Gawai Rindu, Strata Cinta, Nyanyian Kabut, Balutan Tasbih Cinta, Menanti dalam Derita

Selasa, 30 Agustus 2016 | 07:58:12 WIB
Ilustrasi. (Paul Schimmel/artweek.la)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Gawai Rindu
 
Menetap jiwaku bersama deburan laut yang kian menderas 
Terpana aku pada dada langit yang  merintikkan kedamaian  
Teringin aku mewaktu abadi bersama detak jantungmu 
Mengitari orbit bumi ini hanya berdua saja 
Meski aku tahu bahwa kau hanya fatamorgana 
Yang tak mungkin bisa kuraba dan kunikmati sepanjang masa 
Namun tak kan kubiarkan kau meredup dalam doaku 
Kau selalu abadi dan menjadi hela nafasku 
Hingga saat cinta saling beradu 
Gawai rindu itu melekat erat pada lenganku 
Setiap rembulan datang aku memetiknya penuh harap 
Kemudian melodi cintanya akan menyesakkan rongga dada 
Merindumu memang sakit dan tidak merindumu lebih menyakitkan 
Sampai pada akhirnya, kuabdikan jasadku 
meniduri gawai rindu yang mendendangkan janji cinta 
 
 
 
Strata Cinta 
 
Saat mata bersatu meneriakkan cahaya kekaguman 
Saat lengan teringin memeluk harapan 
Saat hanya rimbun rindu yang hanyutkan jiwa 
Yang tak tertahan meski badai menghantam 
Padanya aku  mengaku kalah dan salah 
Segala tutur  yang dilontarkan membenarkan semestaku 
Ia bercinta dengan strata tingginya bukan denganku 
Mengembara menabur benih cinta di ladang strata lain tapi sia-sia 
Ia terhempas jauh dari langit yang didamba 
Kini sendu kekecewaan menggelabuti hatinya 
Yang dilakukan hanya mengadu amarah 
Betapa tidak berharga strata jika ia mencinta 
Tidak mungkin ia sanggup menyatukan rasa 
Bila rumus cinta terdapat strata 
Lantas, bagaimana denganku yang tak berstrata 
Itu artinya aku hanya akan mati tanpa cinta kurasa
 
 
 
Nyanyian Kabut
 
Sehelai pelangi berjingkat dibawah rinai 
Rintiknya menanggalkan tetesan kerinduan 
Sepertinya langit enggan membagiku akan kisahnya 
Sedang dengan kabut bersedia ia mendendangkan syairnya 
Tetes air berpendaran di seberang jalan 
Mendinginkan jiwa di semesta yang sedang merindunya 
Meski awan pitam akan menggumpalkan  gelap
Dan kelam terkatung-katung bersama kesunyian 
saling melemparkan dingin
Namun nyanyian kabut memadamkan dinginnya  
Dan saat hangat bercampur kedinginan 
Maka mulailah kabut bernyanyi dengan riangnya  
Partikel-pertikel kecilnya  terlepas menerbangkan kerinduan saat senja 
Atau bahkan menjadi titik-titik embun saat pagi tiba 
 
 
 
Balutan Tasbih Cinta 
 
Dentum waktu berjalan semestinya
Semesta mengurai kisah pada satu nama 
Dalam diam aku bercerita tentang sosoknya
Mengagumi sang permata jiwa 
Aku menadahkan kerinduan pada setiap doa
Merayu pada sang maha untuk mempersatukan 
Aku akan bertahan dalam kesucian 
Menjemput dikau dalam sepertiga malam 
Menjadi pendamping kalbu 
Meskipun menantimu mencabut ilalang 
Hembusan nafas cinta yang aku desahkan 
selalu abadi dalam balutan tasbih cinta
selamanya bersama sang maha cinta  
 
 
 
Menanti dalam Derita 
 
Tatkala semburat embun menghangati 
Aku terlelap pada bangku penantian suci 
Hadirmu akan obati jiwa lebam ini 
Pelukmu akan merekahkan kedamaian pada hati 
Aku duduk diantara rerimbunan harap sepanjang hari 
Aku mengamati malam yang kian mendekati diri 
Aku tak terhenti untuk menanti 
Tapi kini bungamu sengaja telah kau bagi 
Teganya hatimu mengkhianati 
Kau beri aku sejarah kepedihan penuh misteri 
Padahal kulewatkan malam untuk bergeming menanti 
Pada sajak yang memilukan ini 
Akan kuakhiri penantian dalam derita hati 
 
 
 
Aris Mulyani adalah salah satu mahasiswa di Universitas Negeri Semarang. Dilahirkan di Jepara pada tanggal 21 Mei 1997. Ia mulai hobi menulis dan mencintai sastra ketika duduk di bangku perkuliahan. Beberapa karyanya telah diterbitkan dalam beberapa antologi puisi. Ia berharap bisa terus berkarya untuk negeri. 
 

Terkini