Jika Aku Harus Membaca, Perahu Bangsa, Orang-orang Lapar

Selasa, 30 Agustus 2016 | 06:51:47 WIB
Ilustrasi. (John Michael Byrd/johnmichaelbyrd.tumblr.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Jika Aku Harus Membaca
 
Jika aku harus membaca
Aku akan membaca langit tembaga di utara Barito 
Huruf demi huruf harapan masyarakat  
Menjadi rangkaian  kalimat berduri yang keramat 
Dan airmata tersusun di setiap paragraf 
Ini kitab kematian bersampul emas yang patut dipelajari
 
Aku membaca hutan  
Yang hilang perawan 
Membaca sumber air kehidupan 
Yang penuh bisa mematikan 
Membaca pegunungan 
Yang perlahan jadi mangkuk sarapan 
Membaca ekspansi  perusahaan 
Yang lincah mendirikan kerajaan 
Kerajaan dimana alam jadi altar untuk membangkitkan kekayaan 
 
Aku membaca tanah  bumi Kalimantan  
Di setiap kepedihannya ada kepentingan 
Di Sela-sela daun berguguran muncul tawa yang kejam 
 
Dari lubang-lubang tambang  
Bergentayangan mimpi buruk yang beraneka ragam 
Segolongan orang memakai mahkota bertahta berlian  
Sementara yang lain berselendang kemiskinan
 
Aku membaca sorot –sorot mata kecil yang layu 
Tatkala menatap jembatan rapuh masa depan 
Mereka para generasi tak berdaya 
Jika suatu saat mereka angkat bicara 
Lidah mereka akan jadi kemarau kata 
Kerena segala hal sudah dibeli 
Tak terkecuali kepedihan dan luka mereka pun dibeli!
 
Di bawah langit yang nampaknya sama 
Aku terus membaca 
Terus memahami arti biru bumantara dan hijau belantara  
Sampai kutemukan indahnya dari sepotong cerita 
Tentang kemakmuran dan senyum madu warga pribumi
Tentang sahut kicau burung di pepohonan 
Tentang tarian batang-batang rotan 
Dan tangkai-tangkai padi yang menyimpan impian   
 
Oh Tuhan…
Jika aku harus membaca…
Maka aku tidak akan pernah lupa  
Dan bersaksi kepada semesta 
Betapa mengerikannya taring-taring kekuasaan 
jika menuliskan luka dan air mata 
Betapa sengsaranya  bumi
Bila nafasnya terus  tersedak materi  
 
Oh Tuhan 
Jika aku harus membaca.... 
Kedua bola mataku tak akan pernah buta
Membaca setiap pristiwa 
Menerjemahkan semua lara  
 
Muara Teweh, Kalimantan Tengah 
Juli 2016 
 
 
 
Perahu Bangsa
 
Lihatlah!
Wahai ribuan pasang mata yang nanar  
Kalian masih berdiri di bibir pantai 
Dengan tatapan tajam yang tak sampai 
Jika indah samudra belum dapat dicapai 
Lalu apa artinya ombak perkasa 
Dan angin laut yang berbisa 
 
Kalian perlu perahu! 
Untuk berguru arti ketangguhan 
Mengajarkan Filosofi perjalanan   
Serta memahami gugusan bintang pengetahuan 
Cuaca pun bisa jadi sangat kejam 
Taring-taringnya menjemput saat lautan diam 
 
Kalian tidak butuh kapal pesiar! 
Yang latah berkelakar 
Tentang putri duyung dan istana cinta 
Yang muncul dari balik badai bersahaja 
Menjanjikan mimpi berdebu sepanjang usia 
Bila tiba pudarnya cukup dicuci dengan lupa 
 
Lihatlah! 
Ini hanya perahu sederhana 
Tapi tidak biasa 
Pada layarnya terkembang keikhlasan 
Pada kayuhnya terpancang kegigihan 
Limbubu pun tak mampu melukai 
Raganya siap berlayar 
Menerjang ragu 
Menghempas sesal 
Demi mengantar mimpi dan cita-cita 
Ke pulau-pulau tujuan
 
Wahai para pelaut di bentang harap
Tunggu apalagi untuk bersikap 
Layar telah tersirak 
Arah sudah ditebak 
Maka berlayarlah dengan hormat 
Karena ini adalah perahu yang selamat   
 
Agustus 2016 
Puisi ini didedikasikan untuk perjuangan  para guru di Indonesia 
 
 
 
Orang-orang Lapar 
 
Segenggam nasi hangat 
Segelas teh 
Dan sepotong lauk 
Bercanda meramaikan pikiran 
 
Tangan-tangan kotor 
Tanpa kerja dan penghasilan
Tanpa harapan 
Seolah kalah dari  pertarungan hidup 
Membawa bendera putih yang selalu dikibar
Untuk menyerah pada perut yang diserang lapar
 
Lapar itu pedih 
Lapar itu airmata darah 
Lapar itu tanggung jawab  
Lapar itu melahirkan pikiran hitam 
Lapar juga mengajarkan tajamnya belati 
Dan lapar itu adalah “kemiskinan”
 
Mereka membawa perut yang kosong 
Menyusuri ruas waktu 
Melewati tembok-tembok terjal
Meresapi ketidakadilan 
Menghayati lantunan merdu janji para penguasa  
   
Terkadang merekapun rela meletakkan kehormatan 
Di bawah telapak kaki mereka  
Demi mengharapkan tangan-tangan kebajikan 
Yang menuangkan surga ke dalam gelas mereka 
 
Dari perut yang lapar 
Maka terlahirlah perampokan
Pencurian
Pelecehan 
Pemerkosaan 
Yang berujung pada melepaskan nafas hidup seseorang 
 
Oh..Sungguh Kelaparan Adalah Dongeng menyeramkan negeri ini 
Potret kemiskinan yang kusam
Angkara murka yang diam  
Berita merdu pemikati simpati 
Yang hanya Jadi objek pencitraan 
Bagi orang-orang bertahtakan kepentingan  
Ini bukan semata-mata persoalan Perut  
Tapi adalah persoalan harga diri
Ini bukan hanya urusan sepiring nasi dan sepotong lauk 
Tapi  adalah integrasi dari luka-luka bangsa pasca kemerdekaan
 
Di antara jiwa-jiwa yang berontak 
Dan perut-perut yang berteriak 
Aku hanya bisa berdoa 
Agar kelaparan segera menutup usia 
Ibu hamil melahirkan bayi-bayi yang sehat 
Anak balita tak lagi kekurangan gizi 
Para wanita tidak lagi menjajakan  diri dengan dalih sesuap nasi 
 
Aku berdoa...
Di setiap titik peluh yang panas melintasi impian    
Karena aku adalah salah satu dari mereka
mereka yang perutnya lapar… 
 
Ciputat, Agustus 2016 
 
 
 
Taufik Uzumaky adalah nama pena dari Muhammad Taupik. Lahir pada tanggal 7 September 1989 di Kota Pelaihari, kabupaten Tanah Laut, propinsi Kalimantan Selatan. Tinggal bersama kedua orang tua  di Gang Mesjid At-Taubah Jl. Pasar Lama Kelurahan Belimbing kecamatan Murung Pudak Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, namun saat ini saya sedang berdomisili di asrama Mahasiswa Kalimantan selatan yang terletak di daerah Ciputat untuk meneruskan jenjang pendidikan S2 di Universitas Indraprasta PGRI  jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.  Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ia memilki seorang adik laki-laki yang juga sedang kuliah di Jakarta. Pekerjaannya sebelum berangkat ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikan adalah guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah swasta dan juga instruktur di lembaga kursus Bahasa Inggris. Ia telah mempersunting seorang wanita untuk menjadi pendamping hidup pada tanggal 23 Maret 2014, tepatnya dua tahun silam. Sosok wanita yang selalu siap menemani setiap perjalanan hidupnya. Ia hobi melukis, menulis dan membaca buku. Adapun untuk hobi menulis, ia sudah menerbitkan satu buku yang dicetak oleh penerbit lokal pada tahun 2008 dengan judul “Sajak Perut Bumi” yang berisi antologi Puisi dan cerpen, sementara novel masih dalam tahap penyelesaian. Impian dalam hidupnya adalah menjadi seorang penulis yang produktif dalam melahirkan karya-karya hebat dan inspiratif bagi para pembaca. Memberikan konstribusi kepada dunia kesusasteraan di indonesia, sehingga generasi yang akan datang akan banyak belajar dari buku-buku yang telah ia tulis. Bisa Dihubungi via email: taufikuzumaky@gmail.com 
 

Terkini