PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Mahkota Zeus
—kepada Hera
Bila belati hatimu sedingin es batu
kupanasi lembut kulitmu pakai
api di atas remah kayu.
Barangkali begitulah cintaku bertungku
di atas kobaran biduk rindu.
Merah cintaku tak mengenal
rasa keluh kesah
—yang abadi melilit tubuhmu
dan mendekap sanubarimu selalu.
Cintamu pasah, katamu.
Mahkota cahaya di kepala jadi
prasyarat dan saksi
kekal bahasa kita; Dewa dan Dewi.
Supaya sepimu menjadi sepiku,
tangismu menjadi tangisku.
Elok senyummu bunga
sepatu, o Hera!
Kuhadiahi perhiasan kerajaan yang
melangit padamu, agar
tak ada pagar prasangka dustaku.
Aku, Sang Dewa Agung, tak pernah
melemah-menyerah, pada takdir
yang kulukis sendiri di atas pasir putih
dan selembar daun. Nun di seberang laut,
inilah tanda kesetiaanku
padamu yang bertaut.
Bojonegoro, 2016
Di Lembah Nysa
Kisah kita bermula saat genting
tanah bertalu; gempa bumi dan
gunung meletus, pohon-pohon runtuh,
para binatang tunggang langgang.
Di bawah gunung Etna para raksasa
terkurung mantra dewa.
Di Lembah Nysa, hijau rumput jadi
ayat-ayat suci bagi pemetik bunga.
Ada gadis kesayangan Demeter,
mengelilingi taman keabadian
tak bercabang sambil memainkan
selendang sutranya. Itu Persefone, kataku
—Eros menancapkan panah jitu
asmaranya ke jantungku.
Bersama nimfa laut Okeanid
dia bernyanyi dan menari.
Dari Lembah Nysa, cerita cinta kita
sebuah kenangan bertaburan gelap
tanpa cahaya merayap. Hidup kita di
dunia bawah; tak ada noktah, tak ada arah.
Kecantikan wajahmu semu, pekat juga sayu.
Dari Lembah Nysa pula,
seorang ibu terus mengumandangkan
tangis selama sembilan hari
sembilan malam, di jalan buntu
gang seberang
—anak gadisku ditelan sembilu.
Bojonegoro, 2016
Tragedi Ayam Jantan
—kepada Alektryon
Aku dikutuk Tuanku yang kejam
menjadi ayam jantan, meringkuk dan
terbuang kasihan tanpa
memandang imbalan seteguk.
Helios, Sang Dewa Matahari,
tak mudah dikelabuhi atau dibohongi,
matanya bola api menembus ulu hati.
Perhatiannya nahkoda, dikelilingi
wangi ampas kopi. O Penguasa!
Cahaya tubuhku memar biru,
menembus fajar antara lalu waktu.
Langkahku mendayu,
jiwaku tertipu.
Bojonegoro, 2016
Perselingkuhan Dewa
Haramkah sang dewa berselingkuh
—tidur telanjang dengan kaki silang
dalam ketenangan ranjang?
Pernikahan mengekalkan dua cahaya,
bukan jadi penderas tawa dan luka orang ketiga.
Dalam ikatan suci pasangan, buah hati adalah
kunci terang hakiki menuju taman sari surgawi.
Tangisan bayi membuat gejolak resah
menjadi melodi indah, tanpa
meninggalkan noda darah.
Afrodit bukan istri setia—selingkuh pilihan
nyata; menjelajahi penggalan tubuh pria dan
kejantanannya. Hefaistos lautan
amarah saat belahan jiwanya memberahi
Ares. Jaring-jaring menyakitkan ini
untuk kalian, katanya, supaya kebodohan
dan kebusukan berubah jadi telaga warna.
Tak ada pintu lagi menuju rumahku,
dan ruhku!
Dalam hujan air mata itu
Poseidon berkata, berjanjilah bahwa detail
penyesalan adalah akhir dari setiap kutukan.
Bukan sekadar perkataan dari bibir,
tapi sihir batin. Kalian mutakhir!
O Hefaistos berhati lautan,
segalanya berubah semenjak
kepergian Ares ke Trakia dan Afrodit
ke Siprus.
Kau tenang.
Kau menang mematahkan
kebiadaban.
Bojonegoro, 2016
