Sajak tentang Seorang Anak Kali, Memenuhi Kolam, dan 3 Puisi Lainnya

Rabu, 31 Agustus 2016 | 01:42:43 WIB
Ilustrasi. (Edvard Munch/commons.wikimedia.org)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sajak tentang Seorang Anak Kali
 
Dari tahun ke tahun aku tumbuh dan berkembang sepanjang kelokan anak-anak kali, menjelajahi tanda-tanda arus kali yang terkadang naik turun meninggi, diantara himpitan pembangunan kota yang mulai gundah, sibuk berbenah diri, muram dengan kondisi penuh pertanyaan membanjiri wajah-wajah lugu yang belum mengerti.
...
Dari tahun ke tahun aku mulai belajar bersama arus tingginya urbanisasi, ikut menikmati euforia roda perekonomian dimulai pembangunan gedung-gedung tinggi, kali-kali yang sudah dihiasi beton-beton melapisi jarak ekosistem perubahan sanitasi dan Ruang Terbuka Hijau semakin terhimpit penuh sesak tapi tetap indah menghiasi.
...
Dari tahun ke tahun aku mencoba merenungi dibalik keindahan cahaya senja di sore hari, membentangkan cakrawala yang penuh teka-teki dan sarat misteri, wajah-wajah kali murka dengan memenuhi ruang-ruang yang barangkali sudah bukan tempat mereka mendiami debit-debit kali, dahulu rawa-rawa dibaluti barisan ilalang yang mengitari dipinggiran dan kini kali yang telah di operasi plastik wajahnya menjadi kampung-kampung yang padat, penuh sesak dan kumuh yang sebentar lagi diberi tambahan bonus demografi.
...
Aku lahir tepat dipinggiran bantaran kali, bukan aku tidak mau memilih untuk lahir di rumah sakit yang yang memadai, atau alergi dengan peralatan medis yang canggih ataupun bukan karena aku senang ditempat yang agak jorok dan sedikit bebauan dari sekeliling kali, aku satu contoh anak yang tidak seberuntung anak-anak lain, tidak ada satu manusia yang dapat memilih dari rahim mana ia keluar, mungkin memang takdir bunda untuk melahirkan dekat bantaran kali, bukan karena ia tidak cukup waktu untuk berlari ke rumah sakit ataupun menyambangi rumah ibu bidan yang letaknya tidak begitu jauh, tapi mungkin diskon harga dari dukun beranak yang cukup untuk biaya melahiri.
...
Akulah anak kali itu, yang ketika sore menjelang bermain-main dengan arus kali, menyeberangi dan mengikuti arus liar dari iringin air kali yang mengalir ke hilir, tawa canda dan senyum sumringah anak-anak kali mendiami warna-warni wajah setiap sore di sepanjang kali.
...
Dari kelahiran seorang anak kali, harapan itu terlihat dari senyummu
Tak ada kesulitan untuk mengenalimu.
Sebab dalam kelahiranku telah diukir namamu
yang bermusim-musim menyandera napasku,
walaupun sempat kalut dan kabut menyamarkan waktu.
...
Tak ada kesukaran untuk mengenali wajahmu.
Sebab dalam dadamu meregang tali pusarku
hingga menyatu tali pusarmu, menghanyutkan kita dalam
pusaran yang sama: masa perjuangan yang penuh derita.
...
Sementara kau masih berjuang menyemangatiku,
anak kali dalam diriku gelisah mengingat perjuanganmu
hari ketika kau tak lagi mengajak bermain atau sekedar menemaniku
ataupun sejenak meminta menyelesaikan pekerjaan rumahku.
...
Tanpa sepengetahuanmu, bertahun-tahun, kemarin, dan kini
kemudian setelah itu, anak kali itu telah berkelana
melalui permainan yang paling menyenangkan itu:
menunggu. Sebab ia tak perlu sosok lawan untuk
menang dan mengalahkan dirinya sendiri untuk mengejar mimpi.
 
Jakarta, April 2016
 
 
 
Memenuhi Kolam
 
Engkau adalah hujan syahdu bulan Januari
Mungkin aku hanyalah binatang jalan yang tersesat
Yang pergi lalu lalang kesana-kemari
Mencari lorong-lorong kosong yang meneduhkan
Malam makin dingin dengan waktu yang menjemput maut kian mendekat
 
Ketidakpastian sementara tak sabar merapat,
Kewarasan lambat laun terkikis gigilnya kesendirian.
Aku hanyalah sepotong tulang rusuk yang rapuh, dengan sebait puisi tanpa irama, menghujam disela-sela pohon menumpang hidup tanpa kekuatan bak benalu.
 
Tanpa kepastian, terngiang masa-masa bersama,
Tak akan pernah cukup mengisi jiwa,
Tak akan pernah cukup menghilangkan haus dahaga takdir cinta kita.
Aku hanyalah seciduk gayung yang bolong
Sedangkan hasrat cintamu seluas kolam samudera.
 
Memenuhi kolammu seperti aku memenuhkan seisi lautan dahaga cintamu dengan mengasini air laut dengan garam
 
Jakarta, April 2016
 
 
 
Sepotong Senja
 
"Di depan pantai tanjung pendam,
semua kenangan terpendam."
 
Ketenangan syahdu memandu malam,
seakan menyudahi masa lalu yang kelam.
 
Seakan pergantian siang dan malam,
Memberikan harapan menyembuhkan luka terperam.
 
Walaupun terkadang kerentanan dan air mata timbul tenggelam, 
begitulah kita bukan dengan kelabilan hati yang bersemayam.
 
Aku tersadar dan mencoba menjaga kewarasanku menyudahi belenggu setiap kata-kata yang menusuk kesadaranku, walaupun begitu, aku masih mengingat betul ada sepotong senja, meniduriku dengan semilir angin yang menyejukkan dari sesaknya seluruh rongga di dada yang pengap.
 
Ketika warna langit berakhir gelap, ketenangannya hanya akan meninggalkan sepotong saja yang dititipkan secara sembunyi-sembunyi dan menyelinap.
 
Sebab sepotong senja hari yang lain,
Mengingatkan masa-masa kelam yang lain.
 
 
 
Jalan Perpisahan
 
Sore ini kita harus melewati lagi
Diujung jalan, tepat persimpangan dekat bandara
Kecupan tangan, dan lambaian senyuman
Kita masuk dalam aura kedamaian
Saling memberi kata-kata satu
Tetesan air mata yang menyatu
Terharu karena sesuatu
 
Akhirnya waktu jua yang membelenggu
Jarak dan waktu akan menyatu
Dikejauhan terhujam di dalam kalbu
Dipayungi senyuman itu
Kau melingkari dirimu
Menguatkan jemari dan gelombang sukma
Setinggi gunung dan seluas samudera
Pesan-pesan itu dan doa
Semoga langkahku dipermudah
 
"Jangan pergi", pintamu
"Dari hatiku pun tak ingin pergi", jawabku. sesungguhnya genggaman jari-jari kecil dan aura kasih itu yang menguatkanku.
 
Jakarta, 1 Agustus 2016
 
 
 
Putri Negeri Impian
 
Wahai bidadari hati dari negeri impian
Mungkin bagiku senyummu hadir seperti dalam impian
Aku tak berani melihat kemilau cahaya bersinar dimata 
Kini nyata impian itu sangat indah dipandang mata.
 
Cahaya mata pesonamu dapat membuatku terkapar lesu,
Ekor matamu seolah memberi makna
Bening kupandang, dan kaupun menenangkan...
 
Aku tak berani menabur harap berpetualang jauh
Jatuhku terperosok begitu dalam,
Kinipun masih terdampar dihamparan...
 
Akh...Indahmu sangat mengagumkan,
Kusembunyikan itu dari lisan
 
Bukan merayu,
Rembulan itu pernah terbit di timur pada penglihatanku
Seakan menyiratkan yang tak ku pahami
Dibalik kemilau Surya Nan Indah memikat pekat terpenjara
 
Jiwa ini telah pekat dengan kekecewan yang merajai
Hati ini tergores, tersayat sebilah belati
Kepercayaan diri telah pergi meninggalkan jasad diri
Kesetiaan tak berbentuk hancur, meremukkan keping-keping hati
 
Diiringi lagu syahdu rindu yang mendayu
Ketika angin sendu berbisik syahdu
Senja pun mulai menguning keemasan yang membiru
sendu tatap matamu menghiba pelepas rindu
 
tujuh purnama dibalik pulau ini telah aku tunggu
tujuh negeri kucoba arungi mencari arti senyummu
diantara bimbangnya hati, apa sebenarnya yang ku cari?
tanpa jawab aku dapati, bertambah galaulah hati
melihat nasib negeri ini, seakan menertawakan diri
 
Asa yang telah mati 
Reinkarnasi kembali
Terima kasih, bidadari hati
Cinta, harapan dan impian hidup kembali
 
 
 
Musa Rustam, kelahiran Jakarta, 31 Maret 1983. Menyelesaikan Pendidikan Sarjana di Konsentrasi Manajemen Pembangunan Daerah, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – Lembaga Administrasi Negara di Jakarta, Pemenang Keempat Essay Competition Fellowship KOICA dari KOICA (Korea International Cooperation Agency, 2014),  Buku Novelnya Memoar Asa (Writerprenuerclub,2016), penyuka fotografi, menyenangi travelling yang sehari-sehari bekerja sebagai PNS di Jakarta serta Blogger Korea Tourism Organization-Jakarta sejak 2014. Menulis adalah passionnya untuk menyalurkan bakat dan hobynya ia menulis aktif di blognya www.musarustam.com dan www.travellerantiteler.blogspot.com 
 

Terkini