Semarak Hujan, Jangan Durhaka, Bisik Mahasiswa Tingkat Akhir, Ayah, Sendiri yang Membentak

Rabu, 17 Agustus 2016 | 15:45:26 WIB
Ilustrasi. (Florin Coman/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Semarak Hujan
 
Jeritan katak-katak memelas 
Sepanjang hari hingga sore tiba
Anak-anak terduduk diam ditumpukan sekam berjamur
Sepanjang musim saling melihat dengan tatapan harap
 
Tanah ini tidak lagi rata
Tanah ini cukup sakit karena debu yang tebal
Tanah ini lebih menyerupai bunga kaktus yang mekar
Air menjadi mahal, membuat tanah semakin sakit
 
Anak petani ini tau betul perasaan padi kecil itu
Padi kecil dan petani yang malang
Kemalangan ini menjalar pada buku sekolah yang tak terbeli
Membuat anak petani semakin diam 
 
Anak petani itu membuat gerakan-gerakan kecil 
Anak itu berdoa, dia pandai berdoa
Karena itu katakpun ikut berdoa bersama anak petani 
Doa itu adalah air dimusim ini 
 
Karena doa mereka Mataharipun tak sanggup mendengarnya
Debupun ingin mengalah karena doa itu 
Terdengar rintihan hati yang menyayat lewat doa-doa pilu
Awanpun bersatu karena tak lagi mau mendengar rintihan 
 
Tumpukan jerami yang mulai busuk
Gumaman itu semakin lantang dari setiap yang berharap
Angin ikut bersedih hingga doa terkabulkan lewat cahaya bersuara lantang
doa itu menjadi nyata bukti bakti pada setiap yang berharap
 
bergetar bumi ini karena lompatan anak petani itu
gelaknya sungguh riang menari bersama katak 
mereka menyelam dalam kebersyukuran
Tanah ini tak lagi kaku, tanah telah sembuh bersama doa-doa kami.
 
Rumput bersorak riang seakan menari dan bernyanyi
Pesta rakyat di tanah hijau biru yang dulu kaktus
Sorak sorai gendang dan bambu sepanjang musim ini
Membawa anak petani hingga memakai topi bertali.
 
Petatopia, 2016
 
 
 
Jangan Durhaka
 
Tidak ada kata sekeras baja
Kecuali hati yang berjuang
Mempertaruhkan dan melihat tanpa mengharap akhir
Tekad bahagianya adalah baja 
Baja yang setia mengelegar dalam sukmanya
 
Tidak perlu kau bertanya - tanya
Karena embun terasa asin membasahi tanah
Kau harus tau darah dan air itu mahal
Tidak dapat kau beli
Tidak kah kau ingat air mata itu
 
Darah yang kau pakai untuk hidup   
Tertawa sebahgia itu
Apa kau tau
Banyak tangis dibalik dinding lusuh ini
Tak pintar kau berhitung
 
Apa kau tak tau
Waktu membuat masa menjadi asa
Ketika matanya tertutup cahaya
Membuat luka hatinya karena jarak yang kau buat
Datanglah padanya,  kumohon katakan kau rindu. 
 
Petatopia, 2016
 
 
 
Bisik Mahasiswa Tingkat Akhir
 
Langit luas hening membiru 
Membuatmu melihat dalam gelap
Kau memang baru tau hidup
Tapi kau harus hidup
 
Kau sibuk dengan kotak berdering itu
Apa kau tau apa itu hidup
Tak perlu sedu menatap mataku
Aku hanya bertanya
 
Apa kau peduli jika aku tidak akan datang
Kau hanya seperti menunggu
Aku tau kau sungguh inginkan aku datang
Kenapa kau tak berlari menjemputku
 
Namamu itu, hanya sepenggal 
Ha ha ha apa kau lihat mereka temanmu
Temanmu telah tertawa berfoto mesra
Kau? Jangan mengis
 
Ingat kau harus meneguk bongkahan garam
Aku tau kau bisa merubah ini menjadi madu
Masih banyak yang menunggu berjuang bersamamu
Ayo tersenyum dan jemput aku.
 
Petatopia, 2016
 
 
 
Ayah
 
Sosoknya tidak bersayap 
Tapi dia membawaku tebang
Menyinggahi tempat - tempat indah 
Melalui banyak bunga dan singgasana emas
 
Terkadang dia seperti presiden dunia ini
Terkadang juga terlihat seperti panglima perang
Tapiku sangat mencintainya
Mungkin tidak senbanding dengan cintanya padaku
 
Dalam doa aku bicara padanya
Dia tersenyum menyapaku dalam mimpi rindu
Rindu yang membuat air mataku mengeluh pilu
Suara halus hampir tak terdengar seperti berbisik, aku rindu ayah.
 
Petatopia, 2016
 
 
 
Sendiri yang Membentak
 
Mereka memperdebatkan segala hal
Meraka melihat, dan mengalami hal yang sama 
Tapi mereka adalah sahabat yang selalu menasehati 
 
Mereka menasehati dalam segala hal
Ketika satu diantaranya menanggis 
Dia datang dengan bijak sebagai tisu yang seakan kuat
 
Tapi ada kalanya mereka menjadi api 
bertarung saling memaki dalam sedih hati 
tetapi saling berpelukan dalam marah diri
 
marah itu seakan padam tapi membara dalam diam
terasa panas tapi beku yang terlihat mesra
terlalu banyak suara diantara keduanya
 
terlalu banyak rasa untuk diandaikan 
ketika bintang terlihat mendekati bulan
bulan seakan menjauhinya
 
mereka adalah kepura-puraan yang setia 
tetap mengisi satu dengan yang lainnya
berpikir untuk diam
 
jangan pernah diam
diam adalah kesedihan 
kesedihan yang menggema tanpa akhir
 
terkadang kesedihan membuat emas tidak lagi berkilau
mutiarapun tidak lagi berarti
karena dia lelah dan siap untuk disujudkan.
 
Petatopia, 2016
 
 
Peta Nurjana, mahasiswi, lahir di Bengkulu, 4 Januari 1994. Saat ini menetap di Jl. Raya desa Tepi Laut kecamatan Air Napal Bengkulu Utara provinsi Bengkulu. 
 

Terkini