Mahkota Zeus, Di Lembah Nysa, Tragedi Ayam Jantan, Perselingkuhan Dewa

Rabu, 31 Agustus 2016 | 04:44:07 WIB
Ilustrasi. (Cathy Hegman/cathyhegman.blogspot.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Mahkota Zeus
—kepada Hera
 
Bila belati hatimu sedingin es batu
kupanasi lembut kulitmu pakai 
api di atas remah kayu.
Barangkali begitulah cintaku bertungku
di atas kobaran biduk rindu.
Merah cintaku tak mengenal
rasa keluh kesah 
—yang abadi melilit tubuhmu
dan mendekap sanubarimu selalu.
Cintamu pasah, katamu.
 
Mahkota cahaya di kepala jadi
prasyarat dan saksi
kekal bahasa kita; Dewa dan Dewi.
Supaya sepimu menjadi sepiku,
tangismu menjadi tangisku.
Elok senyummu bunga
sepatu, o Hera!
 
Kuhadiahi perhiasan kerajaan yang
melangit padamu, agar
tak ada pagar prasangka dustaku.
Aku, Sang Dewa Agung, tak pernah 
melemah-menyerah, pada takdir 
yang kulukis sendiri di atas pasir putih 
dan selembar daun. Nun di seberang laut, 
inilah tanda kesetiaanku
padamu yang bertaut.
 
Bojonegoro, 2016
 
 
 
Di Lembah Nysa
 
Kisah kita bermula saat genting 
tanah bertalu; gempa bumi dan 
gunung meletus, pohon-pohon runtuh, 
para binatang tunggang langgang.
Di bawah gunung Etna para raksasa
terkurung mantra dewa.
 
Di Lembah Nysa, hijau rumput jadi
ayat-ayat suci bagi pemetik bunga.
Ada gadis kesayangan Demeter,
mengelilingi taman keabadian 
tak bercabang sambil memainkan 
selendang sutranya. Itu Persefone, kataku
—Eros menancapkan panah jitu
asmaranya ke jantungku.
Bersama nimfa laut Okeanid
dia bernyanyi dan menari. 
 
Dari Lembah Nysa, cerita cinta kita 
sebuah kenangan bertaburan gelap 
tanpa cahaya merayap. Hidup kita di
dunia bawah; tak ada noktah, tak ada arah. 
Kecantikan wajahmu semu, pekat juga sayu.
 
Dari Lembah Nysa pula,
seorang ibu terus mengumandangkan
tangis selama sembilan hari
sembilan malam, di jalan buntu
gang seberang
—anak gadisku ditelan sembilu.
 
Bojonegoro, 2016
 
 
 
Tragedi Ayam Jantan
—kepada Alektryon
 
Aku dikutuk Tuanku yang kejam
menjadi ayam jantan, meringkuk dan
terbuang kasihan tanpa 
memandang imbalan seteguk.
 
Helios, Sang Dewa Matahari, 
tak mudah dikelabuhi atau dibohongi,
matanya bola api menembus ulu hati.
Perhatiannya nahkoda, dikelilingi
wangi ampas kopi. O Penguasa!
 
Cahaya tubuhku memar biru,
menembus fajar antara lalu waktu.
Langkahku mendayu,
jiwaku tertipu.
 
Bojonegoro, 2016
 
 
 
Perselingkuhan Dewa
 
Haramkah sang dewa berselingkuh
—tidur telanjang dengan kaki silang
dalam ketenangan ranjang?
 
Pernikahan mengekalkan dua cahaya,
bukan jadi penderas tawa dan luka orang ketiga.
Dalam ikatan suci pasangan, buah hati adalah 
kunci terang hakiki menuju taman sari surgawi. 
Tangisan bayi membuat gejolak resah 
menjadi melodi indah, tanpa 
meninggalkan noda darah.
 
Afrodit bukan istri setia—selingkuh pilihan
nyata; menjelajahi penggalan tubuh pria dan 
kejantanannya. Hefaistos lautan 
amarah saat belahan jiwanya memberahi 
Ares. Jaring-jaring menyakitkan ini 
untuk kalian, katanya, supaya kebodohan
dan kebusukan berubah jadi telaga warna.
Tak ada pintu lagi menuju rumahku, 
dan ruhku!
 
Dalam hujan air mata itu
Poseidon berkata, berjanjilah bahwa detail
penyesalan adalah akhir dari setiap kutukan.
Bukan sekadar perkataan dari bibir, 
tapi sihir batin. Kalian mutakhir!
 
O Hefaistos berhati lautan,
segalanya berubah semenjak
kepergian Ares ke Trakia dan Afrodit
ke Siprus.
Kau tenang.
Kau menang mematahkan
kebiadaban.
 
Bojonegoro, 2016
 
 
 
Saifu Ali, lahir 11 September di Bojonegoro, Jawa Timur. Tahun 2014 lulus dari IAIN Walisongo (sekarang UIN Semarang) Fakultas Ushuluddin Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi. Mulai menulis cerpen dan puisi sekitar tahun 2010 akhir—saat itu ia bergabung bersama FLP Semarang. Tahun 2015 berkesempatan mengikuti Workshop Cerpen Kompas 2015 di Malang. Ia juga calon peserta #KampusFiksi Jogjakarta yang digagas Penerbit DIVA Press. Selain menulis, sehari-hari menjadi pendidik di MTs. Abu Darrin Bojonegoro sebagai guru BK (Bimbingan Konseling). Ia juga seorang freelancer sketcher & illustrator. Tulisannya tersebar di media online, lokal, dan nasional. Juga termaktub dalam beberapa antologi: Botol-Botol Berisi Senja (Taman Budaya Jawa Tengah, 2014), Rung Buaya (Penerbit Unsa Press, 2015), Lelaki Perempuan (Penerbit Oase Pustaka, 2015).  Bisa dihubungi via twitter: @saifuali_ atau blogsaifuali(dot)com.
 

Terkini