Pulang, Buah Dada, Surat Malam, Untuk Teman, Sebuah Persimpangan

Selasa, 30 Agustus 2016 | 02:22:44 WIB
Ilustrasi. (Jack Budika/jackbudika.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Pulang
 
Itu adalah jarak, di mana ribuan rindu berputik dan temu belum juga bertandang 
Di dermaga yang mengepul asap-asap kapal, sajakmu dan sajakku tak kunjung berjumpa
Usia menua, kenangan dan janji mulai pisah
Selir-selir waktu mendatangiku, menandatangani perjanjian lupa
Aku tetap memikirkan pulang.
 
Suratmu merapal doa
Menyemai banyak harapan untuk sabar
Aku tetap mengeja bait-baitnya walau keluh mulai bersarang pada dada
Bosan berkecamuk bagaikan umpatan waktu
Kau dan aku saling merangkul angan
Menghayalkan kebahagiaan 
Menyurati Tuhan dengan jabahan-jabahan salat
Tapi tetap berbuah sabar, meski saban hari doa yang kau lafalkan adalah kerinduan
Benar, aku pasti akan pulang.
 
Padang, 2016
 
 
 
Buah Dada
 
Pada dadamu yang mulai mengendor
Ada dua putik keriput, membuai bagaikan lendir-lendir
Di sana aku pernah bergelayut, menikmati kekenyangan yang membuatmu lelah, sampai dinihari aku tetap berada di sana
Itu benar-benar dada yang tangguh, membesarkan lima anak dengan dua buahnya yang sampai sekarang masih ada.
 
Ini hari yang paling kutakutkan, menahan kepalamu dalam keadaan diam tanpa busana
Gemercik air seakan menghentikan bulir air mata, agar tiada bertambah limpah air di tubuhmu
Sekujur tubuhmu terlihat memesona
Masih mulus dan indah lekuk senyum yang tak bergerak di bibirmu
Nadimu diam, kulihat inci demi inci kulitmu semakiin pucat
Aku terus merapalkan doa, biar tak ada kecewa pada ruhmu.
 
Ini tubuh yang dulu bergelayut pada dua buah dadamu
Menahan kepalamu yang lemah dan menulang
Kau akan tenang di nirwana
Dan kelak kita juga akan bersua, tetap sebagai ibu dan anak.
 
Padang, 2016
 
 
 
Surat Malam
 
Subuh menjenguk, malam yang sunyi terlewatkan bersama keluh
Pada genteng yang masih berbunyi derik langkah kucing, mata enggan terlelap
Suara-suara gema lafalan doa mulai menyelinap ke telinga
Hati berdebar, ada yang menyiksa batin secara diam
Kurangkul asa dengan secerca harapan
Kubayangkan wajah yang menodongkan mata indahnya dalam benak
Rintih merinai pada hati, menahan sebak yang dilamar sesal.
 
Ada setangkai bunga yang sedang merkah, warnanya merona membara jiwa
Melambang sukma, meniti jembatan-jembatan kehidupan pahit
Ini getir petir  seni hidup
Berjalan, menolehlah, kadang yang kau lewatkan adalah takdir sesungguhnya
Karena yang indah belum tentu di depan, mungkin saja berada jauh setelah kau tinggalkan.
 
Padang, 2016
 
 
 
Untuk Teman
 
Sudah puluhan hari kau terapkan dengan naif
Meranumkan siang, membungkus senja dan manaruhnya pada bingkisan kecil untuk malam
Ini adalah hari-hari paling kelam bagi kau dan aku.
 
Dan di kamar telah kutitipkan pandangan pada dinding-dinding sunyi, agar tidak terjaring suasana sunyi lagi
Aku tidak akan memberi kesempatan untuk menyesal
Mengurus kurus, memandang hitam katup mata
Dua bola mata yang mengecil, semakin cekung menikung ke dalam
Tulang-tulang yang dilapisi kulit hanya selimut dekil, lunak tak berdarah
Belajarlah menghitung, karena kita memiliki-Nya.
 
Pada nyamuk dan sapaan cicak beserta suara jangkrik, aku sampaikan risalah ini
Kawan, berhentilah bersedih
Berhenti memikirkan segala hal yang membuat hatimu risau
Hidup teramat pahit untuk diseriuskan
Jadi tertawalah saat kita sedang tidak ingin tertawa
Karena hal itu akan membuat hati selalu tertawa.
 
Padang, 2016
 
 
 
Sebuah Persimpangan
 
Ini malam yang menikung pada kepala yang sedang dirundung duka
Seamar terdengar suara parau orang gila berteriak di persimpangan jalan
Ia meneriaki kehidupan yang jalang, melihat perempuan-perempuan berbusana mewah
Seperti baru saja melarikan pakaian yang belum selesai dijahit
Itu benar orang gila yang selalu berteriak setiap malam pada persimpangan jalan
Suaranya yang mendulang benci membuat sumpah membuatnya pergi.
Itu persimpangan jalan yang dahulu pernah kita lalui
Ketika bajumu yang sobek membuka pintu dingin untuk masuk
Tubuhmu yang lelah merebah ke dada kurusku
Di sana ada getaran yang beda, aku takut kala itu melihat pintu yang membuka dingin masuk
Kau sedang mabuk berat, kulihat noda tuak pada celanamu yang sedikit sobek membuatku bergegas
Kau memelukku, tanganmu yang lelah berusaha merangkul jemari, agar kau tidak terjatuh.
 
Lelaki yang tergeletak di persimpangan bersamamu berteriak 
“Dia kekasihku, jangan bawa ia pergi!”
Aku membawamu dengan harap—cemas
Kau tersenyum dan tetap memelukku
“Sudah aku bilang, kalau pulang jangan dalam keadaan mabuk”
“Aku tetap kekasihmu, meski dalam keadaan begini setiap pulang.”
 
Itu kursi yang selalu kududuki setiap kau pergi dan pulang
Kita pernah bercanda di sana, tiada hari tanpa cinta
Kini menjadi tempat mematungku menunggumu pulang dalam keadaan beragam; bersama lelaki, pacar barumu, dan atasanmu yang memuakkan
Itu persimpangan yang membuatku celaka
Detik ini, sampai esoknya lagi, aku tetap tak mampu berjalan menuju kenangan kita
Kau berjalan semakin deras, laju meninggalkan dan memperlihatkan kekejaman padaku.
 
Padang, 2016
 
 
 
Arif Purnama Putra. Lahir di Surantih Kab. Pesisir Selatan, 25 April 1992. Sekarang masih melanjutkan perkuliahan di salah satu Perguruan tinggi di Padang, Sumatera Barat. Menulis puisi adalah sebuah seni dalam kehidupan, menuliskan potret kehidupan sosial dan diri sendiri.
 

Terkini