Pertanyaaan Tak Jua Usai, Pencuri Sinar Bulan, dan 3 Puisi Lainnya

Ahad, 21 Agustus 2016 | 04:02:06 WIB
Ilustrasi. (Putu Sudiana Bonuz/mayagallery.com.sg)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Pertanyaaan Tak Jua Usai
 
Mengapa harus ada ingatan
Jika kesedihan menyengat
Pedih
 
Sebab waktu senantiasa membentang
Jalan lengang lempang menuju 
Pintu-pintu tuan-puan malang
Lelap ujung jauh 
 
Mengapa harus ada kenangan
Jika kedukaan menusuk
Ngilu
 
Sebab waktu selalu membanting
Dinding kaku beku menembus
Mimpi-mimpi tuan-puan tentang
Pesta tamasya tawa puji
Seputaran jarum arloji
 
Mengapa harus ada bayangan
Jika kemuraman menikam
Luka 
 
Sebab waktu selalu membetot
Otot kekang tegang mengintai
Lena lengah tuan-puan melahap
Lampu bertopeng laut sungai
Gunung bukit lembah hutan
 
Mengapa harus ada pertanyaan
Jika kesunyian selalu menjawab
Di kedua bahu 
 
Beranda Khayal Balikpapan, 2016
 
 
 
Pencuri Sinar Bulan
 
Ada yang mengendap-endap di antara 
Gundukan galian tanah kuning di bawah
Mendung lelap malam
 
Serpihan sinar bulan seperti kilau mutiara
Pada hamparan rumput dan sudut dinding 
Papan beratap sirap
 
Mata yang selalu nyala silau terbiasa
Menghalau malam dari padam api 
 
Telinga yang selalu sigap menyergap
Dengus nafas deru roda mesin-mesin
Dengung sirine-sirine
 
Kaki yang sanggup melihat dalam gelap
Tidak pernah berjingkat-jingkat seperti
Malaikat penjemput ajal
 
Tangan yang selalu cekatan memungut
Serpihan sinar bulan 
Menyimpannya di balik tembok 
Di bawah pepohon nangka berbuah
Karung melipat ketupat
 
Para penjaga masyuk bercengkerama dengan
Gambar gerak bersuara langsung pada
Layar genggaman
 
Kelelawar terbang senyap menyaksi aksi
Pencuri serpihan sinar bulan tetapi
Tidak pernah berani melawan matahari
 
Bulan pulas dalam buai hujan
Matahari enggan bangun mengurai waktu
Serpihan sinar terserap dalam setiap
Hitungan karat dan berat siap ditukar
Sekilas fajar tanpa menunggu emas senja
 
Disperindagkop-Panggung Renung Balikpapan, 2016
 
 
 
Pada Secangkir Kopi Hitam
 
Cangkir.
Dicuci setelah dipakai menampung jus sirsak. Pernah juga teh hijau.
Putih polos. Cinderamata acara 17-an di RT.
Bahan tanah liat. Entah tanah liat daerah mana. 
Entah pabriknya di mana.
 
Kopi.
Arabika. Robusta. Liberika. Excelsa. 
Kopi hitam. Kopi susu. Kopi jahe. Kopi luwak.
Kesukaan sebagian orang. Menggantung lidah sebagian lainnya.
Sekadar menyiasati hari. Berkhasiat.
Dari Bangka. Duka suatu kepergian. Waktu milik siapa.
 
Kopi hitam.
Pahit. Manis. Encer. Kental.
Selera suka-suka. Tiada aturan atas lidah.
 
Hitam.
Dalam. Kelam pekat. 
 
Pada secangkir kopi hitam adalah perjalanan panjang
Tanah udara. Dari suatu gagasan menjadi gemuruh dalam catatan
Diskusi obrolan pinggir jalan membuat kelompok
Membuat tembok kubu menembus ruang waktu
 
Pada secangkir kopi hitam adalah lintasan lidah
Suatu sekutu. Suatu harga diri. Suatu tradisi.
 
Panggung Renung Balikpapan, 2016
 
 
 
Kepala dan Perut
 
Apalah kepala di kala perut
Penuh angin mendesir, Tuan
 
Tuan dan tuan saling membentur kepala
Menyeka serpihan daging di sudut mulut
Di kala perut Tuan dan tuan tidak pernah 
Berangin-angin seperti perut-perut lain
 
Tuan dan tuan saling merebut angka
Menyogoknya ke perut buncit babi
Peliharaan Tuan dan tuan
 
Tuan dan tuan saling menutup mata telinga
Pada perut-perut penuh angin terkentut-kentut
Menadah air mata langit 
 
Apalah kepala berambut rapi di kala 
Perut sarat silang sengkarut, Tuan
 
Panggung Renung Balikpapan, 2016
 
 
 
Bagai Punai Makan Bangkai
 
#1
Terbangnya punai sekuat sayap
Jauh juga jarak jangkaunya
Dibanding puyuh ayam-ayam
 
Di atas hutan kebun kampung
Tidak setinggi terbang rajawali
Melintaslah punai mencari makan
 
Makanannya punai sekuakan paruh
Butiran mungil buah segar pohon
Tiada melon semangka papaya
 
#2
Terbangnya punai dikayuh sayap
Banyaklah makanan masih menyiap
Pilihlah tempat berpuas paruh
 
Melintaslah punai sedari kemarin
Di atas semak lalu menjejak tanah
Betapa penuh bangkai dibuang orang
 
Orang-orang membuang bangkai
Mengharap punai turun meminat
Mencicip lahap menyantap cuilan bangkai
 
#3
Terbangnya punai sekelebat senyap
Tidak jauh jangkaunya karena lapar
Sejak bangkai melipat sayap-sayapnya
 
Melintaslah punai ke bangkai-bangkai
Senyap sayapnya di hamparan bangkai
Berpuas paruh tidaklah sayapnya kayuh
 
Butiran mungil berganti sayatan bangkai
Pohon-pohon hangus dibakar orang
Punai kenyang-nyenyak di antara bangkai
 
Kebun Karya & Panggung Renung Balikpapan, 2016
 
 
 
Gus Noy alias Agustinus Wahyono lahir di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, menempuh masa belajar di SD-SMP Maria Goretti Sungailiat, SMA BOPKRI II Yogyakarta, dan Program Studi (dulu: Jurusan) Arsitektur di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pernah merantau di Bandung, Bogor, Jakarta, dan Kupang. Kini ia menetap di Balikpapan, Kaltim.
 
Di samping bekerja sebagai arsitek tulen, ia juga senantiasa menyempatkan diri menulis puisi. Sebagian puisinya pernah disiarkan di Harian Rakyat Merdeka, Bangka Pos, Batam Pos, Media Kalimantan, Buletin Jejak (Forum Sastra Bekasi), dan lain-lain.
 
Sebagian lainnya tergabung dalam beberapa antologi bersama, misalnya Antologi Puisi Klungkung dalam Puisi (Museum Nyoman Gunarsa, Klungkung, Bali, 2016), Antologi Puisi Karya 250 Penyair Terbaik Indonesia Baju Baru untuk Puisi & Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016), Antologi Seribu Puisimini Pilihan Lainnya Aquarium & Delusi (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016), Antologi Puisi Menanam Kenangan (Bebuku Publisher, Surakarta, 2016), Antologi Puisi Temu Penyair Nusantara Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat & Disbudpar Aceh Barat, 2016), Antologi Sahabat Rose Sajak Embara (Rose Book, Trenggalek, Jawa Timur, 2016), Goyang WC (Yabawande - RIC Karya, Semarang, Jawa Tengah, 2016), Di Bawah Payung Hitam (Proyek Seni Indonesia Berkabung, Yogyakarta, 2015), Kalimantan : Rinduku yang Abadi (Dewan Kesenian Banjarbaru & Disporabudpar Kalsel, 2015),  Tifa Nusantara 2 (Dewan Kesenian Kabupaten Tangerang & Disporabudpar Kabupaten Tangerang, Banten, 2015), Buletin Jejak (Forum Sastra Bekasi, Jawa Barat, 2015), Antologi 153 Penyair Indonesia : Dari Negeri Poci, Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta, 2014), Cinta Gugat (Sastra Reboan, Jakarta, 2013), dan lain-lain.
 
Ia pernah diundang dalam acara Temu Penyair Nusantara di Aceh Barat (2016), Temu Penyair Tifa Nusantara II di Kabupaten Tangerang, Banten (2015), Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang, Kepri (2010), dan acara-acara sastra nasional lainnya.
 

Terkini