Bukan Dewa, Desaku Berubah, Kunikahi Kesepian, Kutunggu Mentariku, Untuk yang Terdalam

Jumat, 02 September 2016 | 11:02:48 WIB
ilustrasi. (River Hunt/riverhunt.org)

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM

 
 
Bukan Dewa
 
Lalu kini kesepianlah yang menyadarkanku
Membangunkan mimpi panjang
Betapa tingginya singgasana hatimu
Betapa banyak dewa yang akan kutaklukan
Aku tak cukup pahala menyemberangi jembatan
Untuk segera sampai ke nirwana
Aku tak begitu hebat untuk menaklukkan
deret perajurit tangguh penjaga benteng hatimu
Aku tak sebegitu kuat
Aku telah lama mencoba terbang ke atas kasta tertinggi
Mencoba menduduki singgasana bersama kau
Tapi kesepianlah yang menarikku kembali ke bumi
Aku tak peduli ke mana jala
Melangkah diatas air
Melawan gelombang dan deret karang
Atau aku bersembunyi gelap
Berkamuflase bersama kenangan menggapaimu
Menduduki strata terendah dalam putaran cinta
Yang bisa saja mati bersama asa
Karena aku bukan dewa sang pujangga
 
(Bangko,27 Agustus 2016)
 
 
 
Desaku Berubah
 
Desaku serupa neraka
Tak ada lagi pepohonan tinggi menjulang ke langit
Pagipun tak ada lagi kiacuan burung bernyanyi
Hamparan hijau menjelma abu-abu
Gelegar panas menerpa desaku
Ladang ladang luas berganti rumah rumah yang tak jelas
Biadab!
Kataku kini Manusia tak bertanggung jawab
Kini ilalang menjulang pun kau sulap
jalan aspal. Pepohonan rindang
seketika gedung pengahadang
Polusi kini tak payah kucari
Dihadap jendela hamparan asap kelabu
menunggu untuk kami seduh
 Genangan limbah Mengalir deras digelas
Pada kalian manusia berdasi,
Kemana janji manis dan kebijakan rasionalis?
Sedang Kalian duduk santai di bangku malas
Menjadikan desaku cemas
Desa adalah tanah moyang
Seketika bereinkarnasi
Tanpa batas melampai bekasKurindu desaku 
 
(Bangko, 26 Agustus 2016)
 
 
 
Kunikahi Kesepian
 
Waktu kian mengering di sela rongga
Tak berbecak saat hilang
Tak pula mengisahkan tunggu tanpa kabar pasti
Kesepian pun menghampiri
Tak ada teman sesetia kesepian
Aku mulai jatuh cinta akan susana
Dunia tanpa bergeming
Tak kupermasalahkan lagi
Karna kesepian telah mengukir nama
Dengan tetes air mata
 
Kunikahi kesepian itu
Kubawa di saku Kubawa ke mana pergi
Aku telah terlanjur mencintainya di atas suasa
Hingga kurangkai keheningan di wajahnya
Aku dan kesepian melukis muram
Yang kelam di bait cerita
Dengan tawa yang fana di tiap langkah
Begitu lucu akan kemersaan pilu
Dengan menyendiri di antara sudut
Hariku hanya kesepian
Knikahi kesepian
dan kesendirian tanpa kepastian
 
(Bangko, 26 Agustus 2016)
 
 
 
Kutunggu Mentariku
 
Di tepian sungai
Ingatkah mentari saat kita bersedagurau bersama?
Menari-narikan tawa bersama kupu kupu malu
Rumput seakan cemburu sayu
Kau warnai langit bersama pelangi
Dengan seketika, perlahanpun berganti!
 
Senja pun tiba!
Ia berkelahi menenggelamkan mentari
Terkubur dalam menusuk nurani
Langit semula silau
Ia bereinkasnasi menjadi kelabu 
Aku tak tahu mampu menggores sembilu
 
Di tepian sungai
Sunyi mengalir deras
 
Menggenangi buliran kenangan yang keras
Memecahkan batu yg begitu kuat
Menjadikan kayu tak mampu untuk menahan sesaat
Mentari!
Kejam kah engkau?
Merelakan aku menunggu ditepian sungai?
Terusku korek gundukan rindu di bawah kolongnya
Tangan hampa saja!
lalu kuselami kepiluanku di arus tepian sungaiku
 
Terus kumaki senja dalam benakku!
Mengapa senja begitu gila menggubur mentariku?
Kusuarakan kesalku pada langit
Ia menangisi kesalku padanya
Membelaiku bersama angin
 
Ditepian sungai 
Selaluku tunggu mentari
Yakinku esok kau kan kembali
Heningku sendiri di jembatan di tepian sungai
 
(Bangko, 25 Agustus 2016)
 
 
 
Untuk yang Terdalam
 
Untuk yang terdalam
Aku masih mengendap rasa itu
Enggan kuhapus meski debu mulai membaluri
Aku masih memutar memori
Di saat kehangatan itu kita tuang bersama
Masih bisa kurasa cinta itu
Meski disisa serpihannya
 
Untuk yang terdalam 
Aku masih tenggelam
Diantara meram meram kelam
Yang memisahkan ruang
Yang tak berbicara
 
Untuk yang terdalam
Namamu
Senyummu
Dan rangkaian cerita
Temanku setiap senja
Memandang warna jingga dan air mata
 
Pikirku sudah tak lagi tertuju padamu
Tapi hatiku? 
Hati ini masih menggrimiskan tetesan
Menampung nama yang kini telah tiada
Pikirku menglogikakan kau tak pernah kembali
Tapi hati masih berkata jangan pergi
 
Untuk yang terdalam
Di hati yang tak sebera luas
Namamu masih terhias
Meski kau takkan membalas
 
(Bangko, 17 Agustus 2016)
 
 
Wahyu Maulidha lahir di Jambi, pada 12 Juli 1997. Anak kedua dari empat bersaudara ini masih meneruskan pendidikannya di salah satu perguruan tinggi di Jambi. Beberapa puisinya dapat dilihat di akun instagram @wmaulidha. Untuk menghubunginya, silakan kontak di akun facebook Wahyu Maulidha.

Terkini