Negeri di Atas Daun Talas, Senyuman Pilu, Syair Rindu

Selasa, 30 Agustus 2016 | 03:02:58 WIB
Ilustrasi. (Itaya Lightbourne/fineartamerica.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Negeri di Atas Daun Talas
 
Orang bilang negeriku amat kaya raya
Namun yang kulihat banyak ketimpangan sosial bertaburan
Kata orang negeriku indah dan mempesona
Namun yang kulihat banyak yang mengabaikan barang secuil sampah
Mereka bilang negeriku negeri persatuan
Namun mudah saja mereka terprovokasi kabar burung tak bertuan
 
Ah.. ironi memang..
Di tengah kemegahan kota banyak manusia bergeletak tanpa alas
Di tengah pesona nusantara, pesona sampah bertumpuk pun terlupakan
Dan di tengah deru semangat persatuan justru menjadi gerbang perpecahan
Aku heran, aku resah, aku khawatir..
 
Mereka yang memiliki kuasa tengah berpesta dengan santainya
Mereka membuang perlahan janji dan harapan bangsa yang dipikulnya
Mereka menutupi kebobrokan mereka sendiri
Dan ironinya mereka yang tak bersalah menjadi korban
Bak kambing hitam yang terlihat mencolok di deretan kambing putih
 
Ya, mereka menyerukan keadilan
Tapi justru mereka memperolok keadilan tersebut
“Kalian beri aku dan aku akan beri kalian kembali.” 
Mungkin itu semboyannya kini
 
Ah, sadarkah kalian?
Biar kuperjelas. Kehadiran kalian telah mencoreng kebaikan dari sebagian kalian
Kalian matikan harapan yang dulu kalian hidupkan
Kalian rampas kebahagiaan yang sempat kalian janjikan
Dan kalian lah yang memusnahkan kepercayaan kami
Ya, kami yang dulu memilih dan beramanat untuk kalian.
 
Jakarta, 15 Januari 2016
 
 
 
Senyuman Pilu
 
Hamparan gunung berwarna-warni menghiasi pelataran 
Aroma semerbak yang memenuhi rongga hirup awalnya terasa menyesakkan
Kanan kiri hanya ada hamparan sawah warna-warni
Namun, senyum mereka selalu terkembang
 
Perlahan ku langkahkan kaki menyusuri hutan warna-warni
Hutan yang mereka sebut halaman istana
Perlahan ku lempar pandang menatap sawah berwarna-warni
Sawah yang mereka sebut sumber rejekinya
 
Ah, tak sanggup rasanya aku menatap gunung di belakang mereka
Gunung yang amat kokoh dan berawarna-warni itu
Gunung yang mereka sebut adalah istana
Dimana, harta mereka tersimpan di dalamnya
 
Sesak. Sangat sesak saat melihat senyum mereka yang terkembang
Ikhlas tanpa beban mengais segala rejeki pemberian-Nya
Apalah aku yang hidup dan besar di kota nan megah
Yang tak perlu bersusah payah menahan aroma semerbak gunung berwarna itu
 
Ah, sedih kurasa saat aku harus melihat senyum mereka yang terkembang
Jujur, aku sangat menyukai gunung, sawah dan hutan
Namun, bukan yang seperti itu
Bukan seperti gunung, sawah, dan hutan di sekitar mereka
 
Bukan gunungan sampah yag menjulang tinggi menyentuh langit
Bak tiang-tiang pancang gedung yang menjulang di kota megah
Bukan sawah berbentuk tanaman sampah yang berserakan
Bak benih-benih padi yang menghiasi lahan pertanian negeri
Bukan pula hutan sampah yang menjadi paru-paru oksigen mereka
Bak pohon-pohon penghasil oksigen di kota besar
 
Ah, sesak dada ini
Ketika aku harus melihat senyum ikhlas yang mereka berikan
Sesak dada ini melihat riangnya anak-anak mereka bermain di gunung sampah itu
Semakin sesak ketika melihat mereka yang terbatuk-batuk karena oksigen yang hutan mereka keluarkan
 
Apalah daya yang kupunya?
Aku ingin mengubah gunung itu benar menjadi istana penyimpan harta mereka
Aku ingin menanam benih padi yang benar menjadi sumber rejeki mereka
Dan aku ingin mereka menghirup oksigen yang benar oksigen penyambung kehidupan
 
Sesak, dan semakin sesak
Mereka terlihat kebal tanpa terganggu sedikit pun dengan segala aroma warna-warni 
Mereka amat bahagia jika memetik hasil panen diantara benih-benih yang tersebar di sawah mereka
Amat sesak yang kurasa, hingga air mata ini tak dapat ku tangguhkan di hadapan mereka
 
Depok, 14 Juni 2016
 
 
 
Syair Rindu
 
Gema-gema syair rindu mengudara menyentuh langit
Memanggil setiap jiwa tuk hadirkan rindu yang tersimpan
Meneguhkan setiap hati yang hampir goyah
Melunakkan jiwa yang perlahan membatu
 
Riuh suara kebahagiaan mulai menggema
Mengaung bagai singa yang kelaparan
Lapar akan segala belai kasih sayang
Yang tak akan di dapat jika rindu itu menghilang
 
Perlahan tapi pasti, rindu itu kian menggelora
Memenuhi segala ruang hati yang hampir kosong
Menetapkan iman yang kian memudar
 
Rindu aku padamu 
Rindu aku akan belai kasihmu
Rindu aku akan segala kemuliaanmu
Ah, sungguh aku rindu
 
Rindu kala anak-anak berlarian riang menuju masjid
Rindu kala hati bergidik mendengar suara lantunan ayat-ayat pelipur lara
Rindu kala aku berada di sekeliling orang yang berucap amin yang menggema
 
Menggetarkan setiap jiwa yang mendengar
Menentramkan segala jiwa yang gundah
Membelai lembut setiap jiwa yang kesepian
Kesepian kala rindu itu menghilang
Pergi tanpa meninggalkan jejak kebaikan
 
Sungguh, aku rindu bertemu denganmu
Sungguh, aku sangat merindukanmu
Rindu akan segala gelora yang datang bersama denganmu
Ya Allah, ijinkanlah aku bertemu dengannya kembali
Bertemu ia yang menimbun rindu di setiap jiwa ciptaanMu..
 
Depok, 15 Juni 2016
 
 
 
Rhisma Hilda Prawita, lahir di Jakarta, 17 September 1994. Dapat dihubungi melalui email rhismahilda@gmail.com. Ia pernah menjadi salah satu kontributor dalam beberapa event penulisan antologi puisi.
 

Terkini