusta berlapis kain yang Kau suci kan,
Si lintah di balik topeng
Malukah aku di hadapan-Mu?
Tak terlintas sedikitpun di khayalku
Takutkah aku pada dunia?
Lebih dari aku takut pada-Mu
Stasiun Kota 121
Debu meminta angin datang di stasiun kota
Mengucapkan selamat tinggal
Tanpa pelukan atau senyuman
Dan kereta api melengking lama
Ia marah-marah
Dan tak ada hujan atau pelangi
Kemudian ia pergi
Angin berlalu
Tangis datang
Pelangi porak-poranda
Hanya payung yang menjadi teman
Pada gerimis diakhir malam
30, Malam
Hujan turun di bawah gemerlap malam
Lampu kota berkedip remang mencari bintang
Aku berlindung di bawah payung tanpa tuan
Mencoba berdiskusi dengan asa yang hujan rasakan
Tentang bintang yang tak datang hari ini
Padahal ia tahu langit sedang sendu
Tanganku menadah meminta kata
Ia enggan untuk bicara.
Kali ini, bulan tak ikut bersuara
Ada hati yang tengah singgah
Hanya saja tak ada lilin
Untuk menerangi labirin
Menuju ke arahmu
