Memori Kasih, Berkaca Belaian Pohon, Epidermis Merdeka, dan 2 Puisi Lainnya

Rabu, 31 Agustus 2016 | 01:51:48 WIB
Ilustrasi. (Senad Kruskic/twitter.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Memori Kasih
 
Kutatap, sentuh, deku nan bersimpuh di rintik
Rembah rembih air mata tiada bersemi
Ingatan kisah kita terukir nan terbias mesra
Menepi tergores tak terhapus
Kubuka lembaranmu, tapi kau tutup dengan peti mati
Kini ingatan indah tetap bersinar bak tiada gelap yang menerpa
Kehadiranmu kau rubah jadi pelangi
Sekejap tiba-tiba pergi memudar
Karena sang terala lebih menyayangimu
 
Kasihku...!
Kenapa kau hinggap di atma ini? Tapi meninggalkan suara rintih
Kenapa sukmamu menyatu dalam lubuk hati? Namun mengiris kasih
Tak sanggup kubeliak mata ini
Melihat takdir yang bertabir
Terkubur dalam tanah
Terhias daun jarak.
 
 
 
Berkaca Belaian Pohon
 
Silir angin menaungi pelupuk mata
Meraba diatas kepala ria
Seraya luka tak bertuah
Memberikan makna berbeda
Duhai pohon nan bersemi
Kiat mesra hembusan udaramu
Sampai aku terlena
Hingga lupa semjua beban
Bergoyang kekanan nan kekiri
Akupun menggeleng
Nilai setitik ujung daunmu bertabur nyawa, menyerap duka
Tak sanggup aku menggores dahanmu
Yang begitu elok penopang rangka
Bertedauh dibawah rindangmu
Bagai surgawi yang tak henti
Entah sampai kapan dikau ada
Menyelimuti muka tanah
Bebaslah, lestarilah, biaklah
Sampai dunia kejam menutup mata
Hingga tiada jamah liar
Tapi sekarang dikau bukan lagi penguasa
Melainkan budak bangunan sang ayal.
 
 
 
Epidermis Merdeka
 
Sorak suara menggempar nafas-nafas kebangkitan
Menggema dinusantara lintasan garis khatulistiwa
Cakar terkepal menggenggam erat
Sayap megah terkepakkan
Paruh menganga bersuara memecah dirgantara nista
Mata tajam mengarah lawan 
Sembari menuju satu tujuan, arah, dan persatuan erat
Kibaran simbolis saka merah putih bebas terkibas
Proklamasi ditegaskan
Melantunkan lagu gelora  
350 tahun telah berlalu
Selamat tinggal kabut nestapa ibu pertiwi
Senyum merekah disegala bilik penjuru negeri
Bertabur gembira mengubur derita.
 
 
 
Malam Kurabak Cinta
 
Tarian rumput menyepikan daku
Diatas kayu rapuh kuberdiri
Dedaunan dihembus angin
Suara malam mendesir
Bulan berbinar terang
Memantul diriamnya sungai
Dawai jangkrik berasmara
Menyindir batinku
Kubuka sekat-sekat tubuh
Melapangkan kedua tangan
Memejam mata
Bak serta merta kubawa selembar kertas
Mengisahkan pudarnya warna cinta
Merasakan rabaan angin malam
Hingga ke pori-pori
Pergi dari masyhadat
Detak jantung menggema
Mulut terjahit pahit
Air mata rembah rembih
Terbangkan cinta ini
Hilanglah
Musnahlah
Tundung dan jangan menyapa
Wahai penghuni alam yang terala
Saksikan sumpahku
Yang menerpa daksa ini
Tak perlu kuragu
Meskipun itu deku
Biarlah rahayu
Nestapa makin hancur
Hanya karena cinta yang dia tuang
Sari manis ucapannya
Cuma perasa setia
Namun hanyalah bualan yang kupercaya
Tapi semua itu kandas
Dengan bukti yang kudapat
Sukma
Rupa
Tertebas keris nista.
 
 
 
Tonggak Bambu Runcing Palsu
 
Rerumpun hukum terombang ambing ombak bangsawan
Tarikan suara rakyat mencabik-cabik dinding kursi kepercayaan
Hanyalah omong kosong belaka
Hanyalah janji palsu
Hanyalah kewibawaan dusta
Hanyalah menjatuhkan
Hanyalah seribu nada nista
Hanyalah korban yang ditawarkan
Hanyalah timbul penderitaan
Dimana tanah airku?, tanah air yang kudambakan
Pusakamu telah musnah oleh wakil rakyat
Rasamu bukan lagi keadilan
Balasan tumpah darah pahlawan kian menjadi gelimang harta dan kekuasaan perdaya
Bambu runcingmu kian menjadi besi yang memalukan
Merah jadi pembunuh moral
Putih jadi sinar janji biadab
Dimana akal, hati dan norma yang bijak?
Simpan saja satu ruang damai
Akan kami jadikan contoh
Tapi itu hanyalah angan angan yang terlintas pergi entah kemana
Bukalah jendela bangsa!
Sodorkan segala aksi!
 Yang menjanjikan kesejahteraan, damai, adil dan persatuan
Pintaku bukanlah sekedar angin bualan
Tapi sebuah harapan pasti
Teriakan, jeritan tangis tak pernah membuatmu gulana 
Tak pernah ada secuil rasa iba
Tapi segunung kerakusan
Oh... Bangsaku, begitu malang nasibmu
Ragamu kian terseret arus masa
Tiada cermin untuk berkaca diri.
 
 
 
M. Ubaidilah Hasan, lahir di Banyuwangi Provinsi Jawa Timur pada tanggal 09 Februari 1997, anak ke empat dari lima bersaudara. Sekarang beralamatkan di Jalan K Sidik, Dusun Sumberagung, RT.001 RW.002 NO. 16 Kode Pos. 68471 Desa Rejoagung Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi Provinsi Jawa Timur. Tak henti hentinya ia untuk berkarya seni karena memang menjadi hobinya, seperti melukis henna di tangan dan kaki, membuat karya seni dari  bahan yang tak terpakai dan dua hal yang ia senangi ketika mengisi waktu luang, yakni membuat puisi dan cerpen. Dia aktif menjadi peserta lomba di sekolah seperti lomba baca puisi, Kaligrafi dan Cerdas Cermat. Jenjang pendidikan yang sudah ia tempuh adalah TK Khadijah 88 Rejoagung Srono Banyuwangi, Mi-Alma’arif Rejoagung Srono Banyuwangi, SMP Islam Al-Ma’arif Rejoagung Srono Banyuwangi, MA Darul Ulum Wringinputih Muncar Banyuwagi sambil mondok di PONPES Manbaul Uluum Wringinputih Muncar Banyuwagi, dan sekarang aktif sebagai Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Jember yakni Institut Agama Islam Negeri Jember dengan Prodi Tadris Biologi. Email: ubay.biologi@gmail.com, Facebook: Hadzen
 

Terkini