PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Dendam
Melihat kembali kematian dari matamu
Keegoisan bayang kau tumpahkan perlahan
Pada aliran darah yang kian mendidih
nurani tercerai-berai dari
Asap kehidupan
Sisa malam yang kau bisikan
Kini buta perlahan
Tak ada bintang gemintang bertengger di balkon langit,
Yang ada hanya mata kau terbakar,
Laut dan sore, yang dulu menyatu
Membingai indah sayap-sayap senja
Telah patah sayapnya
Juga warna sayap senja menghitam
Tersapu mendung,
Andai mendung mengundang hujan,
Pasti dia teriakan dendam saat riciknya
Mendung dan hujan yang berkawin
Tak habis-habis mengubur kematian
Dalam mata kau,
Sepiku
Di sudut sepi, aku menangis dalam kenangan orang lain
Hilang sudah bagian diriku
Aku terhapus. Bahkan dari tepian sepi sekalipun.
Seolah warna hitam tercerabut dari bayanganku
Nafas melagu tanpa tempo. Hembusannya berhenti,
Sekejap mataku menangkap potret wajahnya
Aku ingin berbisik, sayangnya aku telah terbunuh sepi.
Nafas Subuh
Tidak mudah menghirup nafas subuh,
Ada ribuan nafas tersesat, pada fatamorgana cinta
Perburuan dewi fajar dalam dengkur yang basah.
Serupa selendang putih menjulurkan wangi pelataran surgawi,
Detak-detak jantung subuh meniadakan detak yang diam,
Hanya sedikit langkah beringsut menemui pemilik sepi,
Muara segala rupa dan kuasa.
Dari bukit hingga sungai, nafas-nafas itu berhembus
Mengumpulkan doa lalu menggantungnya di langit.
Separuh nafas yang tertinggal, jadi olok-olokan ayam: “ kesiangan”, kokok ayam.
Cinta Semalam
Di ruang glamor ini-seribu cerita berbaur jadi satu
Entah cerita pecahnya keluarga dalam sebotol bir
Atau penculikan gadis desa dari sangkar kejumudan,
Zaman telah pongah, tubuh adat ditaburi wangi wisky
sopan santun, seperti ranting cemara yang diinjak sebelah kaki
Sedih dan sesal tak lagi bernyanyi,
Larut alunan musik-semuanya terbeli.
Di meja sudut, sepasang muda-mudi mencipa cerita
Mereka pun terbakar cinta,
Riak-riak lagu menghempas
Kapas-kapas suci koyak, terampas
Mereka saling melipat bagai kertas
Hingga tiba saat tangis beradu
Satu cerita telah usai,
dirahasiakan malam.
Surat dari Seorang Ibu?
: untuk ibu pertiwi
Tidakah kau rindukan nyanyian burung di pagi hari?
Yang menemanimu saat kau berlari ke sekolah dulu
Pernahkah kau ingat hamparan padi di sawah?
Sewaktu kecil, kau bantu bapakmu menyemprot hama,
Atau sedetik saja, kau ucap doa untuk bapak ibu di desa
di sela, sujudmu.
Ibu resah nak, tuan tanah dari seberang datang mengambil tanah kita dengan paksa.
Mereka membeli lumbung kehidupan kita,
Dan menggantinya dengan lembaran kertas, tak seberapa.
Tanah itu, adalah satunya milik kami,
Setelah sepetaknya lagi kami jual bekal merantaumu.
Tanah itu adalah anak kami, setelah kau pergi.
Setiap pagi kami menyuapinya, memandikan.
Menciuminya hingga terlelap.
Tanah itu, tumpah darah kami
Di rahim tanah itu kami hidup dan mati.
Kami mencintai tanah itu nak,
tanah itu juga tak ingin meninggalkan kami.
Karena,
Tanah itu juga ibu kami,
Bagi satu, seribu, sejuta putra-putra kami.
Yang Lahir, tertawa, dan berlari.
Nak, kapan kau pulang?
Kembali bergelut dengan lumpur sawah-sawahmu
Menuai padi untuk kita.
Memanen mimpi masa depan bersama,
Apa kau tidak merindukan ibu?
Kau bangga dengan negeri orang,
Lupakah kau dengan ibu?
Masihkah kau mencintai tanahmu?
Cilacap, 23 Agustus 2016
Winda Efanur FS seorang penulis lepas. Menyukai dunia sastra terutama puisi. Baginya sastra adalah media untuk mengaktualisasi ide dan sarana mengedukasi pembaca. Beberapa karyanya terdokumentasikan dalam antologi puisi dan cerpen, seperti Tubuh Bencana, Di Balik Hitam Putih Kata, Menjadi Indonesia dan Pelangi Kenangan. Email : efanurw@gmail.com