Kata Nay

Ahad, 21 Agustus 2016 | 15:17:42 WIB
Ilustrasi. (pinterest.com)
AKU sedang duduk berhadapan satu meja dengan Nay. Beberapa kali, kuperhatikan ia sibuk membetulkan letak kacamatanya. Ia kelihatan serius. Sebentar-sebentar mengernyit, sebentar-sebentar kedua alisnya menyatu. Nay mengenakan penjepit rambut warna biru langit diatas telinganya sebelah kiri. Rambutnya yang sebahu dikuncir sehingga tampak rapi. Begitu saj. Tapi seperti apapun Nay, ia selalu kelihatan cantik.
 
Wajahnya tertutupi buku yag sedang ia pegang. 
 
“Eh Zak, emang beneran nih Bu Henny cuman ninggalin tugas itu doang?” Nay memandang ke arahku, menutup sebentar bukunya. Sudah dua kali ia bertanya seperti itu. Pertama, tadi sebelum aku dan dia memasuki ruangan—basecamp Osis. Kami terbiasa menghabiskan waktu di basecamp Osis ketika jam kosong. Kadang-kadang aku mengerjakan PR—yang terlupakan—disini. Tempat teraman dan ternyaman.
 
“Ya ampun Nay! Minggu lalu juga kan, Bu Henny sudah pamit..” ujarku lagi. Kupikir Nay sedang sedikit lupa. Ia membulatkan bibirnya lalu manggut-manggut. 
 
Sudah 2 tahun 33 hari, aku sekelas dengannya. Selama itu pula aku menjadi kawannya. Aku dan Nay sama-sama aktif di Osis hingga sekarang. Malah, tahun ini ia sedang menjabat sebagai sekertaris umum. Dia gadis yang energik, bersemangat, suka bergurau, rajin dan dia cantik. 
 
Aku menyukainya. Tolong, jangan ceritakan padanya!
 
Aku menguap beberapa kali. “Nay. Kantin yuk!” rengekku padanya. Nay masih sibuk dengan buku bacaannya.
 
“Duluan deh. Ntar aku nyusul!” Kata Nay, menanggapi tanpa beralih dari bukunya.
 
“Nay, masa kamu tega biarin aku sendirian? Laper nih. Seriusan!” Aku mendramatisir.
 
“Iya, aku tau. Sinyalmu udah kedip-kedip dari tadi.” Nay nyengir. Ia menutup bukunya lalu kami berdua bergerak meninggalkan basecamp.
 
Namaku Zaky. Sudah 2 tahun 33 hari, Nay berteman denganku. 
 
Aku menghafal beberapa kebiasaannya. Termasuk buah apel yang ia jadikan menu sarapan pagi, tiap hari. Ia akan memesan mie ayam di kantin dengan tiga sendok sambal, berkecap dan tanpa saos. Es teh, dengan bongkahan es batu yang agak banyak.
 
***
 
“Selamat Pagi. Bu Sekertaris rajin amat..” Nay sudah berada di ruang Osis mungkin sejak sekitar lima menit yang lalu. Buktinya, ia belum menghabiskan buah apel yang selalu diselipkan pada sisi tas ranselnya. Ia sedang membereskan kertas-kertas tidak terpakai yang berserakan di meja. Nay tidak menjawab ucapan selamat pagi-ku. Aku menyandarkan tas pada kursi.
 
Aku tidak mengerti sepagi ini Nay sudah pasang muka yang lumayan ‘tidak sedap’ dipandang. “Zak, kok buletin belum dipasang sih?” Nay memprotesku. Alamat kena semprot nih, aku menduga. Aku lebih memilih mengedikkan bahu, tidak tahu. Sebab memang itu bukan tugasku. Harusnya Wibowo sudah membereskan itu sejak kemarin.
 
“Anak-anak begini nih!” Nay bersungut-sungut. Geram. Ia meraih double tape dan gunting, meraih setumpuk buletin kemudian segera melewatiku yang barusaja menghidupi komputer. Niat hati ingin mengecek email masuk, tapi lekas kuurungkan. Aku tidak berani mencegah Nay, dan aku tentu tak mungkin membiarkannya memasang buletin sendirian. Komputer segera kushutdown.
 
Aku mendapati tubuh Nay yang sedang menghadap mading di muka kelas XII Bahasa. Segera kuhampirinya, memungut buletin yang ia geletakkan di lantai. Menyadari kehadiranku, Nay hanya membalik badan sekali lalu melanjutkan pekerjaannya. Ia belum mengucapkan kata-kata, apapun.
 
Pergelangan tangan kirinya dilingkari double tape sedang tangan kanannya memegang gunting. Nay berjalan di depanku. Aku mengikuti dibelakangnya.
 
Setelah melewati beberapa papan mading, aku memberanikan diri untuk angkat suara. Aku bergaya ala penyair seperti pada latihan teater tiga hari lalu, di aula sekolah. “Malang nian nasib ambo. Sepagi ini, mendapatkan senyum yang masam!”
 
Nay masih tidak berkomentar. “Tapi kamu makin cantik, kalau pasang wajah kayak gitu!” Nay mendelik, aku memang berniat menggodanya. Ia seperti tersenyum, tetapi buru-buru disembunyikan dengan berpura-pura membetulkan kacamatanya.
 
“Sarapan dulu biar tenang hatinya.” Kufikir dia sudah sedikit mereda. Tidak se-emosi beberapa menit yang lalu. Aku mengangsurkan buah apel yang kuambil dari tas ranselnya. Nay segera memindahkan apel ke tangannya, tanpa ekspresi apapun.
 
Aku berjalan bersebelahan dengan Nay. “Senyum jangan disembunyikan, nanti kamu jerawatan!” kataku menepuk pundaknya. Nay melirikku sinis. Ia melayangkan satu bogeman pada lenganku. Hanya pura-pura. Kami sama-sama tertawa. 
 
“Nggak usah lebay!” Akhirnya, Nay berkomentar. 
 
“Biarin lebay. Toh kamu mau kan, temenan sama anak lebay kayak aku!” Aku membela diri. Nay menepukkan buah apel yang ia genggam ke jidatnya sambil bergumam, “Astaga....” 
 
“Kalau kamu lebay terus, kamu nggak lekas punya pacar!” Lanjutnya sambil menaiki anak tangga. Ia menggigit Apel yang barusaja kuberikan kepadanya.
 
Aku merasa terpojokkan. “Kamu alay ih. Mana ada kayak begitu!” 
 
“Kita sama-sama alay, kayaknya nggak bakal dapat pacar deh!” tawa kami lepas bersama-sama. Gimana kalau kita jadian Nay? Seandainya kalimat itu terucapkan. Sayangnya tertahan tidak terlafalkan.
 
***
 
Besok terhitung dua tahun, tigapuluh empat hari, aku berteman dengan Nay. Besok aku berharap tak lagi menjadi temannya. Menjadi sesuatu yang lain, mungkin. Pacar, barangkali. 
 
Tetapi kata Nay, aku tidak boleh alay agar lekas mempunyai pacar. Nay cantik, aku menyukainya. Tolong, jangan ceritakan padanya!*
 
 
 
Nur Holipah. Lahir di Banyuwangi, 11 Desember 1995. Sedang menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Malang. Menulis antologi cerpen berbahasa Using “Jala Sutra” 2015. Beberapa cerpennya pernah dimuat di Malang Post dan Radar Malang.
 

Terkini