Jaman Benda, Tanah Muasal, Kau Belit, Perempuan dan Lelaki Pemimpi, Pitam

Rabu, 31 Agustus 2016 | 07:40:44 WIB
Ilustrasi. (Maeve Dewar/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Jaman Benda
 
telah sepi jalanan, orang-orang menumpuk kata dalam hati, menyusun wajah dalam tangan
dan mereka tersenyum kepada benda seolah gila, seperti itulah waktu mengulur mereka tanpa
tata-krama atau perbincangan kedai kopi, atau bual-bualan ketika senja mengintip, bercerita
meluaskan hati, meluaskan rasa, meluaskan pergaulan
 
kami adalah di antara sekumpulan orang itu, yang melupakan jalan ramai oleh tegur sapa, kecuali klakson yang memekik, kecuali derum kendaraan memuntahkan asap knalpot, asap mulutmu yang bau asbak, dan kami memaki-maki tangan, menertawai sampai berbuih mata, pada dasarnya, kami seolah gila
 
berbicara kami pada benda, anak-anak berebut kasih sayang pada benda, dan mereka ibarat robot yang hanya memiliki kentut, pertanda dia memiliki suara, istri-istri berbicara pada benda, menemukan klimaks halusiansi dan ambyar puas memekik seperti gila, suami-suami
memeluk benda, tertawa-tawa senang dan mabuk kalimat-kalimat, menemukan syahwat dan ambyar menjerit seperti sinting
 
maklumat benda, telah sengaja membuat kami menjadi benda, tak ada guna mulut selain untuk menyecap rasa nikmat makanan, mandul kata-kata, tak ada mata selain melihat indah nikmat makanan dan meja kerja, layar-layar bergerak berurutan, tangan bukan untuk bersalam selain memijit, menekan, dan jarak sehasta harus memakai benda untuk menyapa
 
kami menjadi benda pada jaman penyembah benda, pada hari-hari benda menjadi penguasa jagat raya 
 
(Juni 2016)
 
 
 
Tanah Muasal
 
mengiringi pekik, jalan-jalan bunting, mengular pada angan-angan tanah muasal, menjadi ritual yang terlalu biru untuk dilupakan, karena pada biru adalah  batas manusia, tak dapat diungkapkan betapa pulang menjadi sakral, menjadi tumpuan, tapi karena seperti ikan, pada saatnya ke hulu untuk bertelur, menggenapkan rasa rindu yang bilur
 
tak perlu kau tertawa ketika melihat berpayah-payah menimba keringat, menimba kesah
dan jejalan benang kusut di kepala, menyempil di dalam himpitan bis, bermain pada angin
dan hujan menderu pada deru motor yang menggenapkan matahari menjadi terik perih
menggenapkan awan menjadi dingin membasah, bahwa muasal membuat semua kuat,
membuat harta yang terkuras tidak lebih seperti benda yang bermula, pasti akan habis binasa, oh, betapa ikhlas pada jalan-jalan bunting yang memekik nyaring
 
kau harusnya menangis, karena lupa tanah muasal, pada orang tua yang lupa alamat
anyir tembuni ketika suaranya nyaring meninju pagi, kau hanya memeluk kotak-kotak kue, beragam minuman, memenuhi gedung kota dengan tawa, tanpa tidur sampai pagi, melahap segala asap, segala riuh dan pagi-pagi nungging, pada harta terkuras, kau tak menemukan apa rasa ciuman tanah muasal, seperti mereka bersimbah bahagia membawa segumpal gairah 
dan mantra-mantra perjuangan menuju lapangan pertarungan
 
tanah muasal adalah tanah kepulangan, karena seperti yang bemula maka wajib berpulang
alangkah sakit bagimu, ketika bermula tak  memiliki tempat berpulang, alangkah sakitnya, alangkah sakitnya
 
(Juni 2016)
 
 
 
Kau Belit
 
dibelit asapmu 
aku memekik
nafsu sakit
menjadi lolong seluruh lorong
dalam poriku
 
dibelit matamu
aku takluk
candu babu membuatku batu
kau cuci daki kaki
dan aku mau ditendang
puas
tumpas
 
dibelit hartamu
aku buas
menjadi pagar hidup
memutus sinar dari luar
dan bunga di jambangan
mati
 
pada belit napasmu
aku babu
aku lacur
sebagai daun gugur
menjadi pemantik pada
panas, pada api
melahap ada
jadi  tiada
 
(Juni 2016)
 
 
 
Perempuan dan Lelaki Pemimpi
 
perempuan-perempuan pemimpi
larut dalam kopi lelaki
dan keringat basi
 
lelaki-lelaki pemimpi
menyatu dalam aroma perempuan
merasuk seumpama daki
 
harusnya perempuan-perempuan 
berhenti bermimpi
kembali menuang cinta
pada lelaki suci
 
harusnya lelaki-lelaki
berhenti bermimpi
kembali mereguk aroma
pada perempuan murni
 
(Juni 2016)
 
 
 
Pitam
 
dia  pitam dipinang cintaku
merajah waktu pada diri yang ragu
menjadi tunggul kehilangan daun
lalu lapuk, layu 
terkubur
 
(Juni 2016)
 
 
 
Rifan Nazhif. Mulai menulis cerpen dan puisi sejak tahun 1989, dan dimuat di beberapa media massa. Menetap di Palembang. Facebook: Rifan Nazhif Dlm
 

Terkini