PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Yang Tidak Perlu Dimengerti
Tidak ada jalan. Tidak ada pepohonan. Tidak ada hujan, kesedihan seperti kabut mengepung pandangan. Hutan itu telah tandus. Gersang. Aku kehilangan ranting dan jejak dahan. Maka saat malam tiba dan purnama bertahta tepat di atas kepala, ia diam-diam mencuri sedikit api untuk dini hari nanti.
Tidak ada jalan. Tidak ada keramaian. Lampu lampu dan tiang listrik ialah suara yang dipaksa redam oleh keadaan. Mereka tidak pernah berhenti mencari pembenaran setiap harinya. Jangan hentikan. Mata itu telah jalang. Liar. Merajah irama kesunyian.
Kaki bergerak dan jalan menjelma begitu saja.
Cianjur, Juli 2016
Ekspedisi yang Tidak Pernah Selesai
Aku berperahu, lalu kehilangan dayung di tengah laut.
Aku berteriak, namun suaraku adalah sunyi.
Ke langit, aku mencari-cari
Wajahku
Bandung, Desember 2015
Meditasi Cuaca
kau adalah perkara
yang lebih genting daripada kematian
lumpur itu masih pekat,
ketat
mengunci segala
yang sesat dari berbagai arah
sedang musim tidak lagi patuh pada alam
mega,
surya,
keduanya tidak saling sepakat
suara bisa terbang ke mana saja
selaras asihan
yang tengah dirapalkan
tetapi tangan, mata,
dan seluruh anggota tubuhku akan tetap
berbahasa
sebagai kehendak semesta
Agustus, 2016
Rutinitas Pagi
Harusnya aku mandi, menggosok puisi yang menguning di mulut, lalu membereskan sisa-sisa mimpi yang berantakan di tubuhku. Memberi wewangian di seluruh penjuru kamar sehingga malaikat tidak akan memberikan Kekasihku suatu kabar buruk.
Tapi udara tambah meruncing saat matahari melesatkan panah-panahnya ke jantung kota.
Setelah lama aku sembunyi dari puisi dan burung-burung pemimpi yang semedi dari ingar kota. Pagi ini di jendela, do’amu mengetuk-ngetuk meminta sarapan.
Di panci belum ada nasi atau lauk. Tungku dan api telah tergadai dalam cerita, sebuah upacara persembahan.
Nun jauh di sana Bapak masih setia mencangkul, sementara aku bosan bermain lumpur: memungut keong sawah satu per satu, mengupas cangkangnya, lalu mengantar mereka kepada kematian: kelaparan tiada henti.
Harusnya aku ke kampung, menjenguk dewi padi dan meminta ampun. Sebutir pesannya untuk sang Idola di kota belum kusampaikan. penjagaannya tidak kalah ketat dengan Presiden. Bayangkan: aku yang kerdil, dengan pesanmu yang sebutir, tampak semakin terkucil dari kerling matanya yang aduhai.
Januari, 2016
Pemetik Mawar
Mawar rekah di seluruh permukaan tanah.
Hari demi hari mereka tumbuh
segar dan bergairah.
Tunas-tunas berlomba
menjadi yang paling semerbak.
Tak ada yang layu, merah menghampar
menyerupai lautan darah.
Keranjang telah penuh, ia terus memetik mawar
mawar ranum itu.
Keringat mengucur dari rambut ke dahi.
Ke alis.
Jarinya penuh goresan, semakin perih
matanya.
Darah. Mawar membuat dunia tampak sepenuhnya
sebagai darah
ia nyaris mati di kedalamannya.
Agustus 2015
