Membaca Tubuh dalam Salat, Sebilangan Mata Sunyi, dan 3 Puisi Lainya

Jumat, 19 Agustus 2016 | 02:48:04 WIB
Ilustrasi. (Charles Bargue/commons.wikimedia.org)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Membaca Tubuh dalam Salat
 
aku ingin sujud dan ruku' dalam sebidang hening yang diterakan isi kepalamu. dan kau, tak kalah liarnya menakwil makna salat yang dituliskan kaum penalar waktu. beralas sajadah biru marun yang sealur dengan motif luka dedaun seturun. merunduk dengan khusu' dan tadharru'. setunduk matahari jelang senja di labuhan makna. berpindah antara intiqalku menuju intiqal-Ku. mengambil arah kiblat dari selasar bilik pusara yang kaurawat sedemikian sunyi. kau, tiga langkah tepat di belakangku. mengambil alih lagu perapian dunia yang singkat. untuk mempersiapkan kelana kita. persinggahan kita: akhirat.
 
aku mencintaimu, perempuanku, dengan bahasa yang hanya dapat dicecap dengan arif dan sebegitu khidmat.
 
Ciputat, 2016
 
 
 
Sebilangan Mata Sunyi
 
sebadik mata cuka berkata pada remah petala,
“aku yang datang mengusir naskah-naskahmu [pemiliknya]”
namun tempias hujan selalu saja lebih dulu menggelar caping
dalam setiap halu karang bunga serta satu-dua pementasan
 
sebadik mata cuka pulang ke dalam sumur yang dangkal
bahwa sunyi bertengkuk redam ialah keselisihan suara
ia ingin menjadi pertapa, di kejauhan hutan mata cuaca
pertapa yang tak lagi mengenal jarak beda ‘alif’ semesta
 
maka isak si mata cuka adalah matamu sebentuk mata
matamu dicipta segaris arah bagian dari mata-Nya
hingga kerontang dadamu coba menolak,
“mataku ialah mata-Nya. penutur mata pusaka.
tidak sahih kausebut-sebut mata cuka!”
 
2016
 
 
 
Bersuluk dalam Sajak
 
menanti letak dahiku turun dan simpuh
menjadi semacam gemerisik di batang keladi
langkahku di jalan ini hanya sebagai pengungsi
aku melesak, menuju-Mu
 
menanti batur nisanku digerus dan pecah
menjumlah sekerat roti di lebar usia waktu
tundukku di peraduan ini hanya sebagai pengabdi
aku bergerak, menuju-Mu
 
menanti ubun sukmaku di laut empedu
merintis kata ampun di teluk-teluk sunyi doa
sediaku di bilik tikam ini hanya sebagai pembakti
aku melacak, menuju-Mu
 
menjauh tubuh padangku renta dilahap api
mengiba, meringis, meronta-ronta; berserah diri
ada-ku adalah ada-Mu. ada-Mu sebab ada-ku
aku bersajak, menuju-Mu
 
Darus-Sunnah, 2016
 
 
 
Ihwal Kita Membangun Bahtera
; Qabiltu Nikahahaa
 
rapatkan heningmu juga keningmu di padang jeramiku, dik, tidak di rentang jemariku. dan jadilah seorang penyembuh bukan sebagai penyembah. jadilah yang senantiasa bersitabah bukan yang senantiasa besitubuh. sebab dunia akan menggilasmu perlahan, berpatah-patah, tanpa pernah kau rasa retak luruhnya.
 
jika bumi yang lesap basah seketika tandang hujan, nyanyi burung di sarang, corak pepohon landai berpantul cahaya, mata danau menawarkan warna riak, dan itu yang kau mau sebagai mahar kawin pernikahan kita, ah betapa payah tubuhku yang berulang kali kelak akan dikutuk datu-datu. aku mencintamu, dik, seutuhnya, sehabis-habisnya. usah kau meminta yang macam-macam dan membuatku sakit kepala saja.
 
aku membayangkan, kelak, pernikahan kita dilaksanakan sesederhana mungkin, dan mula-mula kau, juga keluargamu serta-merta akan menudingku, “dasar perjaka kikir!” betapa sesak tulang dada, menggelembung, hampir pecah, pun seisinya.
 
bagaimana kalau aku meminangmu dengan seribu sembilan ratus 
sembilan puluh empat puisi saja, ya?
 
Ciputat, 2016
 
 
 
Kuning yang Datang pada Kelabu
 
aku kuning, kusebut kau sebagai seutas warna kelabu
maksud tibaku ini untuk menyatakan ketiadaan yang sungkan
musabab kutuju kau kali ini, guna meminang riwayat cahaya
maukah kau terima rendahku pada pendar temarammu?
 
musykil menyaingi merah nyala, berkilat-kilat, menyilap mata
sedang aku lahir hanya kuning yang durjana tanpa terang
 
kelak langit memberkati, lahir dari rahimmu dari benihku
: segerombolan lucu anak-anak cahaya
 
Darus-Sunnah, 2016
 
 
 
Imam Budiman, dilahirkan di Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan Aliyah-nya di Pondok Pesantren Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kini berstatus sebagai Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di waktu yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Beberapa cerpennya terhimpun dalam kumpulan cerpen bersama, diantaranya: Iblis Tidur (Minggu Raya Press, 2013), Sang Penulis (LPM Mercusuar, UNAIR Surabaya, 2015), Penjerat Malaikat (Sabana Pustaka, 2016). Puisi-puisinya terhimpun dalam belasan antologi puisi bersama. Adapun kumpulan puisi tunggalnya; Perjalanan Seribu Warna (2014) dan Sepilihan Sajak Kampung Halaman (Tahura Media, 2016). Beberapa cerpen dan puisi-puisinya juga dimuat di berbagai media cetak/portal nasional dan lokal seperti: Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos,  Riau Pos, Babel Pos, Media Kalimantan, Lampung Post, Koran Madura, Metro Riau, Sumut Pos, Malang Post, Mata Banua, Cakrawala Makassar, Post Metro Jambi, Kaltim Post, Radar Banjarmasin, Radar Tarakan, Kalimantan Post, Banjarmasin Post, Solopos, Sastra Sumbar, Majalah Warta Bahari, Majalah Iflah, Majalah NABAWI, Majalah SANTRI,  Majalah INSAN, Buletin Sastra Lakonik, Buletin Sastra Pawon, Buletin Pojok Pesantren, Buletin Mantra, Buletin DENTA, Buletin D’Ruang, Buletin Harokah, Buletin Jejak, Buletin Literasi, Buletin Lentera, Tabloid Kabar IIQ, Tabloid INSTITUT, Tabloid RUANG, Jurnal Rusabesi, Sayap Kata, Ruang Aksara, Detakpekanbaru.com, Banjarmazine.com, Qureta.com, Kompasiana.com, Antasaria.com, Sastrapedia.com. Lokerpuisi.web.id, Forumpenulismuda.com, Mahasiswabicara.com, Ciputatbergerak.com, Riaurealita.com. Medium.com, Inspirasi.co.
 

Terkini