Sekadar Fatamorgana, Negeri Tanpa Celah, dan 3 Puisi Lainnya

Jumat, 26 Agustus 2016 | 07:40:39 WIB
Ilustrasi. (Steph Gimson/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sekadar Fatamorgana
 
Aku…
Memikirkannya membuatku bersemu
Bagaikan ratu yang sedang dicumbu
Termakan rayu hingga candu
Menyimpan tanya yang tak perlu
Hingga akhirnya tersadar diri ini rapuh
 
Rindu…
Dalam diam ia bertamu
Berlari-lari dalam ikatan waktu
Membawa tangisan pilu
Datang membujuk sambil merayu
Hingga akhirnya aku terbungkus haru
 
Dia…
Satu kata penuh makna
Memiliki banyak rahasia tanpa tanda
Tersimpan jawaban menusuk sukma
Menciptakan suka dalam duka
Hingga akhirnya hilang ditelan asa
 
Aku rindu dia…aku rindu dia…
Ah aku kembali gila
Tenggelam dalam nostalgia
Terjebak dalam lubang yang sama
Bahkan lebih jauh dalamnya
Oh ! Ini tidak nyata !
 
Pekanbaru, 2016
 
 
 
Negeri Tanpa Celah
 
Aku pergi ke barat
Ia menghampiri, “Sudah tidak ada celah!”
Aku pergi ke timur
Ia menghampiri, “Sudah tidak ada celah!”
Aku pergi ke utara bahkan selatan
Ia tetap menghampiri, “Sudah tidak ada celah!”
Aku pergi dari Januari hingga Juni
Ia masih menghampiri, “Sudah tidak ada celah!”
Aku pergi dari Juli hingga Desember
Ia tak henti menghampiri, “Sudah tidak ada celah!”
Lalu aku berhenti di ujung asa
Mulai menggali pintu alam barzakh
Negeri ini penuh dengan orang-orang kelaparan pikirku
 
Pekanbaru, 2016
 
 
 
Tangisan di Tengah Dunia
 
Ia bak gadis bergaun hitam
Berjalan dalam cekaman malam
Menari-nari menggetarkan hati
Menggelapkan batin sang priayi
 
Ia begitu indah namun kelam di jiwa
Mengukir kebahagian semu sementara
Lihatlah bagaimana tangan-tangan mereka menjamah tubuhnya
Tangan-tangan kehausan dan gila harta
Merampas segala yang tersemat padanya
 
Ingin meronta namun diri tiada daya
Telinga mereka tuli mata mereka buta
Mulut mereka bisu hati mereka batu
Hanya bisa bersembunyi dalam balutan waktu
 
Lihatlah darah yang mengering kembali membasah
Menyisakan luka mencabik cakrawala
Hanya satu pesannya di mega
Hei dik! Tutuplah diriku dengan ilmumu
Bersihkan kembali namaku
 
Pekanbaru, 2016
 
 
 
Pojok Kesenduan
 
Kata orang aku durhaka
Bagiku tidak ada yang salah
Kataku mereka adalah malaikat dunia
Ibu tetap cantik walau bukan Athena
Ayah tetap tampan walau bukan Sulaiman
Ibu tetap manis walau batin menangis
Ayah tetap ramah walau hati susah
Ibu tetap muda walau dimakan usia
Ayah tetap gagah walau mulai renta
Ibu tetap tabah walau terkadang merana
Ayah tetap gigih walau badannya ringkih
Ibu tetap sabar walau ia gentar
Ayah tetap tegar walau ia gemetar
Ibu tetap berdoa walau kami durhaka
Ayah tetap kepala walau kami durjana
Ibu bagaikan mawar merekah
Ayah bagaikan petir di jagat raya
 
Kataku pula aku ingin mereka membeku
Bukan maksud aku ingin mengutuk ayah ibu
Hanya saja aku ingin melihat mereka tetap seperti itu
Tidak dibawa waktu hingga menjadi bayang-bayang semu
 
Pekanbaru, 2016
 
 
 
Tanpa Babibu
 
Tanpa babibu
Kayu menjadi susu
Tanpa babibu
Warna menjadi asa
Tanpa babibu
Waktu menjadi pintu
Tanpa babibu
Dunia menjadi surga
Tanpa babibu
Kan kuberikan nyawa !
 
Pekanbaru, 2016
 
 
 
Astri Agnisa. Lahir 24 Agustus 1997 di Pekanbaru. Menyukai sastra dan memutuskan untuk mencoba menulis kembali. Saat ini sedang berkuliah di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UR.
 

Terkini