Mencari Kesunyian, Sepasang Gunduk Tanah Mujahir, Wajah Masa Lalu, Malam yang Teramat Asing

Ahad, 21 Agustus 2016 | 14:52:05 WIB
Ilustrasi. (Sarit Jacobsohn’s/buy-acrylic-paintings-art.com)
Mencari Kesunyian
 
Seringkali kau berkata, melamun adalah kenikmatan paling mabuk
Mengundang roh-roh dari segala penjuru menyatu dalam sekujur tubuh
Aku menyimak dengan sunyi yang bergemuruh 
Di rongga dada yang seringkali gaduh
Katamu, sepi tak lagi utuh seperti sediakala, sebab kita terlalu sering mengakrabi kebisingan dan lalu lalang
Ya, kesunyian memang hanya milik orang-orang yang mencari kesedihan. Balasku sambil membolak-balikkan nasib di masa lalu
 
Blitar, 2016
 
 
 
Sepasang Gunduk Tanah Mujahir
 
Sepasang gunduk tanah terbaring lelah, menepi dari kebisingan yang entah
Burung kematian menghitung kamboja, seolah serpih maut berjatuhan tak sengaja
Mengumpulkan semerbak keping kesedihan, saat rimbun hiruk pikuk terkoyak
 
Derap kaki gaduh, mengantar kepulangan tubuh
Pada rumah masa depan, pada luka-luka senyuman
Tetes air mata bertumpahan, milik orang-orang yang melambai tangan
Membiarkanmu tertidur pulas, jasad terkubur ruh terlepas
 
Pada tanah mujahir, rimbun doa terus menerus lahir
Dari rahim sunyi, dari bait-bait suci
Dan tuhan khidmat berjaga di tepi hari, menunggu bumi khatam  dikunjungi
 
Blitar, Januari 2016
 
 
 
Wajah Masa Lalu
 
pada sebuah halaman buku yang sedikit sobek di bagian sudut. aku menemu binar matamu yang menerjemahkan bisu, di dalamnya tersimpan kenangan paling lugu
 
“demi sebuah wajah masa lalu, aku menyusun pintupintu haru, agar kau bisa mengetuk dengan jari jemarimu yang tiba-tiba beku.”
 
pada sebuah makna kesetiaan dan penantian panjang, aku membelah sinar bulan, yang memancaar germerlap.
 
“dari kuncup rembulan di sisa penghabisan, aku mengasingkan tubuh di lorong-lorong harapan,  menyiapkan hari depan berbekal senyummu yang paling luka.”
 
2014
 
 
 
Malam  yang Teramat Asing
 
malam mulai mengasingkan diri, mengundang sinar bulan dalam kontemplasi
bait-bait puisi digauli, sunyi bertebaran sendiri-sendiri
 
kerlip bintang bersimpuh, bersembunyi dari segala yang runtuh
sesekali meredam gemuruh, yang tiba-tiba tak sengaja tumbuh
 
malam teramat asing, sebab rinduku tak sengaja berpaling
dari puisi-puisi paling mbeling, dari wajahmu yang gemerincing
 
dan sehabis jarum jam berputar pasrah
mengaminkan doa-doa yang seringkali gelisah
malam menjadi lebih lupa asal mula silsilah
 
Hangudi, November 2014
 
 
 
Alfa Anisa adalah nama pena dari Anisa Alfi Nur Fadilah. Lahir di Blitar, 28 Maret 1995. Mahasiswa program ilmu komunikasi di Universitas Islam Blitar, saat ini aktif bergiat di komunitas sastra Hangudi di Bumi Bung Karno Blitar. Bisa dihubungi di akun facebook alfa anisa.
 

Terkini