PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Harapan atas Kebanggaan
Matahari terus menunduik kepada awan
Sementara angin mungkin sudah ditendang hujan tadi petang
Langit jadi gelap, dan kami memulai
Katanya demi negara kami di sini
Beradu dandanan siapa yang paling
Nyatanya sekaran kami jadi tontonan
Katanya, itu kebanggaan
Itu kalau mereka bersorak
Penonton jalanan hanya bersorak untuk yang paling
kami memang pemeran pinggiran
Tapi, itu masih suatu kebanggaan
Presiden tak akan mencatat nama kami
Tapi setidaknya Para Pahlawan tak akan cemberut
saat melongok dari langit
Dan kami harus terus
Mengganti wajah penonton dengan layar-layar baru
Wajah penasaran, mengejek, malas
Sampai kaku tangan-kaki ku
Sampai mau remuk tulang-tulangku
Lalu, saat angin terbebas
Awan akhirnya menyingkir, matahari muncul
Untuk pertama kalinya, aku berharap matahari tertidur
Biar awan menjajah, atau kami akan jatuh
Untuk negara
Aku melakukannya atas tanah airku
Dimana orang itu ? yang membawa kertas dan pulpen
Dimana dia ? akan kuseret orang itu untuk melihat kami
Aku sudah tak tahan, kepalaku akan pecah jika begini
Dimana ujungnya ?
Asta selurus Jalan
Tubuh sekaku logam
Kaki kami menghentak dengan kepastian
Atas kebanggaan juga harapan
Di Bawah Gubuk
Hujan kembali turun
Memukul rumput agar menunduk
Begitupun angin,
dia menerjang kejam umbul-umbul jalanan
Padahal umbul-umbul itu sudah menguncup tak berdaya
Apalagi yang diinginkan ?
Matahari kan sudah mengalah
Awan kelabu sudah berkuasa dengan kebesarannya
Kami hanya mendekam di bawah gubuk
Menunggu matahari itu mengambil alih
Para paskibra sampai kedinginan menunggu
Tunggu satu jam, pasti mereka kena pegal linu
Kalau ada Butakala, akan ku minta dia meniup awan
Karena aku kasihan pada bendera
Dia sudah lama terlipat
Keberanian Senja
Bunga telah jatuh
Tertiup angin, terhempas jauh kebarat
Dia pergi menuju matahari yang sudah jingga
Bukankah benar kalau langit akan jadi jingga saat matahari akan terbenam
Atau matahari akan pergi tanpa warisan
Bendera kami masih berkibar gagah
Dan kami tersengal-sengal di bawah
Para paskibra sambai memasang kuda-kuda terkuatnya
Karena bendera kami di terjang kencang Si Bayu Petang
Tapi Pemimpin upacara.......
Dia masih mengerutkan dahi
Kenapa tak segera memberi aba-aba angkat hormat ?
Sebentar lagi matahari terbenam
Anak kami butuh nasi di rumah
Banyak dari kami sudah pergi
Tanpa menunggu penghormatan pada sang saka
Kata mereka, pemimpinnya tertidur
Padahal jelas air matanya melinang
Aku menunggu
Hingga peserta dan matahari akhirnya pulang
Hujan merintik dan angin berganti menghempas si pemimpin
Aku bertanya padanya, apa yang ditunggu ?
Saat itu dia menjawab: Para pahlawan menunggu keberanian kita
Sofi Widya Sari Hidayah, lahir di Nganjuk, 06 Februari 2000. Tinggal disudut kota Nganjuk, tepatnya Desa Sugihwaras, sekarang bersekolah di SMA 1 Prambon. Hobi menulis, melukis dan melamunkan dunia fiksi yang tanpa dinding.