Sepasang Lovebird, Di Piket Nol; Antara Malang-Lumajang, dan 3 Puisi Lainnya

Senin, 29 Agustus 2016 | 09:34:46 WIB
Ilustrasi. (Louise Mead/artistsandillustrators.co.uk)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sepasang Lovebird
 
Sepasang mataku jadi saksi
Ulur waktu antara datang dan pergi
Betina-betina dalam sangkar silih berganti
Saling dekap dalam dingin malam sunyi
 
Saat pagi kita sama melihat matahari
Menghangatkan diri dari gelisah buasnya hati
Tak bisa kupilih siapa yang datang menemani
Karena demi secangkir biji aku menyanyi
 
Aku lovebird jantan bersiul panjang
Pertanda kemarau di dadaku terkikis hilang
Kau kepadaku dengan berseri-seri datang
Tanpa kutanya dirimu jalang atau lajang
 
Kutatap kedua matamu sedang bersiul
Isyaratkan senyum paruh yang simpul
Ragamu gembira, entah jiwamu terkapar terpukul-pukul
Denganmu, kejantananku perlahan terasah dari tumpul
 
Kau mendekat ciumi sayap-sayapku
Mengembara dalam hayal yang telah lama beku
Dari angin musim yang mengajariku berburu
Dari untaian-untaian doa yang tak pernah menjadi layu
 
Kau bersiul lagi di malam yang larut
Membangunkanku dari mimpi tuan bermuka kusut
Kita sama-sama resah dan takut
Setelah sekian sabit kita lalui dengan cinta terajut
 
Kita akan bersama dan sangkar ini lusuh warnanya
Aku kan tembung tangan-tangan jahil dan kewaswasannya
Melindungimu dari ujung waktu yang menua
Sampai pada akhirnya
 
Malang, 04 Mei 2016
 
 
 
Di Piket Nol; Antara Malang-Lumajang
 
Perjalanan dimulai dari kangen sulung pada lereng semeru
Sketsa dibalik jendela kamarnya
 
Malang.
Sekencang lesat panah mengejar sore, mobilitas harus patuh isyarat lampu
Saling bincangkan polusi, tapi pasar oligopoli malah kasak-kusuk dengan kolusi
Dari gedung-gedung megah dilewati, sampailah pada dingin hamparan tebu
Tapi kasak-kusuknya masih terasa, tebu jadi gula lalu dimonopoli
 
Wajah kota sudah tak terlihat, tenggelam dibalik rerimbun trambesi
Menyerap gas CO2 dan timbal, berbuah oksigen dimakan usia
Lalu-lalang perawan pulang sekolah, pengeras suara mulai terdengar mengaji
Perkampungan yang belum disulap, jadi surga ataukah pabrik dan plasa
 
Kabut mengendap-ngendap menyergap jiwa, beku
Mendekap erat agar hati-hati, sepanjang jalan pasti ada lubang
Seseorang harus siap pergi, lepas dari ritme masa lalu
Antara miskin-sugih, antara malang-sayang
 
Lumajang.
Kudengar senja kepakkan sayapnya, menabur warna mega
Kamuflase di pertukaran, duduk sebentar antara dua sujud sembahyang
Akal mulai berfirasat-menikung, bagaimana segera keluar dari gulita
Dari Salim Kancil aku berani menyaut, kita masuk Lumajang
 
Masih di aspal jalan Lumajang, kita ambil jalan pintas
Karena terang adalah redup, dan yang paling cahaya adalah mata
Maka jangan lagi heran, sekawanan lebih senang bergelut dalam kriminalitas
Karena hasil bumi dibeli murah, yang paling bahagia adalah mafia
 
Aku mencium sisa longsor, dari kulit dan alis masyarakat
Rekonstruksi sekedar fantasi, rakyat dan wakilnya main monolog di troposfer
Petir badai dan hujan gerilya disini, terjadi sublimasi dan panas mulai merambat
Di hati tetangga tepi kalibesuk, makadam jadi opsi paling primer
 
Kersik-kersik pasir menyemilir di arus, antara Pronojiwo-Candipuro
Traffic sign kubaca satire seperti pamflet, menyeru “Hati-Hati Rawan Longsor”
Jalur evakuasi lereng semeru, uslub meduro ing tanah jowo
Kitapun sampai di ujung eksodus, aku muhajirin rumahmu anshor
 
Perjalanan berakhir dalam cengkrama sulung dan mitos-mitos archapada
Filsafatku menitik di Kerajaan Lamajang.
 
Lumajang, 10 Juni 2016
 
 
 
Aliif Laam Miim Kerapan Sapi
 
Bovidae-bovinae-auerochse-urochse metamorfosis
Al-Baqarah fuslatul quran di tebasan bani israil, mistis
Sisakan hikayat sapi jantan gebel, bengis
Lebih antagonis dari tokoh lliad-homerous, Akhilles
Ditempa Khiron gunung pelion ia putra Thetis
Dekonstruksi troya yang tak sempat menangis
 
Aliif laam miim digagas pangeran katandar, Ahmad Baidawi
Lahir dari rahim kerontang bumi Songennep
Kemakmuran lantas dinanggala oleh dua ekor sapi
Saronen sambung kasih, tari peccot silaturrahmi
 
Awal kisah adalah Podai tanah seleksi
Sapi memang tak disembah tapi wajahnya suci
Persembahan petik laut dalam sesaji
Diasah di kali nenek moyang saban hari
Membasuh dzulqarnain menanti agustus sambil ngaji
 
Merah coklat warna hidup kerapan sapi
Adalah cermin obsidian eksotis kulit petani
Sawah dan ladang digarap tanpa henti
Sepasang sapi mereka jejerkan dalam tradisi 
 
Karena kau sapi lahir dari Madura
Dimandi kembang berhias mahkota
Karena kau sapi pemakan rumput lalang
Lebih makmur dari eksploitir pemuja uang
Sapi-sapi mulai dipacu sampai finish
Tuannya bertepuk gelisah di usia semakin kencang
Sepasang sapi memikul kleles lompati garis
Penunggangnya nak-kanak, ia tahu ia menang
 
Sememjak itu menang-kalah menetaskan air mata
Diantara sapi-sapi merasa tak dapat apa-apa
Nak-kanak tadi hanya diundang jamuan pesta
Esok, matahari dan angin menyapa seperti biasa
 
Sepasang sapi kerap akhirnya berlatih sepanjang musim
Ia berdua ingin menang sendiri tanpa perintah
Sepasang sapi kerap berlari jauh
Jauh tinggalkan sumringah Marlena
Yang mencintai sapi kerapnya, Sakera !
 
Madura, 18 Juni 2016
 
 
 
Tujuh Ode; Jejak Puisi
 
Reruntuhan dan puing-puing puisi tapak tilas
Musnah di gersang paradok antara Mekah-Thaif
Pertemuan pujangga di lobi-lobi ukaz
Jauh sebelum kedua mata masehi berkedip
 
Perjalanan mulai tandus oleh kubur-kubur perawan
Karena betina dipendam tanpa puisi
Filsafat Thales tak dikenal pemuka dan bangsawan
Anak jantan ditempa seperti Akhilles mitos Yunani
 
Matahari mulai terbit berlumur luminositas
Bahr dan qafiyah saut-nyaut menetas
Mula itu syair meranum selama al-kitab belum terdengar tuntas
Amrul Qais menyulam puisi buat Unaizah di degup nafas 
 
Barangkali yaasiin enggan ajari kita menyair
Euforia puisi lalu diratakan bersama patung
Tujuh pujangga telah mati, mungkin lahir
Muallaqat jadi sekedar saksi sepi puisi gantung
Tapi puisi terus ciptakan laghouatnya sendiri
Menggenang di punggung usia dan merah mimpi ari-ari
Katanya mau hidup seribu tahun lagi
 
Malang, 19 Juni 2016
 
 
 
Sehabis Hujan
 
Hujan lepas dari jeruji malam
Memercik beranda jiwa
Rintiknya hapus ingatan kelam
Sayang, hujan tak pernah bertahan lama
 
Cermin di mata mulai ngembun
Sepi karang lautan berombak
Wangi mawar tubuhmu kian meracun
Sayang, duri-duri parasmu terus mengoyak
 
Hujan pulang ke ruang malam
Tak lagi memercik beranda jiwa
Tapi tatap mataku makin tajam
Sayang, keping hatiku di hatimu tambah nyala
 
Malang, 28 Juni 2016
 
 
 
Fajrus Shiddiq, lahir di pedesaan Madura, Sumenep 18 Oktober 1991. Mahasiswa Jurusan Pendidikan S1 Bahasa Arab Universitas Negeri Malang. Puisinya tak jarang dimuat di berbagai antologi Senja Bercerita, Muara Pelangi, dan Pada Batas Tualang. Serta media seperti Zeal, Qalam, BuanaKata, Malang Post, dan KOMUNIKASI. Aktif tulis menulis semenjak masih nyantri di PP. AL-AMIEN PRENDUAN, anggota Sanggar Sastra Al-Amien, Sanggar Cakram, dan anggota redaksi majalah berbahasa inggris ZEAL. Saat ini menggeluti seni teater bersama Sanggar Seni & Budaya Al-Karomi UM (Teater Bahasa Arab), dan Perguruan Seni Beladiri Indonesia TAPAK SUCI.
 

Terkini