Masjid Tua Tengah Kota, Keranda, Kuas Kehidupan, Puisi Tak Bertuan, Separuh

Jumat, 02 September 2016 | 09:44:32 WIB
Ilustrasi. (Gustav Klimt/en.wikipedia.org)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Masjid Tua Tengah Kota
 
Masjid tua jadi saksi
Tempatku lantunkan doa
Agar cintaku tetap dangkal
Berakhir musnah dimakan jarak dan waktu
Kau tak sepantasnya mengisi hatiku
Aku pun tak sepatutnya mengisi hatimu
Tuhan sedang menguji
Rosario-mu tak dapat memimpin di atas sajadahku
Meski raut senyummu masih tertancap kuat dalam mataku
Aku sadar kau tak di sini lagi
Kau hanya singgah, kau telah pergi
Jalan lengang tengah malam telah membawamu
Bersama deretan lampu kota, redup layu
Setelah langit torehkan senja
Dan setetes sesak dalam dadaku
Tatkala punggungmu semakin tak terlihat
Kita tak akan berjumpa lagi, bisikku
Kenangan belum seharusnya usai
Namun alam telah mengusaikannya
Biar masih kerangka
Biar kita sama-sama hilang
Setidaknya sempat kurasa kenangan denganmu
Menyisakan butir puisi
Yang selamanya tak akan menjadi bait
Jangan kembalikan ingatmu padaku
Barang sedetik saja
 
(Yogyakarta, 27 April 2016)
 
 
 
Keranda
 
Keranda
Tergeletak kaku, disangga kayu palang
Sisakan hawa dingin tusuk tulang
Bekas hujan, jerit gagak telah lengang
 
Keranda
Selepas peluk bekas bernyawa
Sehabis wadahi  jasad
Pelindung dari hujan jalanan
 
Keranda
Telah singgah ke rumah-rumah
Menjemput sang penumpang
Kini tenang diatas kayu palang
 
Keranda
Patuh pada komando
Duduk menunggu hingga ‘order’ datang
Tak lari dari kewajiban
 
 
Keranda
Penuh misteri
Ke rumah mana ia akan datang nanti
Ke jasad mana ia akan angkut nanti
 
(Yogyakarta, 25 Agustus 2016)
 
 
 
Kuas Kehidupan
 
Tulisan-tulisan ini yang dulu pernah kau hidupkan
Dengan kanvas dan kuas ajaibmu
Tulisan yang katamu juga menjadi satu-satunya hal yang mampu menghidupkan warnamu
Tanpa kita sadari kita telah saling menghidupkan
Namun, ada sebuah tikungan jalan yang membuat kita tak lagi menyatu
Meski kita tak pernah menyadari bahwa kita pernah saling menyatu
Ketika kutatap langit berawan, aku ingat kanvasmu yang tak pernah kosong
Karena kamu mengisinya dengan cinta yang tumbuh dalam kebersamaan
Kini kanvasmu yang tersimpan olehku telah berubah pudar
Karena tanpamu, lukisanmu dan tulisanku tak dapat saling menghidupkan
Seperti burung yang kehilangan sayapnya
Aku tak bisa lagi mengarungi birunya langit
Meski kucoba menjadi kuat, namun tulisan ini tak mampu menemukan tempatku berlabuh
Tak seperti perahu kertas yang menemukanmu dengan radarnya
Tulisan ini akan berhenti, karena ia tahu bahwa kehidupan yang kita buat bukanlah kehidupan yang tak menuai luka bagi lain hati
Tertanda: penggores puisi yang selamanya akan tetap untukmu
 
(Yogyakarta, 14 Maret 2016)
 
 
 
Puisi Tak Bertuan
 
Ribuan bait telah tergores bekas tinta
Ingin kukirim barang sebait saja
Lewat kepakan sayap kepadamu
Namun, ilham tentang kamu menghentikanku
Memutuskan untuk membayangmu saja
Sekadar ingat, atau mengenang
Aku mau, aku bersedia
Duduk di tengah padang rumput atau tepi danau
Bahkan pada karang pantai yang tajam
Untuk menemanimu menggoreskan kuas pada kanvasmu
Kuas ajaib yang berhasil menggambar wajahku dalam satu detik
Seraya menguntai butiran kata menjadi bait-bait
Kubisikkan lembut kepadamu
Sehalus tiupan angin yang membelai
Kuingin, kau butuh aku ada
 
(Yogyakarta, 14 Maret 2016)
 
 
 
Separuh
 
Tetes hujan membulir
Di pucuk daun kenanga
Terjatuh bawa kenangan
Ketika senja temaram hari lalu
Kupandangi mega jingga
Kerlip cahaya pesawat udara
Bak tertelan, kerlip itu lenyap
Hilang di balik gemuruh awan
Perut awan telah kenyang
Lalu ia muntahkan, dengan bentuk yang lain
Puing
Dibalik kemudimu, aku tahu kamu berdoa di sana
Masih tercium harum tubuhmu
Tubuh yang seminggu lalu masih kupeluk
Tubuh yang sehari lalu masih kudekap
Tubuh yang sejam lalu terbenam dalam liang
Tertimbun butir tanah
Wajah pucatmu membuatku takut
Takut jika hilang selamanya dalam ingatanku
Hasratku menyeret tubuh ini
Untuk memelukmu dalam gelap bumi
Namun sisa luka menyadarkanku
Walau sebelah kakiku telah patah
Walau separuh hatiku telah terpotong
Masih ada udara yang ingin melintasi rongga hidungku
Meski aku tinggal separuh tanpamu
Meski separuhmu telah menghilang
Dan kita tak lagi satu
Setidaknya aku masih tetap ada
 
Yogyakarta, 25 Agustus 2016
 
Catatan: Puisi di atas didedikasikan untuk para wanita tangguh yang telah kehilangan imamnya dengan ruh yang melayang bersama leburnya puing pesawat terbang.
 
 
 
Syafilla Vi Soegito lahir pada 19 Januari 1997 di Yogyakarta. Pernah menjuarai lomba cipta puisi di kabupaten sekaligus provinsi tempat tinggalnya. Predikat lima besar sebuah lomba menulis cerpen dan tiga besar lomba teater tingkat provinsi pun telah berhasil diraih olehnya dalam usia tujuh belas tahunnya. Selain itu, salah satu karya puisinya yang berjudul “Bunga di Langit Kelam” dibukukan dalam sebuah antologi puisi oleh Penerbit Ellunar. Karya cerpennya berjudul “Laknat” dibukukan dalam sebuah kumpulan cerpen oleh Penerbit Sabana. Dan karya puisinya berjudul “Langit Jingga” juga dibukukan oleh Vector Publisher. Untuk menghubungi Syafilla Vi, dapat melalui email: vialvi242@yahoo.com atau FB: Vi.
 

Terkini