Pendakian, Aksi Pejuang Bangsa, dan 3 Puisi Lainnya

Ahad, 21 Agustus 2016 | 04:13:55 WIB
Ilustrasi. (Tony Eric/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Pendakian
 
Menatap langit nan menawan
Berkibar harapan dimana-mana
tatapan mata tak beralih dari kedatangan pelangi..
Hingga waktunya tiba
pendakian pun belum selesai
sebab cahaya tiada terus benderang 
 
Ada kala si hitam pekat datang menyambar
menyelimuti batasan meraih mimpi
menembakkan peluru ditiap sudut tiang kekuatan
entah darimana mereka tau pola tanggaku
                 Ternyata bukan sekedar mendaki yang harus ku berayun karenanya
                 tapi gambaran peta harta karun juga perlu disembunyikan
                 agar tiada perekam ilegal mencoba menggergaji bentengku
                 Untuk menjadi pendaki sejati nan mengibarkan benderanya 
                 Di puncak tertinggi cita
 
 
 
Aksi Pejuang Bangsa
 
Diri ini berayun di atas tanah tercinta
Bertiang di lontaran kebijakan sang penguasa
KOSONG!
Hanya gambar berwarna dari kesilauan
Rentan perang di ranah jabatan 
HILANG!
Kepercayaan berharga tinggal angan 
Kecewa tertata di tiap sudut kota
Kau tanam padi berujung ilalang
TAMPAR!
Dari sudut harum kami layangkan ke istana
Sobekan kertas dulu nan tertinggal
Sampai habis masanya diam
Mengaung membebaskan negeri
YA!
Ini negeri kami
Dengan seribu para bedebah
Orasi lantang mulut mengecam 
Tubuh bersimbah peluh, terbakar terik
Bibir pun kering, dahaga tak kalahkan kata
Bahasa-bahasa para pencaci kepada tuan
Demi sampainya pesan pahlawan dan jeritan rakyat
 
Tak mesti membuat sesuatu besar terlihat besar
Yang penting itu manfaat besar 
nan menjalar di tubuh penghuni negeri ini
Dari berbagai peranan masa kini bergejolak 
Aksi kian membara berkobar untuk nusa
Dari darah nan masih biru
Mengasuh pedang api untuk pecundang jadi pemenang
Terangkan waktu nan tersembunyi
Hilang terlewati masa penantian
Tiada sangka ada pemberontak kegelapan
Mengaburkan kebenaran nan berdiri selalu teratas
Namun, sayang
Kita, para pengasuh abad tak akan mudah memberikan negosiasi mahal ini
Sebab gedung palu itu milik kita
Tempat lumuran perkara jadi bintang negeri
Pecahkan misteri tetesan takdir
Sebab kebenaran itu hanya ada satu
Maka berteriaklah dan berlarilah seindah pelangi
 
 
 
Ceritakan, Kisahkan, Lalu Bentangkan
 
Ceritakan aku jejak cakrawala
Nan dulu bersemayam 
Di atas palapa ini
Begitu megah sanubari memandang
                 Kishkan padaku sepasang insan 
                 Meraih gelar raja dan ratu
                 Sehabis perang di tanah api
                 Cerdas dan berani, tak takut mati
Bentangkan pada diriku 
Kejayaan mentari pagi
Selalu menyinari kegelapan
Menanam benih keabadian
                 Karena di ujung sore nanti
                 Akan terlihat istana cita cinta
                 Berbahagia dengan langit menawan
                 Menemui dengan senyum lebar
 
 
 
Hari akan Berubah
 
Derai embun pagi merasuki
Pintu-pintu kerikil di atas tanah
Berantai menjatuhkan butir bening
Tetesan dalam hati
Mengasihi salam terbuka seperti tenangnya air
Melanda debur ombak jadi pecah
Jadi butiran air pantai, merdu
 
Tatanan berbaur harum
Menjelang sore di tanah kelahiran 
Menuju tuan rumah seberang pulau 
Dingin lentingan hasrat bereaksi
Tak hiraukan lagi musim dingin kemaren
Menapak tanah berakitan
Tertanda hari akan berubah
 
Walau seribu tsunami menghampas batang
Tak selamanya tinggi
Walau dermaga terpencil jauh kecil
Akan ada hari di mana kapal berlabuh
 
Kerang gelimangan buih putih 
Di ujung pantai, menanti keindahan
Sebelum tenggelamnya matahari sore
 
 
 
Menjemput Mimpi
 
Deraian berkilau menjulang saat baru tertapaki lagi kembali ke atas bumi rantau ini
Cerita kembali menghampiri, cerita impian yang akan kurebut kembali
Tiada sangka akan berujung apa
Nan jelas putih-putih lembaran akan terisi penuh bersahaja
Gelar tikar kerunut masa 
Tentu sisakan petang dari lelah keringat hari
Tak ada beda di Antara rentetan tulisan sinonim masih pujangga saja bisa membaca
Cah
Celah celah sanubari mengambang meminta dikasihani
Tengok jualah pintu yang belum berjemari sidik jari ini
Tersimpan diantara gumam asmara
Cerita muda tak guna dipikirkan, dia kan datang juga
Asal keyakinan masih pada Ilahi
Tengterengtengteng
Kelabu takut merasuki
Wajah sangar pemilik tahta berayun menanti permaisyuri dambaan kasih jelita
Sayang
Dimana letak bantal penat diri?
Ternyata usai perang baru temui
Jangan biar istirahat sebelum jejak habis di pernafasan
Begitu semboyan kini menghantui
Raja alam akan datang mendekati
Engkau yakinlah saja untuk bersemangat cahaya lantang menembus angkasa
Menjemput mimpi….
 
 
 
 
Deges Ningtias, lahir pada tanggal 30 Desember 1993. Kuliah di Universitas Andalas jurusan ilmu ekonomi program internasional. Deges berasal dari Kabupaten Solok Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Deges memiliki hobi suka menulis puisi, membaca, berpetualang ilmu dan alam. Deges memiliki motto hidup Adventure to Jannah, agar semangat memperbaiki diri dan aplikasi ilmu segera terpenuhi.
 

Terkini