Badut Paling Bijaksana, Kepada Tuan Penjaja Koran, Akulah Bujang Itu

Senin, 29 Agustus 2016 | 09:16:39 WIB
Ilustrasi. (Hobo/pinterest.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Badut Paling Bijaksana
: Socrates
 
kau memancing perdebatan pagi yang sekali lagi, membingungkan:
“athena ialah arena sirkus yang terlalu lama dibiarkan sepi. jika begini, orang-orang 
akan terus menafi bagaimana mereka terlahir. mereka tak paham bahwa hidup 
sesungguhnya permainan-permainan culas, yang nyaris sempurna,” katamu.
kalaulah pagi itu tak kausakiti jua hati aristhopanes, 
barangkali para sophis tak pernah punya cukup kuasa untuk melawanmu. 
tetapi lihatlah, kawan. kuil parthenon, darah perawan,
bahkan sang athene, tak mampu melindungimu dari racun cemara. 
dapat kubayangkan betapa bersukacitanya orang-orang dungu itu
dari pembacaanku terhadap buku-buku sejarah yang meriwayatkanmu
sebagai badut suci yang paling bijaksana.
 
Pekanbaru-Teluk Kuantan, 2016
 
*) Terinspirasi setelah  pembacaan terhadap buku berjudul “Dunia Sophie” karya Jostein Gaarder.
 
 
Kepada Tuan Penjaja Koran
 
tak ada nuansa baru dari koran hari minggu 
yang kautawarkan itu. bagiku, kau hanya sedang memelas 
sambil mendendangkan lagu-lagu satir.
tahulah aku apa yang sebenarnya sedang singgah di batas ingatan 
orang-orang. dikatakan tak di mata, namun kau berjiwa.
dianggap tak di masa, namun kau sanggup dibilang usia.
kuduga, walau rusak tubuhmu, pantang 
kau diam. seperti tak dapat mati saja kau
oleh langit yang menyala. lantas, berhentilah berpadah.
kemarilah. biar kubisikkan kepadamu sebuah 
rahasia, wahai tuan penjaja koran yang mulia; orang-orang 
tak akan bahagia oleh berita provokasi
maupun setumpuk puisi basi!
 
Teluk Kuantan, 2016
 
 
 
Akulah Bujang Itu
 
akulah bujang itu:
sekerat kayu malang yang kau buang ke dalam perapian
 
ini malam menggigil yang lacur. sayu matamu 
memandang sekejap. entah kepadaku, entah kepada tunak api,
entah kepada tahun-tahun teruna yang seakan berlalu tanpa definisi
 
aku benar  kau bikin sekarat
siluetmu yang sunyi melamur
terasa getir di dada saat meningkahi dua belas kali dentang jam dinding tua kesayanganmu
 
sungguh, andaipun pada akhirnya habis masaku sebelum pagi,
setidaknya, singkapkan dahulu kepadaku perihal ke mana halanya perih badan
serta wasilah yang kaupadankan demi kasih semalam
yang kau pinang dengan beku tubuhmu
 
kau gigil lagi saat aku seonggok arang,
“ini malam penghabisan,” rintihmu sembari memandang 
hamparan langit berlanskapkan sebuah wajah musim dingin yang hambar dari tepian jendela
 
lekas jemarimu yang mungil itu membuang potongan kayu terakhir. berharap
nyala api jadi lebih panas daripada neraka. hingga purna segalanya sebagai abu: 
dan akulah bujang itu.
 
Pekanbaru-Teluk Kuantan, 2016
 
 
 
 
Ardilo Indragita, lahir di Pulau Kedundung, Teluk Kuantan. Mendalami puisi sejak akhir 2015.  Tahun ini, telah menjuarai tiga perlombaan di bidang menulis tingkat nasional. Karya-karyanya terbit di beberapa antologi dan media lokal. Bergiat di FLP Pekanbaru. Sedang menimba ilmu di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UR. 
 

Terkini