Jakarta of Mind, Bantal di Atas Daun, Bye… Bye… Bulan

Senin, 29 Agustus 2016 | 08:01:31 WIB
Ilustrasi. (Dora Mandragora/absolutearts.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Jakarta of Mind
 
Beranda tidak lagi kosong, setidaknya pikiranku bicara
Bergemuruh bayu memecahkan kesunyian tidak hanya malam merejang dingin
Atapkuun hanya air sesaat kusadari selebihnya mungkin terbawa ilusi entah hinggap menjadi delusi bisakah terjadi
Beku keujung cair
Terdonggak wajah berseri sukma menatap persada nusantara
Tanpa sangka
Tidak kuhitung ribuan purnama yang terlewati
Labirinpun tidak lagi beku
Pun tidak sehangat matahari yang memerah saga diujung senja
Beriak beranda tergeliak oleh angina
Mungkin aku hawa
Perempuan biasa tanpa sangka sakwa
Sedang tidak bertelanjang kaki pun sendiri
Kucumbu atap airku dengan syahdu
Kuremas beranda anginku dan jangan tinggalkan aku 
Meski suyinnya aku dlam atap air dan beranda angina ku akan berpulang suatu waktu nanti
Sendiri dalam  Jakarta of mind
Kuhempaskan ketelanjanganku pada bantal diatas dun berguguran menghisap barat dan timur dalam satu rengkuhan
 
Beranda tak lagi ksoong agaknya
Jakarta Of Mind tersadar hatiku untuknya berkibar laksana megahnya bendera di dada
Gugusan karang memacu jantungku berdebar kencang
Memaksaku berciuman dengan badai pasir
Terhenyak pada guratan lafal pencipta jagat
Akh..aku dengan apalag aku
Berjakarta of mind kesendirian yang tidak sunyi
Atapkupun air merasuk  helai rambut tidak tak menyentuh kutikula
Gunungpun adakalanya hanya muda mudi dan berusia remaja yang menanjakinya
Sebagian mereka mungkin munafik dengan akreditasi dan coumlaude atau sebagian dari mereka munafik dengan the eks tongkrongan GUA behind the desk belajar alih bahasa yang sedang membumi dan membudaya entah
Kusadar Riau bukan of my mind dalam hitungan jadilah jadi meski serupa dengan Jakarta of mind cinta semalam bak jajanan pingir jalan
Terkadang bertelanjang tangan bahkan barang  bersarung tangan lateks dengan bandrol kekasih gelap tersayang dalam hitungan jam
Riau bukan Jakarta of mind hanya dalam bayangan
Jakarta of mind dalam realita nyata VAN the Pinggir Ratan Gede ala Kolonial terjajakan dirinyaaku berdiri.
 
Beberapa dari mereka berlari mengejar mimpi
Aku hanya berjalan kaki tidak tertatih meraih diri dengan bandrol harga yang tidak pasti
Diiringi sarung lateks diujung gang-gang penuh dengan aroma hidup dan berkehidupan
Diiringi derab abdi abdi setia hitunagn pengsiun dipercepat atau diberhentikan dengan tidak hormat yang berkemanusiaan dan manusia
Jakarta of mind dalam hitungan Van the pinggir rattan gede kudekap
Aku terduduk, berdiri, bicara dan melangkah pasti
 
Jakarta-Depok
 
 
 
Bantal di Atas Daun
 
Perjaka berlarian menuju bukit yang  teduh
Kurang sadar itu gunung atau bukit atau sekedar tanjakan lonjong berbentuk piramida yang jelas mereka sebagian berlari,berjalan dan bersitepuh antara lemas dan manja kurang juga kusadari tapi mereka ada
Tertengadah menatap senja yang merayap
Byar perjaka berjalan melenggang malam menghinggap dalam basah bakal kehidupan
Sebagian masih berlafal keyakinan
Bertunduk dan sitepuh pada mantra mantra yang maha hidup dan kehidupan
Sebagian lajang tak perjaka
Sebagian tua masih lajang namun tak perjaka
Sebagian lelaki selembut sutra tidak lajang bahkan jauh dari kesan perjaka
Aku seorang Abdi?akh..akh…apalah aku Abdinya diri sakaning Aji
Berkibar tangguh ikrar di dadaku
Antara malam terpedar pagi
Embun berganti dengan matahari menyelusup tepat ditaas kepalaku menyadarkanku aku bagian dari bahu-bahu perkasa yang tegak berkarang
Mereka lajang mencari sesuap nasi
Mereka tua masih lajang namun tak perjka mencari sesuap nasi
Mereka lelaki selembut sutra  mencari sesuap nasi
Dari pagi hingga pagi lagi berulang dalam hitungan waktu yang pasti
Sesuap nasi dan surge dunia dalam tegaknya selangkangan Abdi tegak perkasa 
Sebagian dari mereka masih melafal  sang pemilik jagad
Tangan besiharap gumpalan daun berhamburan tanpa henti
Bantal tak bertuan berhamburan di atas daun
Terlentang
Masih berbaur lafal doa. Menjemput fajar berganti surga
Abdi-ku berdiri memandang tidak nelangsa sedikit tergoda meski bahu kami ringih tapi kamu sadar kami  manusia dan menikmati-nya.
 
 
 
Bye… Bye… Bulan
 
Sepengal diawal bulan
Menyeruak hitam  ternyata kabut gelap agaknya emndung mengelayut manja tak jua beranjak
Beajar dari genangan air tanpa batas yang memebku dan menetes beriringan
Tetap saja bulan tak bicara
Meski aku meraba dalam aksara romawi
Ternyata waktu tidak lagi berdetak sendiri seiring  kuda kuda baja dan kereta baja yang berhamburan dengan dan tanpa meteran kebanyakan mereka menggunakan perangkat kelas tinggi ternyata
Mbuh dan membingungkan
Namakupun dibuat sangat sederhana Cuma perempuan
Semua orang bersitatap menghujam
Semua orang seakan ingin disenangkan
Aku Cuma belajar di universitas alphabeta 
Dengan perangkat kepribadian yang nomor wahit hingga bicarapun kadang ku sendiri dan pribadi
Pekik merdeka hamper terjelang
Dan aku telanjang tanpa sehelai benang dalam buaian malam hingga terjelang kembali dalam hitungan jam berganti menit hingga detik
Namun bulan menghilang tak kunjung datang
Atau entah malas dan malu bercengrama meski tidak tujuh hari tujuh malam 
Bye… Bye.. Bulan kemana kucari
Atau kau  memang tak ingin   bercengkrama kembali?
 
11.29PM
 
 
 
Titis Ilin FWH. SH, biasa dipanggil Meidy Ayu. Lahir di Surabaya 9 april 1977. Menetap di Jl manga besar XIII rt 02 rw 02 Mangga Manga Dua SLT.Jakarta Pusat. E-mail: Me1dy_ayu@yahoo.com FB: Meidy4yu@gmail.com
 

Terkini