Yang Tidak Perlu Dimengerti, Ekspedisi yang Tidak Pernah Selesai, dan 3 Puisi Lainnya

Rabu, 31 Agustus 2016 | 08:59:11 WIB
Ilustrasi. (Jan Matson/janmatsonart.tumblr.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Yang Tidak Perlu Dimengerti
 
Tidak ada jalan. Tidak ada pepohonan. Tidak ada hujan, kesedihan seperti kabut mengepung pandangan. Hutan itu telah tandus. Gersang. Aku kehilangan ranting dan jejak dahan. Maka saat malam tiba dan purnama bertahta tepat di atas kepala, ia  diam-diam mencuri sedikit api untuk dini hari nanti.
 
Tidak ada jalan. Tidak ada keramaian. Lampu lampu dan tiang listrik ialah suara yang dipaksa redam oleh keadaan. Mereka tidak pernah berhenti mencari pembenaran setiap harinya. Jangan hentikan. Mata itu telah jalang. Liar. Merajah irama kesunyian.
 
Kaki bergerak dan jalan menjelma begitu saja.
 
Cianjur, Juli 2016
 
 
 
Ekspedisi yang Tidak Pernah Selesai
 
Aku berperahu, lalu kehilangan dayung di tengah laut.
Aku berteriak, namun suaraku adalah  sunyi.
Ke langit, aku mencari-cari
Wajahku
 
Bandung, Desember 2015
 
 
 
Meditasi Cuaca
 
kau adalah perkara 
yang lebih genting daripada kematian
 
lumpur itu masih pekat, 
ketat 
mengunci segala 
yang sesat dari berbagai arah
 
sedang musim tidak lagi patuh pada alam
mega, 
surya, 
keduanya tidak saling sepakat
 
suara bisa terbang ke mana saja
selaras asihan 
yang tengah dirapalkan
 
tetapi tangan, mata, 
dan seluruh anggota tubuhku akan tetap 
berbahasa
sebagai kehendak semesta
 
Agustus, 2016
 
 
 
Rutinitas Pagi
 
Harusnya aku mandi, menggosok puisi yang menguning di mulut, lalu membereskan sisa-sisa mimpi yang berantakan di tubuhku. Memberi wewangian di seluruh penjuru kamar sehingga malaikat tidak akan memberikan Kekasihku suatu kabar buruk.
 
Tapi udara tambah meruncing saat matahari melesatkan panah-panahnya ke jantung kota.
 
Setelah lama aku sembunyi dari puisi dan burung-burung pemimpi yang semedi dari ingar kota. Pagi ini di jendela, do’amu mengetuk-ngetuk meminta sarapan.
Di panci belum ada nasi atau lauk. Tungku dan api telah tergadai dalam cerita, sebuah upacara persembahan.
 
Nun jauh di sana Bapak masih setia mencangkul, sementara aku bosan bermain lumpur: memungut keong sawah satu per satu, mengupas cangkangnya, lalu mengantar mereka kepada kematian: kelaparan tiada henti.
 
Harusnya aku ke kampung, menjenguk dewi padi dan meminta ampun. Sebutir pesannya untuk sang Idola di kota belum kusampaikan. penjagaannya tidak kalah ketat dengan Presiden. Bayangkan: aku yang kerdil, dengan pesanmu yang sebutir, tampak semakin terkucil dari kerling matanya yang aduhai.
 
Januari, 2016
 
 
 
Pemetik Mawar
 
Mawar rekah di seluruh permukaan tanah. 
Hari demi hari mereka tumbuh 
segar dan bergairah. 
Tunas-tunas berlomba 
menjadi yang paling semerbak. 
Tak ada yang layu, merah menghampar 
menyerupai lautan darah.
 
Keranjang telah penuh, ia terus memetik mawar
mawar ranum itu. 
Keringat mengucur dari rambut ke dahi. 
Ke alis.
Jarinya penuh goresan, semakin perih 
matanya. 
Darah. Mawar membuat dunia tampak sepenuhnya 
sebagai darah 
ia nyaris mati di kedalamannya.
 
Agustus 2015
 
 
 
Dewi Hamdanah, lahir 30 April 1995. Sejak tahun 2010 mulai belajar menulis puisi dan cerpen. Sebagai langkah awal, ia bergabung di Komunitas Sastra Cianjur, Komunitas Nina Bobo, dan kemudian Forum Lingkar Pena Cianjur. Puisinya yang berjudul Pituah Ema menjadi juara ke tiga dalam Lomba Menulis Puisi dalam Bahasa Daerah yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat (2014). Cerpen Manusia Layang-Layang dimuat oleh Inilah Koran 25 Oktober 2015.
 

Terkini