Kenangan Indah Terbakar Cemburu

Ahad, 21 Agustus 2016 | 15:38:15 WIB
Ilustrasi. (Caroline Vis/saatchiart.com)
SESUATU yang dingin menusuk ulu hati. Saya merasakan kesepian yang mengigit dan ketidakberdayaan yang menggelisahkan. Jantung saya selalu berdebar dan sepertinya kilat baru saja menyambar kepala saya serta menghancurkan segala isinya. Saya tidak bisa berpikir jernih lagi.
 
Saya duduk di tepi malam sambil menikmati secangkir kopi dan ditemani bulan sabit yang cantik. Kopi yang manis karena ditambah sedikit kenangan. Sepahit apa pun kopi itu akan terasa enak jika dinikmati dengan beberapa keping kenangan yang manis. 
 
Wangi embun meruap melalui pucuk-pucuk daun.
 
Kenangan adalah sesuatu yang senantiasa bergelora di dalam dada. Ada kenikmatan tersendiri jika mengorek-ngorek isi kenangan. Saya berusaha mengorek kenangan, mungkin ada hal indah yang terkubur di dalam sana.
 
***
 
Beberapa menit yang lalu, saya merasa ada suara yang memanggil-manggil saya. Saat saya sedang mengetik tugas, tiba-tiba seseorang menepuk bahu saya dan menyentuh pipi saya. Saya merasakannya dan saya mengenal suara itu. Saya mengenal tangannya yang lembut dan aroma tubuhnya yang wangi.
 
Saya terbuai dan berusaha menutup mata dengan lembut. Tetapi tiba-tiba semua itu hilang. Hilang dalam sekejap. 
 
Ketika saya membuka mata, suara itu lenyap ditelan suara jari-jari saya yang bermain di atas laptop. Sentuhan yang lembut itu tertelan bayangan tubuh saya. 
 
Saya berusaha mencarinya. Mencari kemana ia bersembunyi. Mencari pemilik suara yang lembut dan tangan yang halus tapi saya tidak mendapatkan apa-apa.
 
Saya kemudian bangkit dan mencarinya sekeliling kamar. Saya menyisir segala ruangan. Mungkin dia sedang bersembunyi. Saya pergi ke kamar mandi, ke dapur dan segala tempat yang mampu saya jangkau tetapi tidak ada. 
 
Suara itu tidak ada dan wangi tubuh itu tidak dapat tercium lagi. 
 
Akhirnya saya sadar bahwa bayang-bayang itu selalu menghantui saya. Sesungguhnya ia sudah meninggalkan saya dalam waktu yang lama. Sejak rasa cemburu itu menyala-nyala dan meledak di dalam dada. Saat mata itu tak lagi memandang saya dan saat bibir tak mampu mengucapkan kata-kata manis. Kata-kata manis seketika berubah menjadi racun yang mampu membunuh. 
 
Tak ada kata cinta, hanya cacian yang melayang-layang.
 
Sejak saat itu kami memutuskan untuk saling melepaskan. Saat bibir kami tak mampu bersentuhan dengan manja dan saat mata kami saling memandang dengan kebencian yang berkobar-kobar. Tetapi banyangan itu selalu menganggu saya. Sentuhan yang lembut, suara yang merdu dan lesung pipi yang manis. Saya selalu mengenangnya. Rambut yang indah dan alis mata yang teratur. 
Sepertinya ia baru saja menghampiri saya dan menyentuh pipi saya dengan sentuhan yang lembut. Saya berusaha mencarinya tapi tak ada. 
 
Itu hanyalah bayangan.
 
Akhirnya saya merasakan kesepian yang mengigit dan ketidakberdayaan yang menggelisahkan. Sesuatu yang dingin menusuk ulu hati. Saya kemudian membuat secangkir kopi dan menikmatinya di tepi malam ditemani bulan sabit yang cantik. 
 
Kenangan ini sungguh tak bertepi. Saya berusaha mencari ujungnya tetapi tidak ada. Ia seperti sebuah lingkaran yang tidak berujung.
 
***
 
Kami bertemu beberapa tahun yang lalu. Pada sebuah pesta kenduri yang diselenggarakan di kampung kami. Waktu itu dia adalah seorang gadis yang sangart cantik. Matanya indah dan senyuman yang mekar di bibirnya sangatlah menawan. Ia selalu berjalan dengan lembut dan anggun.
 
Mengingat kembali kenangan indah bersamanya adalah sesuatu yang manis. Saya selalu berpikir untuk kembali ke masa itu di mana cinta bersemi dan mekar bunga-bunga yang tumbuh di dalam dada. Tapi apa daya, saya tak bisa kembali ke masa lalu. Waktu tak bisa diputar kembali. 
 
Saya tak bisa kembali ke masa lalu di mana segala cinta dan ingatan berlalu tanpa ragu. Tetapi paling tidak saya mampu menghidupkan kenangan. Kenangan adalah sesuatu yang indah di mana gelora di dalam dada selalu membara jika saya mengingatnya. 
 
Cinta itu tumbuh dan mekar ketika kami saling memandang. Dari pandangan itulah saya bertekad untuk mengenalnya lebih dalam dan masuk ke dalam kehidupannya yang begitu indah. 
 
Saya yakin kalau kami mempunyai rasa yang sama karena mata kami selalu saling menangkap. Mata adalah jendela hati, oleh karena itu mata tidak bohong. Saat saya melihatnya, dia tersipu malu dan mulai salah tingkah. Itulah awal di mana kami mulai merasa saling suka.
 
Sejak saat itu kami memutuskan untuk bersama. Kata-kata cinta selalu terlontar dari bibir kami. Banyak rayuan gombal yang kami lemparkan satu sama lain. Bahkan perasaan itu terkadang memampukan saya untuk melakukan hal-hal bodoh yang sulit dipikirkan. Wajah dan senyumannya selalu terbayang di dalam pikiran saya. 
 
Cinta itu membuat saya mau gila rasanya.
 
Masih segar dalam ingatan saya tentang semua kenangan yang kami lalui. Sejak kami memutuskan untuk bersama, maka segala waktu kami lalui secara bersama. Terkadang kebersamaan itu dilewatkan melalui pesan-pesan singkat yang kami kirim melalui Ponsel. 
 
Kami berusaha berdamai dengan waktu agar kebersamaan itu semakin indah. 
 
Segala sesuatu kami lakukan secara bersama. Entah pergi ke pesta, berbelanja, mengikuti perayaan ekaristi dan banyak hal lain yang dilakukan bersama. Dia sering mengunjungi rumah dan membuatkan kopi. Mengelus pipi dan terkadang memberikan ciuman yang lembut di bibir. 
 
Menyenangkan, bukan? 
 
Kalau kenangan itu adalah sebuah makanan, saya yakin itu adalah makanan yang paling manis dan paling enak di dunia. Untung saja bukan buah. Tapi sayang, terkadang kenangan itu selalu menikam dada. Ia selalu menusuk jantung dan hati sehingga saya selalu berdebar-debar.
 
***
 
Tidak selamanya cinta itu berbuah manis. Terkadang ia sangat pahit bahkan lebih dari empedu. Jika cinta menjadi luka, maka ia akan menjelma menjadi racun yang sangat mematikan dan tak  mampu tersembuhkan. 
 
Akhirnya saya percaya bahwa cara yang paling ampuh untuk bunuh diri adalah jatuh cinta. Cinta memampukan kita untuk melakukan segala hal. Bahkan melakukan hal yang bodoh dan jahat sekali pun.
 
Ketika cinta itu sedang bersemi indah di dalam dada, sesuatu yang buruk terjadi di antara kami. Musim seolah terbakar dan cinta itu hangus tak berbekas. Sejak saat itu saya memutuskan untuk menanam segala perasaan dalam luka yang lahir dari guguran cinta di hatinya.
 
Saya laksana kemarau yang menantikan hujan cintanya, tetapi tak sedikit pun tetes-tetes cinta itu membasahi dada saya. Bunga-bunga yang mekar di dalam dada akhirnya layu, berguguran dan mati secara perlahan. Dia seolah sedang menebarkan racun di dalam dada.
 
“Ulu, sesungguhnya tidak ada hubungan apa-apa antara saya dan Manek. Kami hanya berteman. Memang ayah menjodohkan kami tetapi saya tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap dia. Dia hanya sebatas teman. Terkadang dia seperti seorang kakak bagi saya.” Rosa berusaha menjelaskan kepada saya mengenai hubungannya dengan Manek.
 
Manek adalah seorang pria yang dijodohkan dengan Rosa. Awalnya saya percaya dengan apa yang dikatakan Rosa. Saya yakin karena hubungan yang kami rajut sudah begitu lama. Hampir seluruh jiwa kami sudah tertukar. Saya percaya bahwa dia adalah wanita yang ditakdirkan untuk menjadi milik saya dan wanita yang akan menjadi masa depan bagi saya dan anak-anak kami.
 
Tetapi kepercayaan itu sia-sia. Seandainya waktu itu saya bisa menghentikan detak jantung saya, maka itu sudah saya lakukan. 
 
Tiba-tiba tubuh saya kaku dan beku. Bibir saya kelu dan mata saya seolah mau melompat keluar dari sarangnyaketika melihat sebuah malapetaka besar yang terjadi pada waktu itu. Saya tak bisa bergerak dan seolah tak bisa bernapas. Hanya jantung saja yang mampu berdetak. Detakannya sangat kencang. Semua urat tubuh saya mengejang. Saya seperti disetrum dan hanya bisa mendengar detakan jantung. 
 
Dari cela daun, saya melihat Rosa bercumbu mesra dengan Manek.
 
Seketika cinta yang saya miliki berubah menjadi luka yang tak mampu tersembuhkan. Cinta itu menjelma menjadi racun yang menjalar ke seluruh tubuh seperti rumput di tepian sungai. Ia begitu cepat merambat ke seluruh tubuh. 
 
Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkannya dan pergi membakar semua kenangan indah yang kami miliki. 
 
Saya berusaha menghapus semua jejak yang telah kami lalui bersama.
 
***
 
Setiap kali memasuki rumah, rindu dan aroma tubuhnya tercecer di setiap sudut. Dirinya seolah mengepung segala ingatan. Tembok yang basah menceritakan banyak rahasia yang kami susun bersama. Ada aroma tubuhnya yang senantiasa meruap, kerutan di keningnya,keringat yang membasahi pipinya dan hangat tubuhnya saat saya memeluknya di ruangan ini. 
 
Seperti rumput kering yang membiarkan dirinya terbakar, saya pun membiarkan semua kenangan indah terbakar di ruangan yang pengap ini hingga tak berbekas.
 
Sejak saat itu, tak seorang pun mempedulikan saya dalam perjalanan ingatan saya menuju kematian. 
 
Saya cemburu. 
 
Setiap mengingat dirinya, amarah itu menyala-nyala di dalam dada. Ia merontak dan hendak menyemburkan dirinya ke luar melalui pori-pori tubuh. Segala urat saya selalu menegang. 
 
Saya memutuskan untuk memusnahkan segala kenangan itu hingga tak berbekas.
 
“Apakah kau mencintai saya?” Saya berkata kepadanya di sudut ruangan pada sebuah pertemuan kecil yang kami atur sebelum memutuskan untuk saling melepaskan dengan sungguh-sungguh.
 
“Cinta saya kepadamu begitu kuat Ulu. Saya tak mampu mengartikan cinta ini seperti apa.” Rosa tetap berusaha meyakinkan saya.
 
“Bagaimana dengan Manek? Bagaimana dengan perjodohan yang sudah diatur oleh ayahmu?”
 
“Dia hanya sebatas teman bagi saya. Tidak lebih. Saya tidak mencintainya seperti saya mencintaimu Ulu. Saya akan meyakinkan ayah untuk membatalkan semua rencananya.”
 
Kemudian kami saling memeluk, berciuman dengan manja dan saling merasakan kenikmatan yang keluar dari tubuh kami. 
 
Ini adalah kenangan terindah. Saya berusaha memusnahkan kenangan ini hingga tak berbekas. Saya tidak mau kalau rindu ini menggunung. Saya tidak mau kalau kenangan itu terus berputar di kepala saya. 
 
Akhirnya saya mengeluarkan belati yang saya sembunyikan di pinggang. 
 
Saat kami berada dalam pelukan dan ciuman yang hangat, dengan diam-diam saya mengarahkan belati itu ke pundaknya dan akhirnya menusukkan belati itu hingga menembusi jantungnya. 
 
Seketika tubuhnya gemetar dan kejang-kejang. Tubuhnya memuncratkan cairan segar berwarna merah dan berbau amis. 
 
Darah meleleh di lantai dan mengenai tubuh saya. 
 
Akhirnya saya menghapus semua kenangan indah bersamanya. Saya pun tak tahu apa yang terjadi kemudian setelah saya membaringkan tubuh indahnya dan membaringkan diri di samping tubuhnya. 
 
Saat berbaring disampingnya, saya mengangkat belati itu kemudian menikamnya ke dalam dada tepat di jantung. 
 
Seketika semuanya gelap dan pengap. 
 
Saya akhirnya muncul di dunia lain yang sangat mengerikan.
 
 
Unit Hebron, 4 Maret 2016: Orang yang Paling Jujur adalah Orang yang Patah Hati! Tuhan itu Dekat dengan Orang yang Patah Hati. Putus Cinta itu Sama Halnya dengan Insomia. Tak Bisa Tidur Semalam Suntuk.
 
 
 
Roger Sarin Mau adalah alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang. Pernah meraih Juara I lomba deklamasi puisi PISMA UNWIRA 2012, masuk dalam 10 besar lomba menulis cerpen antar dosen dan mahasiswa dalam rangka memperingati hari anti narkoba sedunia (Juni 2015), diundang ke Bali untuk mengikuti Workshop menulis cerpen Kompas 2015 wilayah penyelenggaraan di Bali (Mei 2015) dan diundang ke Ende untuk mengikuti Temu II Sastrawan NTT (Oktober 2015). Tergabung dalam Antologi Stop Narkoba : Mari Berkarya! (penerbit Deepublish) dan Antologi Sastrawan NTT: Cerita dari Selat Gonsalu (Kantor Pusat Bahasa NTT). Fb: Michael Roger.
 

Terkini