Anak Pulau Kijang, Bagian Perjalanan Pasir Panjang, Yang Berdiri di Bawah Terang Bulan

Rabu, 31 Agustus 2016 | 04:55:08 WIB
Ilustrasi. (Jonathan Solter/rebloggy.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Anak Pulau Kijang
 
Kita menemukan Kiki di dalam sebuah musim dengan angin kering 
yang bertiup di Galang. Pelabuhan ke Moro yang sepi, hujan turun
sebentar mirip lelehan selai sarikaya di sepotong roti. Pagi-pagi
benar, ia telah menangkap kalajengking dengan tangan yang terberkahi
dari badannya yang bongsor itu.  Tak lebih. Tak lebih besar dengan 
kalajengking di pabrik bata yang ia temukan di Bumi Melayu. 
 
Ia anak Pulau Kijang yang telah yatim piatu, katamu. Jangan 
remehkan, meski membaca kitab masih dieja satu-satu.  
Jalannya cepat. Tubuhnya pengangkut beban dengan segala alat
dapur dan rempah-rempah yang dipapah di bahu 
 
Kita menghidangkan sebuah pagi tanpa lelehan mentega dan didih 
minyak zaitun di Sijantung. Jalan menuju kamp-kamp pengungsian 
Vietnam lebih mirip rumah hantu pukul dua pagi dengan 
pengunjung berhamburan. Kemana Kiki? Kemana Kiki menghilang 
dengan karibnya yang bersuara besar itu? Katamu, itulah tabiatnya. 
Biarkan ia kelilingi ini pulau dan mendatangi setiap pintu. 
 
Gulai nangka di beranda masjid hendak dihidangkan. Girang 
anak-anak ke sekolah bagai mekar putik jambu di jalan beton 
yang belum lama dicor. Dan kau bergumam, apakah Kiki kembali 
memberikan bajunya seperti saat memberikan bajunya untuk 
bangkai sesekor kucing milik seorang  Nasrani yang ditabrak lari?   
 
Kita menemukan Kiki di dalam sebuah musim  dengan angin kering 
bertiup di Galang. Pelabuhan ke Moro yang sepi. Sebuah kalam 
di dada, yang dibawa setiap sore hari oleh anak-anak mengaji.
 
Batam, 2016
       
 
 
Bagian Perjalanan, Pasir Panjang
 
Di sepanjang jalan dengan parutan cahaya. Di hutan-hutan
berhantu yang disiram deret kesepian. Jalan mendaki, jalan 
berkelok menuju Pasir Panjang  dengan letih kaki, dan sepasang 
sandal jepit yang rengkah.
Hewan-hewan pribumi mengucapkan selamat datang.
Tak ada kawanan biri-biri, tak ada garang wajah kerbau karapan. 
Monyet dan ayam berkawanan akrab dalam dekap semesta 
di halaman rumah yang barangkali milik
seorang Thiongha. 
Di tepi garis pantai jelang peralihan musim, sebuah rumah cahaya
itu telah lama ditinggal. Lapangan bola tanpa tribun bagai menggerutu
kehilangan sorak gempita gol. Di sebuah Ahad yang teduh, seorang 
tua bercerita tentang joged masa silam  dan segala siasat
di zaman Jepang. Dia orang lama, katamu. Perutnya telah 
kenyang dengan segala asam garam pahit hidup.   
Dan di perjalanan pulang, seorang lelaki mengajak singgah di pondok 
ladangnya. Seduhan kopi, cempedak matang, dan goreng singkong 
buat para pengelana yang diambikan anak buahnya agar selamat 
dari amukan babi. “Mari, singgah sebentar, teguklah pemberhentian 
seberat segala kelakar dan beban yang bertengger sekian  kilogram.” 
Seolah lelaki itu berkata seperti hujan mendatangi kering 
tanah-tanah tembikar.    
 
Batam, 2016
 
 
 
Yang Berdiri di Bawah Terang Bulan
 
Mendekati dini hari dengan koloni sepi menukik
di ruas-ruas setapak ladang. Telah selesai sudah kelakar.
Telah selesai sudah segala gerutu tentang masa silam
dan hari-hari yang berpilin dalam kawah nasib buruk.
 
Memilih meninggalkan deret dengkur yang mulai tunas,  
hanyalah ia saksikan malam mirip kain beludru yang ditiduri
letih semesta. Pikirnya, orang-orang ladang barangkali 
tengah menggoreng bongkah mimpi dalam cuaca dingin 
yang kian meninggi. Di bawah terang bulan, memang 
tak ada ladang gandum atau deru kendaraan yang berlari
seperti hewan tunggangan.  
 
O, betapa sunyi itu diri. Kelembaban malam kian menjadi
dari doanya yang begitu berat tentang tanah asal
dan pengembaraan  di lembar abad yang menua. 
 
Bagai berdiri di negeri asing, ia menatap epidemi langit 
dalam ganjil bulan dengan tangan terkepal, dengan
kedalaman diri yang kian istirah dalam lembah sepi. 
 
Batam, 2016
 
 
 
Budi Saputra. Lahir di Padang, 20 April 1990. Alumnus STKIP PGRI Sumatera Barat. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sekarang  bekerja dan berdomisili di Batam. Sejak 2008, ia aktif menulis cerpen, puisi, esai, feature, dan resensi. Tulisan-tulisannya  dimuat di Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Kompas. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012 di Bali, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) 5 di Palembang (2011), dan PPN 6  di Jambi (2012). Puisinya pernah meraih Pemenang Puisi Terpuji dalam Lomba Cipta Puisi Nasional tentang Kota Padang (2011) yang diselenggarakan Ikatan Alumni Don Bosco (IADB). Juara Harapan 3 Lomba Cipta Puisi Nasional Aruh Sastra Kalimantan Selatan (2012). Nominator Komunitas Sastra Indonesia (KSI Award 2012). Nominator Pemenang Lomba Menulis Puisi Sastra Hijau (2015). Juara 1 Anugerah Seni dan Sastra FIB UGM Ke 3 (2015). Juara 3 Lomba Menulis Puisi Festival Sastra Islam Nasional 2015 yang diselenggarakan FLP di Makassar. Sementara cerpennya pernah meraih Juara 1 Lomba Cerpen Antarmahasiswa HUT Harian Singgalang ke-44 (2013). Nominator (2012) dan Juara 1 Lomba Cipta Cerpen Tingkat Mahasiswa Nasional yang diselenggarakan LPM Obsesi STAIN Purwokerto tahun 2013 dan 2014. Juara 2 Kategori C LMCR Rohto-Metholatum 2013. Pemenang Unggulan Lomba Menulis Cerpen Hutan dan Lingkungan (LMCHL Perhutani Green Pen Award 2014).  Nominator Lomba Penulisan Cerpen Travel ‘n Love yang Diselenggarakan Majalah Padmagz & Padma Tour (2014). Pemenang Lomba Cerpen Waroeng Steak and Shake (2016).  Cerpen dan puisinya tergabung dalam belasan antologi bersama. Email: budi_jausyan@yahoo.co.id
 

Terkini