PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Malam dan Kita di Dalamnya
Sore yang lelah selesai dengan gegas.
Di ruangan ini, kita membiarkan dinding dan pigura-pigura
Mendengar segala yang datang bersama malam;
Bulan, dingin dan hal-hal lain yang rahasia.
Ada yang tak sempat kita beri nama,
Setiap kali gelap tiba dan lonceng angin di beranda mulai mengayun.
Percakapan-percakapan kita tak melahirkan apa-apa
Selain tanda tanya dan jawaban yang tak lagi bisa menghibur.
Usia kecemasan sering kali lebih banyak dari jumlah angka di kalender
sedang kita kehabisan perumpamaan dan harapan
untuk sedikit menenangkan kepala dan hati.
Seperti kapal yang kehilangan petunjuk dari suar di kejauhan,
Kita mungkin adalah kelasi yang tak bisa lagi
Membaca arah bintang dan menafsirkan angin.
Selebihnya kita (berusaha) menolak menjadi sia-sia.
Liesel dan Sebuah Buku
Kau mengemas tahun-tahun ke dalam catatan-catatan rapuh
Yang sembunyi. Tapi seringkali rahasia adalah dingin lantai bawah tanah yang gelap.
Orang-orang membakar kata-kata, tapi di dinding rumahmu alfabet-alfabet acak seperti
Hujan yang tak menyakiti, serupa kata-kata penghiburan untuk duka yang segera tiba.
Liesel, seperti kau tahu, dari buku yang kau sembunyikan di saku jaket,
Benderang akan padam. Begitu juga warna-warni senja yang mati di ujung jembatan.
Kelak, di lagu terakhir, Liesel, ada yang tak terucapkan not –not akordeon itu:
Mimpi ysng hangus di halaman belakang dan kesedihan yang tiba-tiba mengecup puncak kepalamu.
Ruang Tunggu
Di sini, di ruangan untuk menunggu, kau selalu
Diam-diam menggumamkan harapan tentang
Hari yang tiba dengan wajah gembira.
Pada kalender, kau melingkari angka-angka
Sedang kabar terakhir hanya dingin—
Kata-kata paling jauh yang dihembuskan cuaca.
Tak ada yang beranjak. Begitu pun sekumpulan
Burung jalak yang mendengungkan lagu untuk
Ranting-ranting yang merunduk dan kepala yang
Menunduk.
Tapi kau juga jarum jam di atas kepalamu
Sama-sama sibuk bertanya dalam diam.
“Mengapa tak ada yang datang?”
Kisah Manusia Pohon
Payung yang kau pasang di atas kepalamu tumbuh menjulang
Oleh kecemasan-kecemasan yang kau pelihara sejak lama
Dan dosa-dosa yang tak kau sadari.
Sepasang tanganmu menjelma batang-batang pohon
Yang tak lagi bisa merangkul siapa pun.
Kau lupa cara bersuara.
Dan kedua matamu tak punya cukup celah untuk sedikit penglihatan.
Telingamu dibungkam ranting yang di atasnya
Mekar bunga-bunga kecil yang hidup dari kicau burung yang tak bisa kau dengar.
Cuaca menjadi semuram di pemakaman.
Udara menanggalkan segala yang kau sebut harapan atau angin baik
Yang mencoba menyentuh pori-porimu.
Dan di kejauhan, di balik tebing-tebing namamu tinggal kata yang terlupa.
Pada Sebuah Alinea
Kubaca paragraf pada sebuah puisi
Yang mencatatmu sepenuh sunyi.
Seperti daun jendela yang tabah
Pada tempias hujan atau taman mati
Di sudut kota yang sepi.
Kudengar seseorang pernah berkata;
Di antara hari yang cemas dan rindu yang hilang suara,
Kata-kata akan sampai ke ruang doa.
Tapi huruf-huruf hanya diam
Sedang malam merangkum segala
Yang tak terangkum dalam alinea itu;
Aku dan Tuhan yang mencintaimu.
Ama Achmad adalah perempuan dari Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah. Menyukai puisi, mencintai buku-buku dan memilih menulis sebagai kegiatan keseharian di samping sebagai pekerja sosial dan pegiat literasi di kotanya. Beberapa karyanya ada di Kumpulan Puisi 100 Penyair Perempuan Indonesia (2013), Senorita Zine 3 (Malaysia, 2013), Isis dan musim-musim bersama 17 perempuan Indonesia Timur (2014), Surabaya Beat atau Buku Kumpulan Foto Beat Presser dan Puisi beberapa penyair Indonesia (2015). Tahun 2014, Ama juga terpilih sebagai penulis undangan pada Makassar International Writers Festival.