Negeriku Masih Terluka, Cerita si Jono, Selalu Merindu

Sabtu, 27 Agustus 2016 | 00:17:48 WIB
Ilustrasi. (Trine Meyer Vogsland/dailypainters.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Negeriku Masih Terluka
 
Sadar esok negeriku mengenang luka
Luka akan peluh pejuang negeri di surgawi
Ya negeriku pernah jadi surgawi bagi dia
Mereka tentu dia yang pura-pura senyum lalu menghujam rudal
 
Sadar esok negeriku mengenang perih
Terbayang jutaan tubuh telanjang tanpa ruh
Ulah kebengisan manusia tanpa celah
Memelas, merayu, merampas dan membunuh
Laiknya akasa tak  berucap
 
Merpati kala menangis memeluk garuda di pertiwi
Pertanda negeri ini pernah terluka dan lama menjerit
Dalam batas yang tak pernah tersirat
Bercumbu rayuan malaikat maut
 
Oh Tuhan darah telah mengering
Senjata berpeluh tontonan pemuda kekinian
 
Oh Tuhan duka telah berpulang
Wasiat gatotkaca terpajang di sebuah kaca
Jadi kenangan generasi pelupa
 
Oh Tuhan negeriku tetaplah bertahan bersama luka
 
Kekinian
Malas malasan
Takut lapar
Terpedaya nafsu
 
Menggerogoti anak pinak kaki muda kami
Lalu menjajah bangsa perlahan
Tanpa sadar semua telah lenyap bersama senyap
 
 
 
Cerita si Jono
 
Jono sedang gundah, handphone baru pasalnya
Pose di atas bantal pengap jadi sandaran
Kaca bening di layar tak buatnya silau
Padahal semalam sempat galau
 
Jono tak hanya hobi selfie dengan pede
Tapi juga melihat berita yang serba kece
Dari politik sampai kriminal ia bace
 
Aliran darah jono mendadak menguat
Ibarat listrik sudah lima puluh watt
Melihat kasus korupsi orang hebat
 
Celana boksernya semakin sempit
Bukan dikira mau orgasme
Jono marah dianggap apatis
 
Ditekan tuts layar sentuh sekuatnya
Caci maki dan umpatan dilontarkan
Bukti aspirasi tak padam biar kekinian
 
Seminggu sudah Jono mengumpat
Saban hari tulis aspirasi di kolom berita
 lupa cacing mulai mengeluh
 
Jono lupa makan dan minum
Tubuhnya kian kurus
Seakan tak terurus
Jadi bulian si tikus
 
Jono kian kusut
Sampai naik motor ngebut
Tanpa helm dan surat 
Bikin polisi cenat cenut
 
Jono bukanlahlah seorang penakut
Setiap cerita di koran selalu diturut
Hanya saja ia bukan pria penurut
 
 
 
Selalu Merindu
 
Teruntuk namamu bertahta embun
Ragaku rapuh dalam rimbun
Menunggu ragamu menyulam rindu
 
Teruntuk sukmamu mendayu mawar
Dari rasa yang tak pernah tawar
Menggema di kuningnya rimbun bambu
 
Teruntuk ayumu merona pelangi
Rasa hati enggan lagi berbagi
Di lamunan ombak biru
 
Teruntuk jemarimu menghapus perih
Ijinkanku kecup bibirmu lirih
Seakan dirimulah  ratu derkuku
 
Teruntuk langkahmu terpancar tegap
Denganmu dunia  serasa lengkap
Bagai kupu di lembayung ungu
 
Teruntuk bayangmu menutup mentari
Percayalah jantungku selalu menari
Bak Merpati tersenyum di pohon duku
 
 
 
Heri Prihartono, lahir di Trenggalek 5 September 1990, kemudian dibesarkan di kawasan Transmigrasi Desa Kehidupan Baru, Kecamatan Maro Sebo Ilir, Kabupaten Batanghari. Di kawasan Transmigrasi tersebut penulis menempuh pendidikan mulai dari TK hingga SMP. Kemudian pada 2006 hingga 2009 melanjutkan pendidikan di MAN I Tulungagung Jawa Timur. Penulis menempuh pendidikan lanjutan di FKIP, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Lampung pada 2009 hingga 2013. Pengalaman kerja, penulis pernah mengajar di SMKN 3 Batanghari dan hingga saat ini menjadi jurnalis di harian pagi Tribun Jambi. Penulis juga pernah mengirimkan tulisan satu diantaranya di Komunitas Litera Trenggalek Jawa Timur yang dibukukan. Penulis aktif dihubungi melalui email heriwrt@gmail.com
 

 

Terkini