Jerit Tanah Kapur, Laknat Kota Tua, Jalan Lora, Peramal, Kuis

Rabu, 31 Agustus 2016 | 06:51:45 WIB
Ilustrasi. (Ervin Zarka/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Jerit Tanah Kapur
 
1
payudara Madura
bukit Payudan bergoa
 
darat menggunduk laksana dada
kanan emakku,
 
aku menyusu
sebagai pertapa
 
membangunkan asa 
tenaga yang tidur lama,
 
celurit karat
cemeti rompal
 
sapi berubah ular
kadang singa liar.
 
2
kulit emak secokelat tanah kapur
tubuhnya asin seumpama ladang gembur garam subur
 
pematang-pematang tumbuh padi
tembakau dan jagung
 
kini kemarau benaknya, pohon ditebang
rubuh menimpa gamang,
 
hujan tak pernah turun kecuali dari mata
rumah-rumah ditinggalkan saudara
 
tapi emak tak menangis
dan bapak tak sampai bangkit dari kuburnya,
 
duh gusti pangeran!
jerit tanah kapur
 
Ganding Pustaka, 2016
 
 
 
Laknat Kota Tua
 
kota tua,
wajahmu serenta
angin senja
menyentak pohon kelapa
kering buah-buahnya 
tapi tak jatuh-jatuh juga
 
matahari sebenarnya ringan
tinimbang berat beban
masa lalu
yang tenggelam
di ufuk risau
menekurimu
 
sesaat lampu dipadamkan 
mata kacong memandang
peristiwa silam, tubuh telanjang
dikubur dalam-dalam
tanpa nisan
 
cangkolang!
kau camkan orang-orang
yang menuntut khidmat curang
bungkam suara sialan
mulut-mulut dijahit para tua
dengan benang laknat, “sopanlah bicara
kau anak siapa?”
 
kota tua,
siapa yang percaya
anak bungkalatan berkuasa
melainkan gentar lalu merantau
dan kau kian keriput
hingga tak terjumlah berapa
kerutan dahimu
saat cucu-cucumu minggat
kemudian menjadi pelupa
 
siapa yang masih beriman
kepada kebenaran
yang ditampar tangan
bapak dan paman
disebab tak sopan
melawan para tua, “bicara saja
tapi kau punya apa?”
 
Ganding Pustaka, 2016 
 
 
 
Jalan Lora
 
telah kutapaki jalan
yang tak kau tunjukkan
 
jalan terlarang dalam pesan-pesan
sakit masa silam
 
dan kutanggung rintih sepanjang derap
sebab kau pergi sebelum aku benar-benar siap
 
untuk berangkat
mengiringi kesunyianmu
 
namun lafal-lafal di dadaku
senantiasa tancap
 
kueja terus di setiap
udara kuhirup
sebagai jawab
 
bagi isyarat tanya
yang degab
dalam degup
 
bait-bait alfiah
firman-sabda singkat
 
memagari ruh
dan nur lubang-lubang tubuh
 
bagaikan rajah-rajah
bertintakan sepertigamalam
 
menulis jimat langit subuh
menjelma syair yang mendesirkan aortaku
 
namun aku
belum bisa menyiapkan kertas baru
 
bagi lafal-lafal, menjamu santri dan tamu
sebasah kalbu menulis petuah
 
tentang pahala dan loba, sebab aku
masih betah bermain di jalan ini
 
jalan yang sama sekali
tak pernah terbayangkan
 
Lora: musik, celana, kopi, puisi,
dan menikahi gadis perantauan.
 
Ganding Pustaka, 2016 
 
 
 
Peramal
          buat Mira MM Astra, dkk.
 
kuberikan tanggal lahirku,
selintas bara dupa memanas telinga
kau ramal lelaki ceking sebagai cecunguk,
karma suami penindas kesetiaan istrinya
yang sudah menjelma emak-emak gendut
di pesta ulang tahun putunya yang ke-1000 kali tarikan napas.
 
dada berdebar
menyiptakan kerutan kasar di dahi tipis samar
hukuman apalagi yang diturunkan hujan
pada tanah tandus halaman rumah?
ah, aku masih punya
api untuk tungku esok hari
 
kemudian kau tanyakan tanggal lahir istriku,
ramalanmu pecah kelakar
: sepeda melintasi jalan-jalan kampung, dua roda berputar
sejajar tarikan napas yang ke-1000 kali di rongga.
kau pinta istriku menjadi rantai, kawat-kawat velg,
yang berputar lancar searus takdir bundar mengayuh pedal
sekencang mungkin di trotoar-trotoar
menuju empat mata angin
 
dada istriku berdebar
bukankah wajahnya begitu bulat
sepucat jumat keempat zulkaidah
menyimak tutur asing peramal sesat
yang melihat tabiat
dengan menujum tanggal lahir?
 
Ganding Pustaka, 2016
 
 
 
Kuis
 
dia ketakutan
dikejar waktu
yang hampir habis
 
kesempatan napas
telah teriris
pikiran-pikiran tipis
 
hendak bersajak sedih
bagi kesunyian yang kikis
merintih
 
ikhtiar
urip baginya seperti kuis
pada tubuh
waktu
bisa membunuh
 
lebih sadis
ketimbang jerang
linggis
 
maka dia kencang 
berlari ingin menang 
di antara kemudi bermesin
yang gasnya berang
memberinya maut
 
apakah kelelakianmu
mencapai secuil tinta
bagi pena dan air
 
ah, kata-kata
yang ditulis tergerus
arus
 
huruf jadi buih
terlempar ombak
tenggelam dalam
derak
 
maaf, waktu sudah habis.
 
Ganding Pustaka, 2016
 
 
 
Raedu Basha (Badrusshaleh). Kelahiran Sumenep, 3 Juni 1988. Mahasiswa S2 Ilmu Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pemred Penerbit Ganding Pustaka Yogyakarta. Buku puisinya Matapangara (Ganding Pustaka, 2014) juga novel Salju yang Meleleh (Diva Press, 2014). Mengarang puisi, cerpen, esai, dipublikasikan Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Basis, Republika, Indopos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Sumut Pos, Solopos, Surabaya Post, Banjarmasin Post, Minggu Pagi, Merapi, Fajar Sumatera, Fajar Makassar, Kuntum, Rakyat Sumbar, Kuntum, Sabili, Tebuireng, Bende, Kanal, dll. Juga buku bersama seperti: 17.000 Islands Of Imagination (Ubud Writers & Readers Festival, 2015), Surabaya Memory (Universitas Kristen Petra, 2016), Ketam Ladam Rumah Ingatan (Lembaga Seni dan Sastra Reboeng, 2016), dll. Diundang mengisi acara-acara sastra dan kesenian pada Ubud Writers & Readers Festival 2015, Borobudur Writer & Culture Festival 2015, Festival Kesenian Yogyakarta 2014, Spring Festival, Turki 2014. Juara 2 cerpen Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kerajaan Maroko & PCINU Maroko (2016), 1 cipta puisi Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 & TV9 (2015), hadiah Anugerah Seni & Sastra Universitas Gadjah Mada (2014), hadiah puisi Jurnal Sajak (2014),  pemenang cerpen INSTIK Annuqayah (2012), hadiah puisi Piala Walikota Surabaya (2007), pemenang puisi tiga bahasa se-Jawa Timur (2007), hadiah puisi Institut Pertanian Bogor (2007) pemenang puisi Taman Budaya Jawa Timur (2006), hadiah sayembara puisi Pusat Bahasa Depdiknas RI (2006), dll. Surel badrus.shaleh@mail.ugm.ac.id, Blog: www.raedubasha.com 
 

Terkini