Rumah Putih, Untuk Sahabat, Melukis Angin, Penantian dan Keputusasaan

Rabu, 31 Agustus 2016 | 07:04:00 WIB
Ilustrasi. (Giorgio Vaselli/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Rumah Putih
 
Ada sebuah rumah putih
Rumah berselimut kabut misteri berwarna putih
Digenangi senyuman mutiara jingga
Dalam keindahan tabir cinta
Ada apa bila gerangan bertanya
Wanita berkuncir hitam dalam lupanya
Mencari cinta dalam kematiannya sendiri
Di dalam sana ia mungkin akan berteriak
Dimanakah kamu ?
Dan dalam suatu purnama ia juga akan menjawab
Disini... menunggumu...
 
 
 
Untuk Sahabat
 
Ketika hujan menghantam bumi keras
Kalian berteduh bersamaku
Di bawah naungan payung yang sama
Dingin tak menjadi dingin
Disaat canda tawa menghangatkan kita
Ketika panas matahari menyengat kulit
Kalian berteduh bersamaku
Di bawah naungan buku yang sama
Panas tak menjadi panas
Disaat kita saling berbagi air kesejukan
Kenanglah !
Karena suatu saat itu akan membuat kita tersenyum 
Mengingatnya dihari tua
 
 
 
Melukis Angin
 
Aku ingin terbang bebas… 
Mengepakkan sayap-sayapku melintasi pohon-pohon Cherry dan cakrawala karunia Tuhanmu 
Mengatakan dengan lantang bagai kilat menggelegar di kutub utara kalau aku begitu ingin sampai di tempat kau berpijak 
Menemukan tempat indah dimana hanya kau dan Tuhanmu yang mengenalku 
Aku ingin terbang bebas…
Melintasi luas dunia melampaui logikamu, mendaki lebih tinggi dari puncak Himalaya  
Berapa lama lagi sebelum aku bertemu denganmu ? 
Tangisku pecah karena menahan kepiluan yang kupegang seperti menelan sianida demi dirimu 
Aku ingin terbang bebas… 
Menjadi bintang Sirius, bintang Achernar, bahkan bintang Rigel di langit malam, menghiasi tidurmu, mimpi-mimpi kecilmu 
Aku menutup mataku sejenak dan berjanji untuk hatimu 
Aku ingin terbang bebas… 
Mengatakan dengan lantang kalau aku berjanji untukmu, tapi tak sanggup memenuhinya sekarang 
Meneriakkan : mungkin inilah batasku ! 
Ada hari dimana aku berkata sesuatu yang pengecut seperti itu 
Aku ingin terbang bebas… 
Tapi ada pula hari dimana aku akan mengatakan dan meneriakkannya keras-keras bersama kepingan salju musim dingin, yang hanya tertuju padamu : aku mencintaimu !
 
 
 
Penantian dan Keputusasaan
 
Ku pijakkan kakiku dan berdiri di ujung dunia. Menatap bintang di langit siang dan berharap kau segera kembali. Jam yang berdetik terus berputar hingga akhirnya tahun berganti tahun. Menunggu dan terus menunggu dengan air mata rindu mengalir di pipiku. Gemercik hujan tak pernah kuhiraukan. Angin dan badai teruslah menghadang. Jiwa ini sepi tanpa kehadiranmu. Kosong dan hampa terasa dibenakku. Bibir dan mulutku terasa terus ingin menjerit. Tapi hati ini menuntut setia. Sekali lagi air mata membasuhi pipi.
 
Seperti burung camar terbang di atas awan dan kehilangan lautnya. Kenapa tak dihempaskan saja awan-awannya biar hujan menggenang dan menjadi lautan. Sejenak pikiranku  kembali pada beberapa detik serta menit yang lalu. Saat tanganku menyibakkan ilalang yang menghadang, menggelitik dikaki. Angin berhembus dingin. Rasanya pada saat itu kau berdiri disampingku. Atau kalau saat ini kulihat bayangmu berdiri dibawah rimbunnya pohon raksasa dibelakangku. Ingin memelukku dan memberiku kehangatan untuk mengusir kedinginan hatiku. 
 
Aku rindu saat-saat itu. Saat kau bermanja dan mendekapku. Mencium bibirku. Menggoda diriku hingga aku tertawa riang. Tapi itu dulu, dan sekarang dimanakah kamu ? Menunggu janji yang belum bisa di tepati dan tidak tahu kapan akan ditepati. Rasanya tubuh ini sudah mengambang ditengah lautan berombak ganas dan siap untuk tenggelam di dalamnya. Keputusasaan merajalela. Biarkan saja aku menunggu disurga dan temui aku disana daripada malaikat harus lelah mengolokku kesepian.
 
Jika menunggu satu minggu atau satu bulan itu tidak masalah. Jika menunggu selama setahun atau sepuluh tahun itupun masih belum menjadi masalah. Namun bila menunggu sesuatu yang tidak pernah kembali, apakah kau masih sanggup untuk menunggunya ?
 
Bila mata ini terpejam lalu kembali terbuka dan tak menatapmu, maka kakiku sudah siap menanggung derita kepedihan, melompat pada jurang keputusasaan.
Mungkinkah kau akan kembali? 
 
 
 
Insan Ali Mustofa. Lebih akrab di panggil Cupang. Lahir pada 6 Mei 1998 di Malang. Putra ke-3 dari Bapak Supeno dan Ibu Da’ini. Orang Indonesia tulen. Selain hobi menulis dan membaca novel, ia juga suka nonton film yang bergenre romance, fantasi dan misteri seperti Detective Conan. Hobinya yang paling aneh, ia suka lihat bintang di langit. Bekerja sebagai designer miniatur mainan di sebuah perusahaan kecil di Malang. Bisa dihubungi melalui: Facebook : Mastofa Thu Profechor, Instagram: Cupang Al-Mustofa, BBM: D0E9AD54 dana E-mail: siwilteamwork@gmail.com
 

Terkini