Kematian Memang tak Disangka, Teruslah Terangi Mata Itu, Aku dan Kesedihanku Saat Ini

Rabu, 31 Agustus 2016 | 12:01:51 WIB
Ilustrasi. (D Pomeroy/dpomeroy.wordpress.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Kematian Memang tak Disangka
 
Tak butuh waktu behari-hari setelah kejadian
Tak butuh banyak janji untuk sebuah penyesalan
Dan semua ini telah berjalan
Sang waktu seolah terhenti
Ketika seorang sosok ibu tangguh
Dipanggil olehNya.
Empat anak yang belumlah matang
Harus ia ditinggalkan
 
Rasanya baru hari kemaren 
sosok itu duduk di bawah terik berlindungkan sebuah kain
untuk melindungi wajahya ketika menjemur padi
bekal makan ia bersama empat anaknya.
Ketika terik sudahlah habis
Berangkat ia menuju ke pasar 
niat membeli bahan sambal untuk anaknya juga.
Namun sayang, di perjalanan
Seekor anjing menjadi muasal dirinya begini.
Ia terbaring melintang jalan
Dengan darah yang semakin mencurah
mengalir di kepala dan di telingannya
Dengan sigap warga membawa
 
Banyak harapan yang tepampang padanya
Ia haruslah tetap hidup
Bersama keempat anaknya
Menunggu mereka matangkan usia 
Namun, ini adalah kehendaknya
Ibu muda….
Berjuang membesarkan anaknya 
Kembali menyusul suaminya
Yang telah dahulu pergi meninggalkannya
 
Ribuan tetes air mata mengalir
Menangisi kepergiannya
Tak percaya
Sungguh tidak dapat disangka
Secepat itu waktunya
Mengapa harus dia?
Mestinya tidaklah dia
Bagitulah ucapan sebagian tetangga
Dan kini
ia  telah tiada 
 
sangat baik akhlaknya
Santun pekertinya
Memang sudah seadanya
Itu yang harus ada 
Ketika jasad telah ditinggalkan nyawa
Budi baik yang akan menemani nyawa
Menemani mereka menuju sang peciptanya.
 
Kita tak penah dapat menyangka
Kematian itu kapan tibanya
 
Parambahan,  2015
 
 
 
Teruslah Terangi Mata Itu
 
Dinginnya angin malam menusuk jauh ke tulangku
Lembutnya semilir dinginnya membelai lembut wajahku
Meter demi meter motor ini terus meninggalkan daerah ini
Negeri yang terkenal dengan dinginnya bagaikan dikutub itu
Entah sama atau tidak, aku pun tak bisa mengatakannya 
Hati ini memanng serasa beku
Beku, beku, beku dan hatiku 
Ada lega di dalammnya
Menerima untuk sebuah kenyataan yang sudah ada
Haruskah aku bersedih?
Ketika bintangku yang sudah lama redup kembali terang
tidak untuk menerangi mataku lagi
Namun menerangi  mata orang lain
Menerangi jiwa orang lain
Entah siapakah gadis itu, sungguh aku tak tau
 
Sempat aku ingin mengabaikannya,
Mengabaikan apa yang terjadi
Tetap mengingat masa dulu yang terjadi
Dan masa depan yang sudah tentu setia menanti
Tapi memang ini yang terjadi
Bintang itu terang bukan di mata ini lagi
Namun di mata gadis lain
 
Telah berusaha aku mengabaikannya
Tetap berusaha aku menjaga harapan yang pernah ada
Tetap ingin aku megabaikannya
Yang aku tahu adalah harapan itu saja
 
Untuk kali kedua
Di perpisahan yang kedua
Harapan itu seolah-olah sirna
Aku tahu jelas penyebabnya
Dan tampak begitu nyata
Menghujam hati yang sempat ingin dijaga
Jauh ke dalamnya
Kembali Bintang itu menyemburkan perasaanya
Tapi bukan untuk sosok yang setia kepadanya
Tapi untuk mata lain yang pernah ada di masa lalunya.
 
Masa lalu dirinya
Entah akan aku apakan masa lalu dirinya
Mengubahnya saja aku tak kuasa
Menidakkannya aku pun tak berdaya
Karena masa lalu itu hanya bisa diterima
 
Wahai Bintang yang malam ini tengah menyinari alam semesta
Terima kasih sudah menjadi bintang yang menerangi malamku saat ini
Saat dimana hati ini memang sudah tak semanis dulu lagi
Wahai bintang ciptaan Yang Maha Kuasa
Tetaplah bersinar dengan gagahnya
Tetaplah ada di saat malam tiba
Tetaplah jaga hati yang terpesona
Aku lega
Aku akan mencoba
Aku ikhlaskan dirinya
Bintangku yang dulu telah sirna
Bersama harapan yang selama ini aku jaga
Bintang yang telah menyinari sebuah mata 
Mata orang lain yang dicintainya
Satu pesanku untuknya tetaplah terangi mata itu.
 
Padang, 2016
 
 
 
Aku dan Kesedihanku Saat Ini
 
 
Aku dan kesedihanku saat ini amat dekat
Kami mengalir dalam darah yang sama
Kami berdetak pada yang sama pula
Sungguh apa makna kesedihan ini
Yang aku rasa, aku enggan mengungkapkan
 
Aku dan kesedihanku saat ini amat akrab
Kami berjalan melewati lorong waktu yang sama
Kami bergandeng pada tali yang sama
Sungguh apa maknanya ini
Yang aku rasa kesedihan ini ingin semakin dekat denganku
 
Aku sedih.
Kesedihannku begitu pula
Kami tengah berjuang di jalan yang sama
Kami berjuang bangkit bersama-sama
Kami menatap jalan yang sama saat ini
Sama-sama memiliki mimpi di masa depan
 
Kesedihan ini
Telah ada usahaku mendekatinya
Dan berjuang untuk menggandengnya
 
Aku sedih dengan apa yang terjadi padaku
Kenapa aku tak mampu
Mungkin semua berpikir aku berdamai dengannya
Karna jalan bergandengan bersamanya
Sebenarnya ingin sekali aku melepasnya
Melepasnya
kesedihan ini
 
Ingi sekali rasanya aku mengikhlaskannya
Untuk menjauh dariku sejauh-jauh
Kulakukan membaca, mendengar ceramah,
Bahkan membaca ayat-ayatnya.
Harapanku memang benar ingin menghapusnya
 
Kenapa kami bertemu lagi
Kenapa kami bertatap muka lagi
Kenapa kami harus berpisah lagi
Kenapa?
 
Padang, 15 Agustus 2016
 
 
 
Ratmiati Syahrial, biasa dipanggil Ratmi. Lahir pada 18 Maret 1994 silam. Ia mengawali karir kepenulisan menjadi seorang wartawan kampus. Hal itu merupakan faktor yang sangat membantu dirinya dalam menulis. Baginya banyak hal yang bisa ditulis, tergatung sang penulis arah tulisannya kemana. Yang penting tulisan itu berkualitas. Bukunya yang telah terbit di antaranya, Cinta Suci, antologi puisi terbitan Citra Gemilang Publlisher. Aku dan Jendela Rumah Ini, sebuah antologi cerpen. Purti kelima dari enam bersaudara ini baru saja menyelesaikan studi sarjana di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang (UNP). Bagi yang ingin berdiskusi dengannya silahkan hubungi via email Ratmiati_syahrial@Gmail.com dan Facebook Ratmiati Syahrial
 

Terkini