Tingkok dan Cerita Parakkangan, Kita Mengejar Kata, dan 3 Puisi Lainnya

Senin, 05 September 2016 | 07:12:19 WIB
Ilustrasi. (Nez Peek/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Tingkok dan Cerita Parakkangan
: Kasiana Lubis
 
Perempuan yang tidur di atas gulung rambut panjang adalah kau, yang risau tajamkan masa depan, tentang cinta dan persahabatan yang saling bertindihan.
 
1.
Dalam sosok rindu, Tingkok memang bukan Tiongkok atau Bangkok, sebab Tingkok masih hitam dan panjang oleh kekolotan, masih putar di rasian kekalutan, sejak kau lahir di tahun 90 an.
 
Tapi katamu dunia kencang berputar, orang-orang tak lagi bertengkar di kebun kacang saban petang, anak-anak telanjang telah lama kehilangan kapar.
 
Jiwa mereka mendadak barbar, sejak teknologi marasuki ke ceruk-ceruk jiwa mereka yang bagai buah busuk di lepas tampuk.
 
Hanya dongeng ibu yang terus kaubawa, sembari mencatat dengan wibawa ceritera para Akkang yang bakkang.
 
2.
Di sumur masjid An Nur, kita kombur bagai tak takut sembur kubur. Kita mencuci darah bulanan, sambil mandi dengan busaen sedikit transparan, meski kita gamang bahwa tetua pengurus masjid akan mengusir seolah-olah kita kafir.
 
Tapi inilah kita, anak-anak kampung dengan nakal jiwa dijujung, lagi pula tak mungkin saban pagi kita ke Khaiti, sungai yang banyak mengapungkan kuning kotoran, sampah-sampah dan entah apalagi.
 
Jiwa kita yang malas, yang wanita dan gadis SMA lebih gampang apatis daripada gubris.
 
3.
Kau ingatkah Misran, yang membuatmu menggandakan kunci hati yang merah demi kasmaran, mungkin ia pernah memberimu ciuman, seperti dunia akan kehilangan bundar, padahal tak lebih segalanya upaya bibir menyembunyikan liur hambar.
 
Rosida pura-pura bahagia, meski cintanya retak tiga, Mardiati sakit hati tapi mencangkok hati seolah suci, lalu Ria menggoda riang, seolah cinta memang gelagat untuk bersulang, Rosma Rosmi tetaplah kembar resmi yang tak gampang mengembara hati ke biri-biri yang berbulu kelamin lelaki.
 
4.
Kau ingatkah Taufik, yang seksi dan kadang munafik, menampik ajakan gadis-gadis cantik untuk mengobral kuluman di puting cantik.
 
Bagaimana dengan Ari yang tingkahnya bagai amit-amit ari bayi, yang gampang mencuri dan mengambang semua barang curian diberkati ilahi.
 
Apakah Dona masih menganggapmu perempuan berambut panjang dengan kacau aroma?
 
5.
Bulu romaku berdiri, roman picisan di atara kita tak lebih kitab kanak-kanak yang gampang emosi.
 
Kubawa diri ke tepi api, berharap apa yang kutulis ini hanya cahaya malam yang dipadamkan pejam mata Saida.
 
Lailatuka Saida, selamat malam bumi yang kini memar di lekat mar-mar dan keningku yang gampang terbongkar.
 
 
 
Kita Mengejar Kata
: May Moon Nasution
 
ada yang tak usai kita ritualkan, pada pohon katakata 
yang gersang dan tumbuh lengang. yang tumbuh satusatu 
antara puncak kepala dan selat dada.
dan semestinya, kita membuka kelopak dunia, 
menyibak sari yang menyerbuk di kantung mata. 
lewat koran yang beritanya itu ke itu jua. tentang negeri 
yang durhaka pada penguasa. penguasa yang buaya bagi nafsu 
dan wanitawanita di balik kelaminnya, atau di tivi, yang melulu 
tayang sinetron kurang kualiti, tapi selalu saja punya episode 
seperti rentetan kereta api yang tak putusputus dalam dongeng 
sebelum mampus. atau di internet, yang setiap diklik akan muncul 
iklan birahi pada halaman yang tidak ingini. tapi, katamu 
yang barangkali jua kataku “kita harus kembali ke masa 
yang ditinggalkan, ketika ibunya ibu kita masih perawan, 
ketika kesopanan belum serawan sekarang”.
lalu pada puncak kepala sendiri, kita sibuk saling membelakangi, 
sibuk berjalan ke punggung angan, mengejar mitos 
yang hampir kehabisan uban. pun pada selat dada, 
kita menampik ritual tanpa igama, mendaras kembali doa 
yang manula, dan kita serasa belia dalam katakata.
dan tangan subuh menabuh adzan. kita akan berpuisi 
pada sang maha azam, menujah metafora langit, menghunjam 
personifikasi bumi, di puncak kepala, di selat dada. 
kepada yang memiliki keduanya, pemilik tubuh di tiap lekuk kita.
 
2013-2016
 
 
 
Terinspirasi Franz Kafka
 
Samsa mendesak matahari untuk tidak bersinar lagi, ia tersenyum dengan memekarkan ujung belati, harum maut bagai panggang roti, Tuhan dianggap paling lapar dan memilih cuti, dari meja cuci dan persembahan prosesi belah hati. Aku tak mengerti bagai gelap malam yang tak mengerti makna kelamnya sendiri, tapi demi cincin kawin seluruh kawanan galaksi, demi saturnus paling seksi, jiwaku paling pasir hanya mampu memberkati ketidak mampuan diri mencerna semua alibi; Mu.
 
2016
 
 
 
Tuan Berekor Tahun
: Tommy Minardo
 
Apakah kedukaan berkuda bersamamu melewati Tigris 
Tuan berambut ekor tahun? Katakan, bagaimana mulanya 
kedukaan itu naiki pelanamu, saat kau tertidur dan tak ada 
cahaya lampu di sekelilingmu.
Bagaimana pula kau membawanya demikian jauh 
lalu kau bertemu aku dan kedukaan itu kauselatkan 
ke pangkal pahaku. 
 
Aku takut Tuan, aku tak sesuci para resi di lembah Hindustani, 
aku tak memiliki impi, Tuhan serupa bayang bayang amphibi 
di alam keyakinanku yang tak lebih alibi.
 
Tuan berambut ekor tahun, pernahkah kau dengar pendaras 
terusir dari Bhima terbakar dalam mulut Krisna? 
Sejenis meteor yang ekornya setara lima ribu kaki bayi. 
Aku ketakutan Tuanku, harapanku kini terhirup nyawa abu. 
Aku ingin hanyut di dinding sungai Nil. Terapung seperti Musa, 
tentu saja tak sehina seorang Hyena
 
Tapi Tuan, kedukaan telah melintang ke delapan penjuru, 
kuda seperti kelelahan bangsa Kuru terjebak di kurusetra 
demi dendam ke saudara. Apiun mengepul, seperti buhul hantu 
dalam dongeng Irrawady, dan lubang kesedihan seperti bakaran 
Abraham.
 
Riwayat dingin, wahai Tuan berambut ekor tahun, kedukaan tolong 
tikamkan Excalibur, dan aku tak lebih selamat dari patung 
Hammuraby; jika ada.
 
di Febryan 2015
 
 
 
Mungkin
 
tidak banyak yang berpikir sekafir Milton, tapi saya akan berlaku jauh dari yang mampu ia lakukan: mungkin menghapus Tuhan.
 
begini.
mula-mula hidup kita anggaplah mimpi, di sana Tuhan kepalang bebas wara-wiri, kekanak-kanakan. dengan gampang ia menerbangkan bulu biri-biri, di sana-sini. satu ekor, dua ekor, seribu ekor, seluruh ekor, biri-biri di langit dan di bumi hilang, dan kita diumumkan sesat saat itu.
aneh bukah?
 
kuberitahu kau satu bintang yang gagal memadamkan anak-anak bintang, dalam kebakaran langit yang agak akbar. di sana Tuhan tak ada; maksudku Tuhan sedang tamasya, berdansa di surga, menyebut namanya manusia: mungkin.
aku tak benar-benar yakin
.
berdirilah sebentar, selurus orang-orang telanjang, lelaki yang mampu selamatkan kelaminnya dari hukum tegang, ia pegang Tuhan, Tuhan begitu dingin. sebuah dinding lebih hancur dari mungkin.
 
kepada otak, mata, manusia, kehidupan, semesta terjaga: Tuhan tertidur si pos ronda
 
2016
 
 
 
Muhammad Asqalani eNeSTe. Kelahiran Paringgonan, 25 Mei 1988. Alumnus Pend. Bahasa Inggris - Universitas Islam Riau (UIR). Pengajar English Conversation di Smart Fast Education - Pekanbaru. Menulis sejak 2006. Puisi-puisinya dijadikan skripsi "Lisensia Puitika Puisi-puisi Muhammad Asqalani; Sebuah kajian stilistika" disusun oleh Raka Faeri (NPM: 086210631. Pernah menjadi Redaktur Sastra Majalah Frasa. Meraih gelar "Penulis & Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011". Puisi-puisinya dimuat di: Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Suara NTB, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Riau Pos, Batam Pos, Tanjung Pinang Pos. Sumut Pos, Pos Bali, Lombok Post, Sastra Sumbar, Padang Ekspres, Medan Bisnis, Buletin Jejak, Tribun Sumsel, Waspada, Posmetro Prabu, Metro Riau, Haluan Riau, Haluan Padang, Koran Riau, Koran Madura, Inilah Koran, Dinamika News, Ruang Rekonstruksi, Majalah Sabili, Majalah Frasa, Majalah Noormuslima (Hongkong), Majalah Sagang, Koran Cyber, KOMPAS.com, Kuflet.com, Nusantaranews.com, Detak UNSYIAH, AKLaMASI, Bahana Mahasiswa,dll. Memenangkan sejumlah lomba, di antaranya; Juara 1 Baca Puisi Tingkat SMA se-Sibuhuan dalam rangka memperingati Hardiknas (2006), Juara 1 Menulis Puisi Remaja Tingkat Mahasiswa se-Riau yang ditaja Riau Pos (2010), Juara 2 Menulis Puisi se-Nusantara oleh MMG (2011), Juara 2 Baca Puisi "Tanah Air Mata & Gergaji" oleh PENSI BEM UIR (2011), Juara 2 Menulis Puisi di Bulan Bahasa UIR (2013), Juara 2 Menulis Puisi TeraKota (2015), Juara 2 Menulis Puisi di Gerakan Indonesia Menulis oleh Balai Bahasa Riau (2015). Juara Harapan 1 Lomba Tulis Puisi Piala S. Baya (2016), Juara 1 Menulis Puisi di Group Facebook “Love Story” (2016). Terangkum dalam puluhan buku: suhufsuhuf kenangan, dari Sragen Memandang Indonesia, Kutukan Negeri Rantau, Ayat-ayat Selat Sakat, Bendera Putih untuk Tuhan, Pelabuhan Merah, Sepotong Rindu dalam Sarung, Lentera Sastra II, Festival Bulan Purnama Trowulan Majapahit, Negeri Abal Abal, Negeri Langit, Negeri Laut, Tifa Nusantara 1 & 2, Munajat Sesayat Doa, Gelombang Puisi Maritim. Juga termaktub dalam buku dwibahasa (Indonesia - Inggris) seperti: Diverse, Flows Into the Sink Into the Gutter, Indonesian Poems Among the Continent. Buku Puisi Tunggalnya yaitu; Tangisan Kanal Anak Anak Nakal (2012), Sajak Sembilu tentang Teh Ribuan Gelas (2012), ABUSIA (2013), doksologi (2014), Anak Luka Susu (2015) dan Bimbilimbica (2016) Menghadiri Pertemuan Penyair di Sragen (2012), Pertemuan Penyair di Tegal (2014), Mengikuti Pertemuan Penyair di Tangerang (27-29 Agustus 2015), dan Mengikuti Pelatihan Teknis Tenaga Literasi di Bogor (2016). Kegilaannya membeli dan membaca karya-karya penulis dunia, membuatnya bermimpi suatu saat meraih anugerah sastra terbesar dunia, Anugerah Nobel. Pengagum Jean Nicolas Arthur Rimbaud ini Pendiri dan Pembina di Community Pena Terbang(COMPETER). dapat dihubungi via Handphone di 0878 9302 3072 atau account Facebook Muhammad Asqalani Reborn atau invite 2A482A6 dan email sangjuaradunia100@yahoo.com.
 

Terkini